2. Keputusan Terberat

1906 Kata
Entah sudah berapa kali Rika melirik jam di pergelangan tangannya, melirik ke pintu masuk stasiun berkali-kali dengan raut cemas. Menunggu Lana yang tak kunjung datang. Kereta yang mereka tumpangi akan berangkat 15 menit lagi. Rika sudah mencoba menghubungi ponsel sahabatnya itu berkali-kali, aktif, sayangnya tidak satupun sambungan telepon itu dijawab. Tentu saja hal itu membuat Rika khawatir setengah mati, pasalnya melihat Lana yang belakangan ini murung karena kepergian kakaknya yang tiba-tiba itu saja sudah membuat Rika was-was, takut-takut Lana melakukan hal bodoh tanpa ia ketahui. Sepasang mata Rika masih sibuk mencari, barangkali dapat menemukan sosok Lana di sekitarnya. Dan benar saja, kali ini setelah sejak sepuluh menit lalu memandang sekitar tak tentu arah, Rika akhirnya melihat keberadaan Lana yang baru saja melewati pintu masuk stasiun. Hanya saja, ketika melihat langkah sahabatnya yang gontai membuat Rika dirundung cemas, cepat-cepat ia menghampiri gadis itu. Hingga ketika sudah berada di hadapannya, yang Rika lihat justru raut kacau di wajah gadis itu, sisa-sisa jejak air mata yang entah untuk alasan apa. Tenggorokan Rika seketika kering, sulit mengeluarkan kalimat tanya yang sudah bersarang di kepalanya. “Ke-napa, La...?” Air mata yang semula Lana pikir sudah ia tuntaskan di dalam taksi tadi, kembali menggenang begitu melihat Rika yang menatapnya khawatir. Ia tidak ingin merusak rencana liburan mereka, hanya saja saat ini hanya Rika yang Lana punya untuk menumpahkan semuanya. Tidak, bukan hanya kini, tapi sejak bertahun-tahun lalu memang hanya Rika yang tahu seluruh isi hati dan rahasianya yang bahkan ia simpan dari anggota kkeluarga yang terakhir—Nisa. “La...” sebelah tangan Rika terulur, menyentuh bahu gadis di hadapaannya yang kini mengigit bibir begitu air matanya kembali berhasil lolos dari pertahanan, perlahan bahu yang disentuh itu bergetar, hingga Rika bisa merasakan sendiri bagaimana Lana melepaskan pertahanan dirinya ketika Rika menyentuhnya. Dan saat itulah, suara penuh penyesalan itu sayup-sayup Rika dengar dari bibir sahabatnya. “Dia tahu perasaanku. Kak Nisa, tahu perasanku, Ri...” Kening Rika bekerut. Kalimat itu tidak serta merta bisa Rika cerna. Itu masih terlalu ambigu, Rika masih tidak bisa menerka kemana arah pembicaraan mereka. Hingga ketika Lana kembali bersuara, Rika jelas mengerti, tanpa perlu mendengar ulang kalimat yang berusaha Lana sampaikan dengan putus-putus itu pun Rika jelas tahu maksudnya. “Ba-bagaimana ini? Aku harus bagaimana, Ri? Kak Nisa tahu perasaanku. Dia tahu perasaanku...” Rika memilih diam, mencengkram bahu Lana mengisyaratkan gadis itu untuk menumpahkan semuanya. “Aku melukai dua orang yang aku cintai, Ri. Aku melukai mereka karena perasaanku...” Setelahnya hanya air mata yang mengalir deras, meski isakannya berusaha Lana tahan, Rika masih bisa melihat bagaimana gadis itu hancur karena rasa bersalahnya. Rika tidak setuju dengan anggapan Lana itu, tapi ia juga tidak bisa menampiknya. Masalah ini sudah terlalu lama terkubur, dan ketika Rika harus kembali menilai dengan situasi sekarang—entahlah, Rika memang mengerti maksud dari semua yang Lana utarakan dengan kata-katanya, yang ia tidak tahu adalah alasan yang membuat topik ini kembali muncul. Siapa? Dan kenapa semua masalah ini harus kembali setelah Lana berusaha menguburnya selama bertahun-tahun. Rika rengkuh Lana dalam pelukannya, mencoba memberi kekuatan meski ia tidak bisa melakukan apa-apa. *** Sudah seminggu sejak peristiwa di stasiun waktu itu. Lana dan Rika masih menghabiskan liburan semester mereka di rumah orang tua Rika di Bandung. Sebenarnya saat SMP dulu Rika dan keluarga pindah ke Jakarta karena pekerjaan ayah Rika yang mengharuskannya, tapi setelah Rika lulus SMA ayah Rika yang meminta mutasi lagi ke kampung halaman membuat Rika harus tinggal sendiri untuk melanjutkan kuliahnya yang diterima di universitas bergengsi di Jakarta. Itu mengapa gadis itu hanya bisa pulang sesekali, saat liburan semester seperti ini misalnya. Meski kepulangannya kali ini membawa misi lain untuk membuat suasan hati Lana lebih baik. Dari hasil pengamatan singkat Rika, hari ke hari Rika melihat suasana hati Lana mulai membaik. Rupanya kegiatan yang Lana lakukan bersama anak-anak rumah singgah yang letaknya tidak jauh dari kediaman orang tua Rika membawa banyak pengaruh pada Lana dalam mengalihkan perhatiannya. Ia berusaha melupakan semua yang berkaitan dengan Tommy, berusaha mengalihkan rasa bersalahnya pada sang kakak yang sudah nan jauh di sana. Meski tetap, kadang perasaan itu menghantui Lana disetiap doa-doa malamnya. Pagi itu langit kembali mendung, orang yang paling tidak ingin Rika lihat justru sudah berdiri di depan rumahnya. “Mau apa kamu ke sini?” Rika menyambut sinis. Lana memang belum menceritakan detail apa yang terjadi antara dirinya dan Tommy, tapi entah mengapa Rika merasa itu sesuatu yang sangat buruk hingga berdampak pada Lana yang terlihat sangat terpukul waktu itu, dan Rika yakin penyebabnya adalah pria di hadapannya ini. “Mana Lana?” tanya Tommy enggan basa-basi. Lupakan pertanyaan dari mana Tommy tahu kediaman orang tua Rika dan keberadaan Lana yang bersamanya. Rika sudah bisa menduga bahwa pria arogan ini menggunakan karyawannya untuk menyelidiki apa pun yang berkaitan dengan sahabat baiknya. “Nggak cukup kamu lukain Lana dengan sikapmu itu? Mau apa lagi kamu cari dia?” “Bukan urusanmu.” “Jelas itu urusanku! Lana sahabatku, lupa?” Tommy terkekeh, menatap Rika dengan pandangan jijik persis yang ia lontarkan pada Lana saat berada di kantornya minggu lalu. Rika sedikit terperanjat, karena tidak menyangka apa yang Lana katakan tentang sikap Tommy yang berubah 180° kini benar-benar dilihatnya. Padahal setahu Rika, Tommy pria yang ramah dan menyenangkan, itu dulu sebelum keadaan mereka menjadi rumut seperti sekarang. “Dan perlu kamu tahu, dia itu calon istriku.” Dahi Rika berkerut, merasa telinganya menangkap sesuatu yang salah. “Apa maksudnya dengan—” “Lana, dia calon istri saya.” “Tunggu! Apa Tommy bilang? Lana calon istrinya? Apa maksudnya? Lana tidak pernah menceritakan atau mengungkit hal ini padaku...” Rika sibuk dengan ingatannya. “Kalau kamu nggak tahu, nggak usah ikut campur. Lebih baik cepat panggil Lana kemari.” Berat hati Rika melangkah ke dalam rumah. Dia tidak bisa bilang tidak kalau akar masalahnya tidak dia ketahui. Salahkan dirinya yang tidak menodong Lana untuk menceritakan semuanya dengan detail, padahal dia tahu persis Lana bukan tipe orang yang akan bercerita jika tidak dipaksa. Alhasil Rika tidak punya amunisi apa-apa untuk melawan Tommy. “Ada apa, Ri? Wajahmu kok kusut begitu?” suara Lana yang rupanya memperhatikan Rika sejak memasuki ruang tengah. Menelan saliva susah payah, akhirnya Rika memberanikan diri untuk menyampaikan keberadaan Tommy meski dia tahu itu hanya akan membuat hati Lana kembali mendung. “Orang itu—ada di sini.” Lana menaikan sebelah alisnya, reaksi yang biasa ia tunjukan ketika bertanya. “Siapa?” “Tommy,” tanpa jeda Rika segera menjawab. Membawa air muka baru yang segera terlihat di wajah Lana. “Kalau kamu nggak mau nemui dia, aku bisa minta dia pergi sekarang juga.” Lana tidak menjawab, tapi bagi Rika itu sebuah jawaban. Rika memutuskan kembali menemui Tommy, dan memintanya segera pergi— “Nggak perlu, Ri. Aku yang akan bicara sama dia.” Rika terdiam, menatap Lana yang kini berjalan melewatinya, lantas mengamati punggung sahabatnya itu yang semakin menjauh dan hilang dibalik pintu. Entahlah, Rika tidak tahu pertemuan ini adalah hal yang baik untuk meluluskan kesalahpahaman atau bahkan memperburuk semuanya. *** Lana menghampiri pria yang saat itu membelakanginya. “Ada apa?” suara Lana tanpa basa basi. Pria itu berbalik, tersenyum sinis memandang Lana yang terlihat pucat di matanya. Sayang, otaknya lebih memilih mengabaikan penglihatannya itu, hingga tetap dengan tujuannya datang sejauh ini. “Cuma mau mengingatkan, pernikahan kita tinggal seminggu lagi.” “Bukannya saya sudah bilang anda nggak perlu ngelakuin itu. Saya ingatkan, mungkin anda lupa,” Lana tidak ingin kalah dengan cara Tommy mengintimidasi dirinya. “Kalau tidak ada hal penting lagi, sebaiknya anda pergi.” Lana berbalik hendak pergi setelah menyelesaikan perkataannya. Tapi suara Tommy membuat gadis itu urung melanjutkan langkahnya. “Sikap kamu ini cuma bikin aku semakin benci wanita itu.” Mendengar kakaknya kembali disebut dengan cara seperti itu membuat Lana yang berusaha menahan emosinya justru terpancing, “Berhenti menyebut kakak saya dengan panggilan itu! Nama kakak saya—Nisa! Bukan, wanita itu!” Tommy kembali tertawa sinis, mengangkat bahu tidak peduli. “Sebenarnya apa yang buat anda begitu membenci Kakak? Apa salahnya? Seharusnya anda dan kakak saling mencintai bukan?!” Lagi-lagi Tommy tertawa remeh, mengarahkan tatapannya tetap pada Lana, lurus. “Cinta? Lupain tentang hal menjijikan macam itu!” “Terus kenapa anda malah berikeras mau menikahi saya? Bukanknya anda begitu benci Kakak? Membenci saya? Seharusnya anda pergi sejauh mungkin kalau memang itu alasannya!” Terserah apa pun yang membuat Tommy membenci Nisa ataupun dirinya, Lana sudah tidak ingin berurusan lagi dengan pria yang hanya semakin melukai hatinya ini. Lana berbalik dan melangkah pergi, menahan tangisnya yang berontak ingin keluar saat itu juga. “Sayangnya bukan cara itu yang aku inginkan untuk membenci kalian,” kata Tommy tenang, membuat Lana kembali diam, namun tidak berbalik menghadapnya. “Aku mau dia merasakan hal yang sama, merasa sakit karena perasaannya dipermainkan. Tapi aku tidak mungkin melakukan padanya karena dia sudah mati kan?” Air mata Lana sudah jatuh, tidak lagi dapat dia bendung. “Aku rasa dia akan merasakan hal yang sama kalau aku menikahimu, melihatmu dari atas sana dengan permainan perasaan ini. Bukankah itu cukup adil?” lanjutnya Tommy lagi. Lana berbalik setelah menghapus air matanya agar tidak terlihat Tommy. “Apa dengan begitu anda tidak akan membenci Kakak lagi? Apa dengan mempermainkan perasaan saya dalam pernikahan yang anda inginkan akan membuat anda puas?” tanya Lana sarkas. Tommy mengangkat bahu. “Kita nggak akan tahu kalau nggak dicoba.” Lana menjerit dalam hati, meninggalkan Tommy yang masih tenang di tempatnya. Gadis itu masuk ke dalam rumah, membereskan barang-barang dan memasukannya ke dalam rasel yang ia bawa. “Aku minta maaf karena sengaja mendengarkan semua pembicaraan kamu sama dia, La. Tapi kamu nggak harus melakukan apa yang dia mau. Ini cuma akan buat hati kamu makin hancur!” Rika menahan Lana yang sedang mengemas barang-barangnya. Lana menatap mata Rika yang sudah basah oleh air mata. Ia tahu sahabatnya bisa merasakan rasa sakit yang ia rasakan saat ini. “Aku bisa apa? Aku nggak mau Kak Nisa sedih karena pria yang dicintainya justru membencinya, Ri. Bagaimanapun Tommy laki-laki yang Kak Nisa cintai.” “Tapi dia juga laki-laki yang kamu cintai, La! Menikah dengan cara seperti ini hanya akan melukai perasaanmu!” “Aku nggak punya pilihan lain. Kak Nisa berhak tenang ditempat abadinya. Tanpa ada yang mengusiknya dengan rasa benci. Dan kalau mengatasinya hanya dapat aku bayar dengan cara ini. Membiarkan Tommy melampiaskan bencinya sama aku, maka akan aku lakukan.” Tangis Rika makin deras melihat sahabatnya yang kini ikut keras kepala. “Cukup, La. Kamu udah cukup ngorbanin perasaan kamu sejak kamu mulai jatuh cinta sama dia. Dan sekarang kamu mau mengorbanin hidup kamu juga? Seluruh masa depan kamu?!” Lana hanya diam, menutup ranselnya lantas berdiri, beranjak dari sana. Meninggalkan Rika yang masih terngungu di tempatnya. “Kalau ini bisa menyelamatkan dua orang yang amat berharga dihidupku, akan aku lakukan, apa pun itu,” tutur Lana sebelum benar-benar keluar dari kamar itu. Derap langkahnya hilang ditelan jarak. Rika masih menangis di samping tempat tidurnya yang seminggu ini ditempati Lana. “Meski itu berarti kamu nikam hatimu sendiri, La?” gumam Rika ditelan sepi. Lana melangkah mendekati Tommy, tanpa menatap atau mengatakan apa pun, gadis itu langsung masuk dan duduk di kursi penumpang di samping kemudi. Tidak lama Tommy menyusul, menyalakan mesin mobil lantas meninggalkan tempat tanpa harus berkata-kata. Lana menatap keluar jendela, menangis tanpa suara sepanjang perjalanan mereka berdua. Padahal jika diingat ke belakang, hubungannya dengan Tommy seharusnya tidak seperti ini, hubungan mereka tidak seharusnya jadi seperti ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN