Pagi-pagi sekali, gadis cantik itu sudah siap dengan ripped jeans dan kaus berwarna putih dengan sneakers putih polos yang membalut kaki mungilnya.
Hari ini ia akan berbelanja untuk persiapannya memasuki sekolah baru, bukan sekolah baru sebenarnya, ini masih sekolah yang sama, hanya saja ia baru lulus dan besok memulai lagi sekolahnya dengan menyandang gelar baru. SMA, mulai besok ia akan berstatus sebagai siswi SMA.
Mungkin itu hal biasa untuk gadis lain, tetapi tidak untuk Aily. Dia begitu bersemangat hingga selalu memandangi seragam SMA-nya semalam penuh, ia akan berhenti jika sudah tertidur dengan sendirinya.
Aneh memang, tapi itulah Aily, gadis cantik dengan semua keanehan dan keunikannya, serta kepolosan yang hampir merembet ke b**o.
"Aily sudah siap?" tanya Emma—Mamanya, saat Aily sudah menapakkan kaki pada anak tangga terakhir.
"Iya, tinggal menunggu-,"
"Nah, itu Gavin sudah datang. Aily berangkat ya." Kalimatnya berubah setelah melihat pemuda bernama Gavin itu tersenyum ke arahnya sembari berjalan masuk dan menyapa Emma, sebelum akhirnya pamit dan mereka pergi setelah mendapat izin.
"Gavin, Aily mau beli pensil sama pulpen yang banyak, yang lucu-lucu juga. Oh iya, bukunya juga harus gambar princess Elsa atau Ana. Terus penghapus se-dus, penggaris dan ya tempat pensilnya juga harus beli, yang lucu."
Aily terus mengoceh, membuat daftar apa saja yang harus dibeli, bagaimana gambarnya, warna atau apapun itu yang membuat telinga Gavin panas mendengarnya.
Apalah daya, Gavin hanya bisa mengiyakan saja. Jika keinginan gadis itu dibantah, maka akan terjadi perang dunia ketiga. Keinginan Aily itu mutlak.
Selama perjalanan ke toko buku diisi ocehan Aily yang tiada henti menemani. Jangan tanya bagaimana perasaan pemuda itu, ia sungguh kesal bukan main.
Namun kembali ke titik awal jika Aily tidak bisa dibantah atau dibentak. Bisa-bisa dia yang kena semprot orang tua Aily nanti.
"Turun," ucap Gavin dingin hentikan ocehan Aily, pun Aily mengiyakan lantas turun dan langsung berlari masuk kedalam toko meski mendengar Gavin menyuruhnya berhenti.
Ia tak peduli soal itu sekarang, yang penting, barang impiannya akan segera ada ditangan.
"Gavin udah bilang tungguin, jangan lari-lari ntar jatuh siapa yang disalahin? Ikut Gavin, jangan pergi sendiri!" Gavin menggapai tangan Aily untuk ia genggam.
"Ck, Gavin marah-marah mulu." Gadis itu merungut kesal.
"Gavin beli ini ya, ini lucu. "
Sempat ingin menolak karena Aily menunjuk buku dengan gambar dua orang puteri dengan tulisan 'Frozen', Gavin tahu itu buku untuk anak kecil.
Namun karena tak tega melihat wajah memelas Aily, Gavin pun mengangguk mengiyakan. Tak apa, hanya satu saja tak masalah, pikirnya.
"Hanya satu," jawab Gavin, membuat senyum yang semula mengembang kini luntur kembali dari ranum gadis itu.
"Ck, baiklah satu pack saja. Tapi janji, yang lain Gavin yang urus. "
"Yeay, iya janji, terimakasih!" sorak gadis itu senang. Bahkan sampai berjingkrak-jingkrak tak peduli tatapan pengunjung toko lain terhadapnya.
Mereka terus menyusuri rak-rak perlengkapan sekolah lainnya, Aily bersenandung senang sembari memilih pensil dan kawan-kawan. Sontak menciptakan seulas senyum dibibir Gavin.
"Gavin, beli yang ini, ya?" Mata Aily memelas lucu.
Kemudian senyum itu hilang kala Aily menunjukkan pensil dengan boneka panda diatasnya. Kekanak-kanakan sekali pikirnya.
"Tidak!" tegas Gavin. Aily merengut kesal, ditambah lagi dengan mata yang mulai berkaca-kaca, mau tak mau Gavin menyetujuinya.
"Baiklah, hanya satu. Kalau tidak, gak usah!"
Belum Aily mengeluarkan protesnya, Gavin menyela. Aily pun mengangguk kendati masih ada rasa kesal dihatinya. Mending satu daripada tidak sama sekali.
"Gavin, ini lucu. "
"Tidak! "
"Yang ini? "
"Tidak! "
"Yang-
"Aily cantik, kamu itu udah dewasa bukan anak Tk. Jadi beli yang sewajarnya saja 'kay?" Gavin menyela kesal.
Sungguh, ia seperti sedang mengantar anaknya belanja perlengkapan sekolah. Dari tadi Aily hanya menunjuk barang-barang yang berkaitan dengan boneka atau hal yang berbau anak kecil.
"Aily udah janji Gavin yang urus semuanya sekarang, kan? Ayo, Aily harus tepatin janji. Tuhan marah nanti kalo nggak. " Gavin kemudian melangkah lebih dulu, lalu Aily mengikuti dibelakang meski dengan semua rungutan dan hentakan kakinya.
***
Niat hati ingin mengurus dan membeli perlengkapan sekolah Aily dengan tangannya sendiri, namun kembali urung karena nyatanya gadis itu tidak menepati janjinya untuk menurut pada Gavin.
Harusnya Gavin tidak luluh saat itu, karena sudah dipastikan ia akan kalah jika berurusan dengan gadis remaja yang mentalnya melebihi anak kecil ini.
"Pulang! Gavin udah beliin tas ini buat kamu, sekarang pulang! Gavin capek." Gavin sedikit berteriak, berusaha tegas agar Aily tidak merengek padanya lagi.
Pasalnya, Aily ingin membeli tas dengan gambar boneka Barbie. Oh, ayolah! Aily ini siswi SMA bukan anak TK!
"Aily gak akan pulang kalo gak beli tas itu. Aily bilangin Mama! Gavin jahat. "
Dirasa kesabarannya sudah habis, Gavin menarik tangan Aily kasar dan berlalu pergi dari toko tas yang kini berubah menjadi bioskop karena melihat drama yang terjadi di antara mereka.
"Masuk!" perintah Gavin, nyali Aily yang semula segede gunung kini menciut. Ia pun masuk kedalam mobil.
Didalam mobil hanya ada suara isak tangis tertahan Aily, tidak ada lagi ocehan Aily yang mengudara memekakkan telinga.
Namun entah kenapa, Gavin lebih menyukai ocehan itu dari pada suara tangis tertahan Aily saat ini. Sesekali Gavin melirik kearah Aily, gadis itu terlihat menahan tangisnya dan sesekali mengusap pergelangan tangannya.
Rasa bersalah menyambangi, sebab pergelangan tangan kanan Aily sedikit memerah. Pasti karena tarikannya tadi yang membuat tangan Aily seperti itu. Itu pasti sakit, apalagi untuk gadis sepertinya.
"Aily... " Gavin berusaha memecah keheningan dan kecanggungan diantara mereka.
Namun tidak ada pergerakan ataupun sahutan dari gadis disampingnya ini. Dan ternyata Aily tertidur dengan sisa air mata yang masih mengalir.
Tangan pemuda itu terulur, merapikan anak rambut yang mengganggu kebelakang telinga Aily. Lantas mengusap kepalanya pelan lalu melanjutkan perjalanan menuju rumah Aily.
Terdengar suara deru mesin mobil membuat wanita paruh baya itu menghentikan kegiatan—membaca majalah. Ia meletakan majalah, lalu beranjak guna melihat siapa yang datang.
Ditengah langkahnya, bel rumah terdengar. Dengan cepat ia melangkahkan kakinya, saat membuka pintu wanita itu melihat pemuda dengan seorang gadis dalam pangkuannya.
"Gavin, Aily tertidur?"
"Ayo masuk," lanjut wanita yang menyandang gelar sebagai Ibu dari gadis dalam pangkuannya ini.
Gavin mengantar Aily ke kamar gadis itu, membaringkan dengan penuh kehati-hatian, takut membangunkan gadis itu dari tidur cantiknya.
"Gavin ambil barang Aily dulu, Ma."
Baru akan beranjak, terpaksa ia berhenti lantaran wanita yang dipanggil Mama itu menyuruhnya untuk istirahat sebentar, biar dia yang mengambil, katanya.
Gavin mengiyakan saja, jujur, Aily cukup berat dan Gavin harus menggendongnya dari lantai satu menuju kamar gadis itu yang berada di lantai dua. Bisa dibayangkan bagaimana lelahnya?
Sepeninggal Emma, Gavin mendudukkan dirinya dibibir ranjang. Menatap wajah damai gadis itu, senyum tersemat dibibir Gavin. Ia mengelus rambut Aily sayang, lalu mengecup dahinya pelan.
Gavin kemudian melihat pergelangan tangan Aily yang masih memerah, ia mengenggam tangan itu dan meniup pergelangan tangan yang terdapat memar itu perlahan.
Gavin memang tidak mempunyai perasaan apapun pada Aily, namun saat melihat gadis itu menderita apalagi karenanya membuat Gavin turut sedih. Ia seakan merasakan apa yang Aily rasa, ia marah saat melihat gadis itu tersakiti atau saat dekat dengan pria lain. Gavin tidak suka.
"Maaf, sayang." Tanpa sadar ia mengucap kata-kata keramat itu lalu mengecup pergelangan tangan Aily yang memar.
Sementara presensi lain yang melihat itu tersenyum haru. Wanita setengah baya itu semakin yakin jika Gavin bisa menjaga putrinya, menjadi orang kepercayaan-nya.
***
"Lho, Aily udah siap? Ini baru setengah tujuh, masuk sekolah kan setengah delapan," ujar Emma setelah mendapati Aily duduk dengan tenangnya di sofa sembari menonton film kartun kesukaannya, 'SpongeBob SquarePants'.
"Iya, Aily gak mau telat Ma. Kalo Gavin jemput nanti, Aily udah siap," jawab Aily tanpa memutus pandangan dari TV.
"Aily mau sarapan apa?"
"Roti stroberi kesukaannya Aily, Ma."
Emma pun pergi kedapur untuk menyiapkan sarapan untuk putri semata wayangnya.
"Aily pengen kayak Patrick sama SpongeBob yang bisa nyalain api di dalam air."
"Huh, tapi pasti Gavin nggak bolehin!"
"Aily rotinya udah siap, sarapan dulu sini!" teriak Emma dari ruang makan.
Dengan semangat empat lima bak Wonder Woman Aily melangkahkan kakinya menuju ruang makan untuk sarapan.
Ting
Ponsel Aily mengeluarkan suara notifikasi-nya. Dengan cepat Aily membuka pesan yang masuk, dan benar saja, Gavin mengiriminya pesan.
Gavin
|Maaf ya, Gavin gak bisa jemput.
|Jangan ngambek, ntar Gavin beliin silverqueen yang banyak.
Mendapati gurat kecewa pada wajah cantik Aily, Emma mengernyitkan dahinya bingung. Pasti terjadi sesuatu.
"Kenapa sayang?"
Aily tak menjawab. Gadis itu malah meletakkan ponselnya sedikit kasar, lalu melanjutkan sarapannya dengan cepat dan wajah yang ditekuk.
"Gavin gak bisa jemput Aily, Ma," adunya setelah minum s**u dan menyelesaikan acara sarapan paginya.
"Gavin mungkin lagi sibuk, Aily berangkat sama Mang Asep aja ya?" jelas dan bujuk Emma.
Pun, Aily hanya mengangguk pasrah, dari pada dia terlambat ke sekolah, apalagi ini hari pertama.
"Hati-hati ya,"
"Mang hati-hati ya," lanjut Emma.
Mang Asep mengangguk lalu memasuki mobil diikuti Aily, dan mulai mengemudikan mobil mewah itu menuju sekolah Aily.
"Neng Aily teh kenapa? Kok cemberut gitu mukanya," tanya Mang Asep setelah menyadari akan perbedaan sikap Aily.
Aneh saja, biasanya kan si polos ini selalu berbicara hingga Mang Asep saja lelah mendengarkan.
"Gavin gak jemput Aily Mang, Gavin pasti marah karna kemaren Aily ngotot pengen beli tas," jawab Aily masih dalam mode kesalnya.
"Emangnya Neng Aily teh mau tas kaya apa?"
"Yang ada gambar barbienya, warnanya juga pink, kan bagus. Tapi Gavin gak ngebolehin dan beliin Aily tas ini." Aily berucap kesal, lalu menunjukkan tas yang Gavin beli untuknya pada Mang Asep.
"Itu mah bagus atuh Neng, cocok buat Neng Aily. Jadi tambah cantik."
Mendengar hal itu sontak membuat mood Aily kembali ceria, ia tersenyum senang dan membalas perkataan Mang Asep dengan binar di wajahnya.
"Beneran Mang?"
"Iya."
"Aily kan emang cantik." Kali ini ia berucap riang.
Selama perjalanan menuju sekolah, Aily terus bercerita banyak hal. Mulai dari hal penting hingga hal sepele seperti harus tersedia dua pensil jika Aily sedang ujian atau harus memakai tas dan sepatu dengan warna yang sama. Pun Mang Asep yang hanya mengiyakan dan menjadi pendengar yang baik bagi Aily.
Setengah jam akhirnya Aily sampai disekolah barunya. SMA Perwira 2 yang masih satu Yayasan dengan SMP-nya dulu. Mang Asep kemudian memarkirkan mobilnya terlebih dahulu setelahnya Aily turun.
"Aily masuk dulu ya Mang. Mang Asep gak apapa kan, nungguin Aily sampe pulang?"
"Gak apapa atuh, ini udah jadi tugasnya Mang Asep. Neng Aily belajar yang rajin ya."
Aily tersenyum lalu melangkahkan kakinya menuju lapang sekolah. Terdapat beberapa murid yang sudah berada disana, termasuk para sahabat Aily.
"Aily! Sini!"
Adalah Kirana Arabella, si gadis barbar namun memesona berteriak memanggil Aily hingga semua siswa yang ada disana melirik kearahnya. Ia pun hanya tersenyum kikuk.
"Lu sih, teriak-teriak. Jadi pusat perhatian kan kita," tandas Cleo, gadis cantik dengan sejuta pesona dan kedewasaannya. Sahabat Aily sejak masih dalam kandungan.
"Kirana, Cleo," sapa Aily setelah menghampiri kedua sahabatnya.
"Sikembar mana?" lanjut Aily yang dijawab gelengan kepala dari Cleo dan Kirana.
"Gavin gak jemput Ly?" tanya Kirana, membuat Aily kembali kesal. Ya, meski hanya sedikit.
"Gavin gak bisa jemput katanya, tapi Gavin udah janji beliin Aily silverqueen yang banyak."
Kedua sahabatnya itu hanya manggut-manggut, sudah hafal kebiasaan Aily akan luluh hanya karena dibelikan silverqueen kesukaannya.
Bahkan ia hampir di culik karena seseorang mengiming-iminginya silverqueen.
Silverqueen adalah kelemahan Aily.
"Oh iya Aily, lo ko–,"
"Untuk seluruh siswa kelas 10 kumpul, cowok baris sebelah kanan, cewek kirinya. Cepet!" Suara berat ketua OSIS dari tengah lapangan memotong kalimat Cleo, yang ternyata adalah Gavin.
Semua murid baru itu segera berkumpul dan membuat beberapa barisan. Pun Aily yang menerobos murid lain demi mendapat posisi paling depan. Tentu saja demi melihat Gavin-nya.
Aily tersenyum kearah Gavin yang berdiri didepannya dengan anggota OSIS yang lain, Gavin pun membalas senyuman Aily yang membuat gadis polos itu senyum-senyum sendiri.
Dirasa semua siswa sudah berkumpul, Gavin memulai Upacara pembukaan MOS.
"Hari ini kegiatan kalian cuma baris berbaris, sama nyari tanda tangan OSIS minimal 10 orang. Terus dapet pembinaan dikelas, sama game," ucap Gavin menggunakan mic.
"Kalo udah dapet tanda tangan kalian bisa kumpulin ke Kak Ray atau saya juga gapapa. Mengerti!" lanjut Al, wakil ketua OSIS.
"Siap Mengerti!" jawab murid kelas 10.
Setelahnya semua anggota OSIS berpencar untuk mengurus siswa baru.
"Barisan yang Kakak tunjuk, ikutin Kakak." Yunda, menunjuk barisan Aily dan kedua sahabatnya.
Barisan Aily pun mengikuti Yunda yang sudah berjalan ke arah kanan lapangan.
"Hari ini kalian diajarin sama Kak Al dan Kak Aland," ucap Yunda yang mendapat kekecewaan dari siswi barisan Aily.
"Al, disini kok panas banget," celetuk Aily tiba-tiba, sontak mendapat tatapan tanya dari teman sebarisnya kecuali kedua sahabatnya.
Pun Yunda kembali menghentikan langkahnya karena mendengar perkataan Aily yang kelewat polos dan Al hanya tersenyum geli.
Cleo kemudian membisikkan sesuatu pada Aily, yang membuat gadis itu diam dan meminta maaf.
"Maaf, Kak," sesal Aily.
"Gapapa," jawab Al.
"Cih, kalian gak lupa bawa barang yang kita suruh, kan?"
Pertanyaan dingin Aland membuat suasana yang tadinya hangat seketika dingin dan kaku. Beda halnya dengan siswi lain yang menjawab ‘iya’, Cleo malah khawatir karena Aily tidak membawa apa yang seharusnya dibawa ketika sedang MOS.
Pun, Aily mulai ketakutan karena mendapati tatapan tajam dari Aland. Al yang menyadari itu pun berusaha mengubah suasana kembali dengan bertanya secara perlahan kenapa Aily tidak membawanya.
"Aily? Kenapa gak bawa topi dan alas duduknya?" tanya Al.
"Aily lupa, Aily juga gak bisa buat topi dari bola." Aily menjawab sembari menundukkan kepalanya.
Jika Al masih bisa dia atasi, karena Al adalah sahabat Gavin juga temannya. Namun Aily tidak mengenal Aland, apalagi saat melihat raut wajah Aland yang tidak bersahabat membuat ketakutan Aily semakin menjadi.
"Yaudah gapapa, sekarang kal—,"
"Gabisa gitulah Al, kalo siswa gak nurut itu harus dihukum biar adil." Aland memotong kalimat Al.
"Lari keliling lapangan 20 kali," perintah Aland yang mendapat protes dari kedua sahabat Aily dan Al. Sedangkan Aily hanya diam dan terus menunduk, ingin sekali ia menangis saat ini.
"Ga bisa gitu dong Kak, Aily kan lupa. Kalo mau hukum, tiga aja cukup," bela Cleo.
"Iya, jahat banget si, Aily kan lupa," tambah Kirana.
"Kalian ngelunjak ya, baru hari pertama lho ini. Gimana kalo udah lama nanti?" jawab Aland masih dengan tatapan tajamnya.
"Udahlah, lo jangan keras-keras. Lo liat Aily sampe ketakutan kaya gitu." Al mencoba menengahi perdebatan senior-junior ini.
Namun semua orang tahu jika Aland adalah pribadi yang keras kepala dan terkenal galak. Maka dari itu saat Yunda bilang barisan Aily akan diajari oleh Aland, mereka hanya diam tidak seperti siswi lainnya yang berteriak kegirangan karena diajari oleh anggota OSIS yang lain.
"Gak bisa! Dia harus tetep dihukum!" tegas Aland.
"Yaudah biar gue aja," pasrah Al akhirnya.
"Gak bisa! Dia urusan gue, lo ajarin mereka aja. Aily, ikut gue!" elak dan perintah Aland yang tidak bisa diganggu gugat.
Al, Cleo maupun Kirana hanya bisa diam karena tidak ada gunanya membela Aily. Kecuali oleh satu orang.
"Aily?" ulang Aland.
Aily pun terpaksa mengikuti. Sementara presensi yang melihat drama itu dari jauh hanya terdiam sembari mengepalkan kedua tangannya.
"Lari keliling lapangan 20 kali!" perintah Aland yang sudah sedikit menjauh dari barisan Aily sebelumnya. Aily yang polos pun hanya menuruti tanpa protes sedikit pun.
Satu
Dua
Tiga
"Ulangi! Full lapangan bukan setengahnya!" Aland dengan angkuhnya memerintah.
Al dan kedua sahabat Aily pun emosi karena ini sudah keterlaluan menurut mereka, berniat menghampiri Aily dan memaki Aland, namun terhenti lantaran genggaman di tangan menghentikan Cleo.
"Biar gue aja." Gavin berucap dingin, sontak mendapat pekikan dari siswi lain karena visualnya.
Gavin pun berjalan kearah Aily dan Aland. Terlihat wajah Aily yang sudah memerah dengan keringat yang silih berganti bercucuran dari pelipisnya, yang membuat amarah Gavin semakin menjadi.
"Udah cukup," ujar Gavin dingin, lalu menarik Aily agar sejajar dengannya.
"Kamu ngapain mau nurutin dia, sesekali protes," lanjut Gavin, Aily tidak menjawab, melainkan sibuk mengatur nafasnya dan mengusap keringat.
"Lo keterlaluan Land, lo tau akibatnya kalo Guru tau soal ini? Hukum sewajarnya. Lo lanjut ajarin mereka, Aily gue yang urus." Lantas Gavin membawa Aily ke sisi lapangan.
____________________________________