3. Luka yang Tak Bisa Diukur

2059 Kata
Pertengahan Mei, 6 tahun lalu... Sisa-sisa hujan masih membekas, menyisakan udara lembab yang perlahan menyapu lengan telanjang gadis berusia 15 tahun itu. Padahal bulan sudah berganti, kemarau seharusnya sudah mengambil alih musim yang seolah masih betah membuat orang-orang mengumpat karena kebasahan. Tapi bukan itu yang tengah dipikirkan gadis berambut hitam sebahu yang kini duduk di kursi taman rumah sakit, di antara heningnya malam, dan sepinya orang yang berlalu-lalang di sana. Pikirannya justru kosong, sekosong tatapannya yang tidak mengarah pada objek apa pun. Seseorang—tidak, dua orang yang berharga dalam hidupnya baru saja pergi, menyisakan kehilangan yang amat dalam pada diri gadis itu. Semua apa yang dilihatnya masih membekas, masih terekam nyata dalam benaknya yang perlahan memutar gambaran-gambaran memilukan itu tanpa seizinnya. Kekosongan itu perlahan terisi dengan ingatan yang paling ia ingin lupakan seutuhnya, membuat tubuhnya perlahan mengigil, dengan bulir air mata yang jatuh tanpa bisa dibendung. Kedua tangannya menggapai pinggiran kursi, berpegangan erat berusaha mengenyahkan gambaran yang membuat dunianya gelap seketika. Hingga kepanikan itu pada akhirnya membuat gadis itu kehilangan kendali atas tubuhnya yang semula duduk tenang di kursi taman, ia jatuh di antara rerumputan basah dengan tangis yang pecah. “Ibu... Ayah...” tanpa suara gadis itu mengumamkan nama kedua orang tuanya. Ia mulai menarik rambut dan memukul kepalanya sendiri. Berusaha mengenyahkan agar bayangan-bayang tentang kecelakaan itu hilang dari kepalanya. “Lana!” seorang perawat menghampiri gadis itu tergesa. Meraih kedua tangan gadis itu agar berhenti melukai dirinya sendiri. “Nggak apa-apa, Sayang. Sekarang udah nggak apa-apa. Nggak ada yang perlu kamu takutkan...” Ia dekap tubuh Lana, menunggu gadis itu tenang hingga isakannya tidak lagi terdengar. *** “Om nggak bisa pastiin kapan Lana bisa pulang, Nis.” Pria setengah baya dengan jas dokter itu membalik tubuhnya setelah membaca laporan perkembangan kesehatan Lana di tangannya. Nisa yang duduk menunggu dengan kedua tangan terkepal dalam pangkuan sejak tadi akhirnya mengeluarkan hembusan napas berat. “Om tahu kepergian orang tua kalian sudah menyisakan luka sendiri. Tapi khusus bagi Lana, kejadian itu benar-benar membuat mentalnya terpukul. Melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana kecelakaan itu menimpa mereka, menjadi saksi sekaligus korban satu-satunya yang hidup dalam kecelakaan itu. Semuanya jelas butuh waktu, Annisa.” Annisa masih menunduk, menahan diri untuk tidak menangis di sana. Paman sekaligus dokter yang menjadi wali sementara kedua keponakannya itu mengerti jelas apa yang tengah dirasakan si sulung. Kehilangan kedua orang tua lantas mendapati keadaan sang adik yang tidak membaik setelah sebulan kejadian itu berlangsung tentu membebani mentalnya sendiri. “Ada Om di sini. Kalian pasti baik-baik saja,” ucap Dr. Markus, menepuk pundak Nisa yang akhirnya meneteskan air mata meski cepat-cepat ia hapus setelahnya. Keluar dari ruangan Om Markus, hal pertama yang Nisa jumpai adalah keberadaan Lana yang sedang mengelilingi rumah sakit dengan kursi roda, kali ini bukan bersama perawat yang biasa bertugas menjaga Lana, melainkan Rika dan Nino yang merupakan sahabat baik adiknya sejak tahun pertama di bangku sekolah menengah pertama. Kedua remaja itu memang sering datang, meski Lana tidak juga menunjukan ekspresi berarti atas kunjungan itu. Tapi baik Rika dan Nino, mereka mengerti bahwa Lana butuh waktu untuk bisa kembali pulih, dan sebagai sahabat yang baik, mereka hanya bisa menunggu, menunggu sampai Lana siap untuk menerima semuanya. Nino bertugas mendorong kursi roda Lana, sementara Rika yang berjalan di sampingnya tampak sibuk menceritakan sesuatu, meski sekali lagi Lana hanya akan tetap bergeming dengan apa pun yang di dengarnya. Sudah sebulan Lana tidak berbicara dengan siapa pun, dan hanya mengeluarkan suara ketika ia mulai mengingat semua kecelakaaan itu. Dengan tangisan, dengan isakan histeris yang membuat Nisa tidak pernah sanggup melihatnya. Sadar dari keterdiamannya, Nisa menghampiri kursi roda Lana yang masih bergerak di tangan Nino. Nisa mengambil alih kendali kursi roda itu, tersenyum pada kedua remaja yang terkejut dengan kehadirannya. “Kak Nisa...” “Udah sore, kalian pulang ya. Biar Kakak yang antar Lana kembali ke kamarnya.” Tidak perlu mengunggu, kedua remaja itu sudah mengangguk pelan sadar bahwa waktu kunjungan mereka sudah habis. Keduanya pamit begitu Nisa menyelesaikan kalimatnya, meninggalkan kakak-beradik itu berdua dalam keheningan panjang. Nisa baru menggerakan kursi roda itu begitu siluet Rika dan Nino sudah sepenuhnya hilang dari pandangan. Menyusuri lorong rumah sakit tanpa kalimat pengantar yang merasa perlu ia katakan. Kursi roda itu berhenti di jalan setapak, di antara rerumputan hijau sejauh mata memandang. Nisa memposisikan dirinya berlutut di hadapan gadis itu, meraih jemari Lana yang terasa dingin dikulitnya. “Dek...” panggil Nisa dengan suara yang berusaha terdengar normal. Menatap Lana dalam jarak sedekat ini dengan kondisi gadis itu sekarang selalu menambah luka yang sudah terukir di hatinya. Luka akibat kepergian kedua orangtuanya belum juga sembuh, dan kini ia harus di hadapkan dengan luka melihat adiknya yang hidup tapi seperti sebuah boneka. “Kakak nggak maksa kamu untuk lupain semua apa yang kamu lihat di hari kecelakaan itu.” Nisa memotong kalimanya, menarik napas berusaha menahan diri untuk tidak menangis di depan sang adik. “Kakak cuma berharap kamu bisa menerimanya, menerimanya dengan ikhlas apa yang memang harus menimpa Ayah dan Ibu.” Ibu jari Nisa bergerak gelisah di punggung tangan Lana, wanita itu menunduk, berusaha mengendalikan emosi yang lagi-lagi membawanya pada kesedihan itu lagi. Hingga tanpa bisa ia kendalikan air mata itu akhirnya jatuh lagi seriring suara serak yang masih bisa terdengar, “atau setidaknya kamu bereaksi. Menangis di depan kakak, teriak di depan kakak dan keluarin semua isi hati kamu. Jangan hanya menangis dan histeris tanpa mau bicara sama kakak dan siapa pun... Kakak hanya punya kamu, La. Sekarang Kakak hanya punya kamu...” isak Nisa dengan kedua tangan berada di pangkuan Lana, nyatanya ia tidak pernah bisa menahan kesedihan itu. Tidak setelah melihat reaksi yang ditunjukan adiknya. Tanpa Nisa tahu Lana juga menitikan air mata, meski tak ada sedikit pun suara yang keluar dari bibirnya. *** Sore itu Lana baru menyelesaikan pemeriksaannya di ruangan Om Markus. Seharusnya ada seorang suster yang menemaninya kembali ke kamar, tapi ketika keluar dari ruangan Om Markus yang ia jumpai hanya kekosongan. Suster yang bertugas menunggunya di luar dengan kursi roda yang setia menemaninya selama di rumah sakit menghilang entah ke mana. Setelah lima detik terdiam di depan pintu ruangan Om Markus yang sudah tertutup, Lana akhirnya memutuskan kembali ke kamarnya seorang diri. Meski selama berbulan-bulan menggunakan kursi roda, bukan berarti Lana tidak bisa berjalan sama sekali. Kakinya memang sempat patah karena kecelakaan yang menimpanya, tapi setelah perawatan selama sebulan lebih saat ini kedua kakinya sudah membaik, ia bisa melangkah meski tertatih dan harus berpegangan dengan apa pun yang ada di dekatnya. Butuh waktu untuk sampai di kamar rawat yang selama ini ia tinggali, dengan langkahnya yang kecil dan pendek. Meski begitu pada akhirnya Lana sampai juga, tanpa satu pun perawat yang menghampirinya dan membantu. Tepat ketika Lana akan membuka pintu kamar rawatnya, suara percakapan dua orang dari dalam sana menghentikan gerakannya di gagang pintu. “Lana masih belum mau bicara juga, Ra?” Itu suara Suster Varah, salah satu suster yang memang ditugaskan untuk merawat Lana bergantian dengan beberapa suster lain. “Belum. Saya juga bingung mau bujuk Lana dengan cara apa lagi supaya dia mau bicara.” Suara suster Elmira terdengar lesu. Lana melangkah mundur, merapatkan punggungnya pada dinding dan terdiam di sana. Lana memang tidak bicara pada siapa pun selama beberapa bulan ini, bahkan saat melakukan pemeriksaan bersama Om Markus pun ia hanya akan diam, menanggapi dengan sebuah anggukan atau gelengan kecil sebagai sebuah respon, dan menurut Om Markus itu sudah merupakan kemajuan yang memuaskan. Lana memang seperti manekin hidup yang bisa bernapas dan berjalan, tapi tanpa ia sendiri sadari, seringnya interaksi suster-suster itu dengannya beberapa bulan terkahir membuat Lana hafal di luar kepala suara suster siapa saja yang sering menemani hari-harinya. “Saya tahu, beban untuk gadis seusianya menjadi saksi tunggal kematian orang tuanya sendiri. Tapi saya juga kasihan dengan Nisa, dia harus menerima kematian orang tuanya, ditambah keadaan adiknya yang seperti ini. Itu membuat Nisa harus menanggung dua kali lipat rasa sakit di waktu yang sama. Itu mengapa saya tetap ingin membuat Lana bicara, bagaimana pun caranya.” Entah siapa yang terdengar menghembuskan napas berat, tapi suara yang kemudian terdengar setelahnya adalah suara Suster Varah, “Di kamar ini ada pasien yang hidup tapi seperti orang mati, tidak bicara, tidak juga merespon sekitarnya. Sementara di kamar 309 ada pasien yang terlihat seperti sudah mati tapi masih berusaha untuk tetap hidup.” “Hush! Jangan sembarangan kamu kalau bicara, Rah!” Terdengar suara kekehan dari dalam sana, diiringi permintaan maaf Suster Varah karena ucapannya yang terdengar berlebihan. Sementara itu, di tempatnya berdiri, Lana bergeming, meski kedua tangannya sudah terkepal di sisi tubuh. *** Baik perkataan Suster Elmira maupun Suster Varah masih terngiang di telinganya sore itu. Lana membutuhkan waktu cukup panjang untuk merenungkan semua apa yang didengarnya. Tidak ada yang salah dengan perkataan kedua suster itu, faktanya keadaan Lana saat ini memang persis seperti yang mereka katakan. Menjadi beban untuk Nisa yang pada akhirnya harus menanggung dua kali lipat rasa sakit karena keadaannya saat ini. Belum lagi sikapnya yang menyerupai mayat hidup, seolah tidak mensyukuri bahwa dirinya masih diberi kesempatan untuk hidup dan malah menyia-nyiakannya dengan apa yang ia lakukan. Sikap bungkamnya, sikap nonresponsive-nya, dan semua yang sudah ia abaikan beberapa bulan terakhir. Keheningan kamar itu pecah ketika suara tangis Lana terdengar. Bukan tangis isakan yang biasa terdengar sebulan terakhir, tidak juga dengan tubuh mengigil dengan rancauan tak jelas yang biasa menyertai fase itu. Tangisan kali ini lebih terdengar normal, terdengar layaknya tangisan seorang gadis 15 tahun yang kehilangan kedua orang tuanya. Nisa yang sedang duduk membereskan pakaian adiknya di sofa ruangan itu berlari menghampiri, memegang kedua pundak gadis itu berusaha membaca apa yang terjadi. Hingga kalimat yang meluncur dengan suara yang ia rindukan itu terdengar, membuat Nisa sendiri lupa dengan apa yang harus ia lakukan. “Ayah dan Ibu harusnya selamat, Ayah dan Ibu bisa selamat kalau aku bisa hubungi ambulan secepatnya. Tapi Lana nggak bisa bergerak, Kak... Kaki Lana nggak bisa digerakan untuk ambil ponsel yang terlempar jauh.” Seketika bayangan kecelakaan itu melintas di benak Nisa. Meski ia tidak berada di tempat kejadian entah mengapa ia bisa membayangkan bagaimana situasi sulit yang saat itu di alami adiknya. Mobil yang terbalik, kedua kaki terperangkap yang membuatnya tidak bisa bergerak, lantas menyaksikan kedua orang tuanya yang sekarat di antara bau amis darah dan bensin yang bocor. Lana hanya bisa menangis, memanggil Ayah dan Ibu yang tersenyum menenangkan ke arah putrinya. Terus menggumamkan bahwa putri bungsunya itu akan baik-baik saja. Di tengah suhu dingin malam itu, dengan dengungan panjang klaskson truk yang juga terguling pada kecelakaan tunggal malam itu. Hanya dengan sekilas bayangan itu saja sudah cukup membuat hatinya sakit bukan main, lantas bagaimana Lana? Yang saat itu tengah berbahagia karena menjadi lulusan terbaik di sekolahnya, tapi beberapa jam setelahnya kebahagian itu justru harus terenggut dengan kejadian mengenaskan yang harus ia saksikan sendiri. “Maafin Lana, Kak... Lana nggak bisa nolongin Ayah dan Ibu. Lana nggak bisa...” Tangis Lana semakin menjadi, membuat Nisa menarik sang adik dalam pelukan, berusaha menenangkannya meski ia sendiri merasakan kepiluan itu Kali ini Nisa jelas mengerti, mengapa gadis itu memilih bungkam berbulan-bulan hanya untuk menyimpan rasa bersalahnya atas apa yang tidak bisa ia lakukan didetik-detik terakhir kepergian kedua orang tua mereka. Nisa mengerti, dan tidak perlu ada yang dijelaskan lagi. *** “Suster El,” panggil Lana mengghentikan gerakan kursi rodanya yang tengah di dorong. Suster Elmira merubah posisi berdirinya, berjongkok di depan Lana dengan ekspresi tanya. Lana tidak segera bersuara, gadis itu seperti sedang menimbang apa pertanyaan dalam kepalanya layak di ungkapkan atau tidak. “Pasien 309 itu... kenapa?” tanya Lana ragu, melirik ke pintu sebuah bangsal yang baru saja ia sebutkan. Suster Elmira mengikuti arah pandang Lana, sebelum kembali pada pasiennya. “Kenapa bagaimana maksudnya?” Lana menggigit bibir, menggeleng dengan senyum. Gadis itu menyerah untuk bertanya. “Kamu tahu soal Tommy?” Kening Lana berkerut. “Pasien 309 yang kamu tanyakan barusan. Namanya Tommy...” Lana tidak bersuara, lebih tepatnya ia tidak tahu harus menjelaskannya dengan cara apa. Mengatakan bahwa ia tahu tentang pasien itu dari percakapan Suster Elmira dan Suster Varah tempo hari hanya akan membuat suasana canggung karena ia ketahuan menguping, tapi Lana juga penasaran dan ingin tahu lebih jauh dengan apa yang terjadi pada pasien itu. “Mau berkunjung? Mungkin kamu akan mengerti setelah bertemu orangnya langsung.” Suster Elmira tersenyum, berdiri dan mulai mengarahkan kursi roda itu menuju kamar rawat pasien bernama Tommy itu berada.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN