"Lagi-lagi kamu berbuat kasar Gendis! Apa kamu tidak bisa bersikap manis sebentar saja?" Bu Rita mulai merasa lelah menghadapi sikap Gendis.
"Setiap saya berbuat, pasti ada sebab Bu" jawab Gendis melirik kembali Lulu yang sibuk merapikan rambutnya yang hampir saja rontok semua akibat jambakan dahsyat Gendis.
"Bu, sepertinya Gendis itu punya gangguan jiwa, bagaimana bisa dia menganiaya saya seperti ini!" rengek Lulu, memegang lengan ibu Rita.
"Ibu sudah mendengar semuanya dari teman-teman kalian yang melihat kejadiannya. Kalian berdua bersalah! Ibu harap skorsing dari sekolah selama tiga hari mampu membuat kalian memperbaiki diri" ujar Bu Rita, membenarkan posisi kacamata.
Gendis menghela napas panjang, ia segera bangkit dari kursinya. "Jika tidak ada lagi, saya izin meninggalkan tempat ini ya Bu" pamit Gendis segera keluar dari ruangan BK.
"Ibu lihat? Dia itu sedikit gila" gumam Lulu sambil merintih menahan sakit.
Gendis yang tengah berada di taman Belakang sekolah mengingat kembali kejadian siang tadi, ia mengepalkan tangannya menahan amarah. Air matanya menetes, sambil mengusap kepalanya. Sedari tadi Gendis menahan rasa sakit karena Lulu juga mempunyai kekuatan untuk menjambak rambutnya.
"Ayo pulang" ajak Langit mengulurkan tangannya pada Gendis.
Gendis buru-buru menghapus air matanya, ia berusaha kuat dihadapan siapapun. "Pulang duluan saja, aku masih ingin disini" jawab Gendis.
Langit menarik paksa tangan Gendis, "Apa kamu tidak takut menangis sendirian? Di sini banyak hantunya" bisik Langit, Gendis memicingkan matanya kesal.
Akhirnya Gendis pasrah tangannya di gandeng Langit menuju parkiran sekolah. "Ini baru terjadi, dia sedikit kembali" ucap Langit tiba-tiba.
"Apa maksudmu?"
"Wanita baik hati itu kembali" tambah Langit.
Gendis melepaskan genggaman tangan Langit, "Aku tidak berbuat untuk siapapun!" Ella Gendis.
"Ya, aku tau" kekeh Langit mengusap kepala Gendis.
"Aw, ini sakit sekali" rintih Gendis, menepak tangan Langit.
***
"Kamu tidak sekolah hari ini?" tanya Langit pada sambungan telpon membuat Gendis menjauhkan posisi ponsel dari telinganya.
"Biasa saja! Tiga hari kedepan aku libur sekolah ... sudah, jangan berisik! Aku akan kembali tidur" ucap Gendis menutup sepihak sambungan telpon.
Gendis keluar dari kamarnya, ia mencari sosok sang mama. "Mama ... aku lapar sekali"
Mama keluar dari dalam dapur, ia tersenyum. "Katanya sekolah kamu libur tiga hari? Tapi tadi Mama lihat Langit berangkat sekolah?" tanya sang mama curiga.
Gendis mengambil tempe goreng yang berada di meja makan, ia mengunyahnya pelan. "Mama, Langit itu aktif banget di ekstrakurikuler sekolah. Hampir semua dia ikutin, modern dance aja awalnya dia mau" jawab Gendis berdusta. "Gendis sangat lapar" ucapnya segera duduk.
Mama hanya tersenyum, ia mengusap lembut kepala anaknya ini. "Makan yang banyak, oh iya mama belum cerita. Sore ini kamu sudah bisa mengikuti les tambahan" cerita mama dan itu mampu membuat Gendis terdiam.
"Papa yang mendaftarkan" jelas mama, kembali menuangkan ayam goreng ke atas piring Gendis. "Sudahlah, ikuti saja semua perintahnya ... pendidikan kamu kan memang lebih penting"
"Apa semuanya harus kita ikuti Ma? Lama-lama Gendis muak dengan semua sikapnya!" sela Gendis kesal.
"Sudahlah, makan saja yang banyak! Sore nanti Mama yang akan mengantarmu ke tempat les, semoga kamu menyukainya" mama tersenyum, inilah yang membuat Gendis terus bertahan. Senyuman sang Mama.
"Jika Mama yang meminta, apa bisa Gendis tolak?" ucap Gendis tersenyum manja.
***
"Gendis!! Sudah jam empat, ayo bergegas! Kamu bisa terlambat di hari pertamamu!" teriak mama dari depan kamar Gendis.
"Ya Ma, aku siap" jawab Gendis keluar dari dalam kamarnya. Ia mengenakan kaos polos berwarna abu-abu berserta celana jeans.
"Aih ... anak Mama memang selalu terlihat cantik" puji mama mencubit pipi Gendis.
Gendis memeluk tubuh mamanya, "Karena Gendis anak Mama"
Dengan mengunakan mobil, mereka menerjang kemacetan Ibu Kota. Untung saja letak tempat les Gendis tak begitu jauh dari rumah dan sekolahnya.
"Ini Ma?" tanya Gendis menunjuk sebuah gedung.
Mama mengangguk, ia memarkirkan mobil lalu keluar menemani Gendis.
"Mama minta kamu bertingkah baik ya" pesan mama, diangguk Gendis sambil tersenyum. "Jika begitu, kamu sekarang bisa masuk ke dalam ... jam tujuh akan Mama jemput lagi ya?"
Gendis memeluk tubuh mamanya, "Oke Ma, Gendis akan Ellajar dengan sangat baik" ucapnya mengacungkan kedua ibu jarinya, lalu mencium pipi mamanya cepat. "Hati-hati, i love you" ia melambaikan tangan pada mamanya yang kini sudah berjalan keluar gedung.
Di sudut ruangan, terlihat seorang anak laki-laki yang melihat tingkah Gendis, ia mendecakkan bibirnya. "Anak manja" ucapnya bangkit dari posisi lalu berjalan melewati Gendis yang masih menatap mobil mamanya.
Sepeninggal sang mama, Gendis mulai mencari tahu jadwal lesnya. Ini begitu mendadak untuknya, tapi mau bagaimana lagi? Gendis harus mengikuti semuanya. Ia bertanya pada resepsionis dengan menyebutkan namanya. Setelah mengetahui kelasnya, bergegas Gendis memasuki ruangan yang ternyata berisi beberapa orang saja.
'Apa hanya delapan orang saja?' batin Gendis, ia mencari bangku yang kosong. Tepat dua dari Belakang.
Gendis menaruh tasnya lalu mengeluarkan buku dalam tasnya. Ia sama sekali tidak ingin berkenalan dengan teman sekelasnya ini. Seolah merasa hanya dirinya sendiri di dalam kelas ini.
Les kali ini berjalan lancar, Gendis mampu mengikutinya tanpa hambatan. Hingga saatnya break tiba, semuanya berhamburan keluar kelas tersisa hanya Gendis dan seorang laki-laki yang duduk di sampingnya.
Gendis mengeluarkan novel dari dalam tasnya. Ia mulai melanjutkan bacaannya.
"Apa yang kamu baca?" tanya laki-laki itu melirik novel yang tengah dipegang Gendis.
Tanpa memperdulikan, Gendis melanjutkan membaca.
"Hei, aku bertanya nih!" ulangnya.
Gendis menutup novel, ia melirik laki-laki yang tengah mengusiknya saat ini. "Baca saja sendiri!" perintah Gendis melemparkan novel pada mejanya.
"Dahsyat!" gumam laki-laki itu sedikit terperanjat. Gendis segera bangkit dan keluar meninggalkannya sendirian. "Kenapa dia aneh sekali? Tadi yang aku lihat manjanya, kenapa ia garang sekali?" ucapnya kemudian membaca judul novel yang tengah dibaca Gendis. 'Antologi Kerinduan' keningnya mengkerut, "Wah ... berat nih berat, judulnya saja membuat kepalaku migren" ucapnya melemparkan kembali novel pada meja Gendis.
***
Sepulang les, ada yang membuat teman satu kelas Gendis begitu penasaran. Ia ingin memastikan jika wanita yang ia lihat tengah bermanja-manja dan mengemaskan itu adalah Gendis, teman sekelasnya yang begitu dingin.
"Hai, kita satu kelas" kenal laki-laki itu berdiri di samping Gendis yang tengah menunggu dijemput. "Aku Bintang"
Gendis melirik sinis, "Aku tak perduli" jawabnya, tepat disaat mamanya datang menghampiri.
"Maafkan Mama sayang, jalanan macet sekali ... kamu sudah menunggu lama?" tanya mama.
Gendis tersenyum, ia menggeleng. "Belum kok, ayo pulang ... Gendis sangat lapar" jawab Gendis merangkul tubuh mamanya manja.
Ini membuat Bintang yang melihat perubahan tingkah Gendis kebingungan. "Tante" panggil Bintang, membuat langkah kaki Gendis dan mamanya terhenti.
"Ya? Ada apa Nak?"
Bintang tersenyum. "Itu anaknya?"
Mama Gendis mengangguk, "Iya, kalian satu kelas? Semoga kamu bisa menjadi teman baik Gendis ya" pesan mama Gendis.
Bintang mengacungkan ibu jari, "Pasti itu Tante, ya kan Gendis?" tanyanya dengan penuh penekanan dalam memanggil nama Gendis.
"Mari, Tante dan Gendis duluan ya" pamit mama Gendis, diangguk Bintang.
***
Bersambung ....