Jihan

1765 Kata
            “Bun, dulu waktu suka sama Ayah, Bunda ngapain aja?”             “Ngapain gimana maksud kamu? Ya namanya suka pasti cari-cari perhatian, dilirik aja waktu itu Bunda langsung jungkir balik.”     “Bunda salto?”     “Hush! Ngawur! Ya yang jungkir balik hati Bunda. Emang kamu lagi jungkir balik? Eh lagi jatuh cinta?”     Jihan tersipu dan melanjutkan mencuci piring. Bunda sendiri sedang memasak tongseng ayam kesukaannya.     “Tapi Bun…” Jihan menoleh ke ibunya dan mengerutkan kening. Pertanyaan yang sedang dia pikirkan sering menghinggapi dan membuatnya ragu.     “Menurut bunda, aku cantik nggak sih? Aku menarik nggak? Asa minder kalau udah barengan Tissa dan Kanaya. Mereka itu perfect. Cantik iya, pinter iya. Nggak kayak aku. Pinter pas makan aja. Habis makan balik b**o lagi.”     Jihan mendengus kesal karena ibunya malah terkikik.     “Bunda ngejek aku ya, ih, kesel deh.”     “Ya kamu sendiri yang melabeli diri demikian. Kalau dah tersugesti justru bakal dirasa yang sama. Emang kenapa dengan cantik? Bunda yang selalu kamu bilang cantik pas minta uang jajan aja tetep ditinggal sama bapakmu.”     “Cantik itu nggak menjamin, nak.”     Ucapan Bunda membuat Jihan menekuk wajahnya. Kran air dimatikan kemudian pelan Jihan beringsut mendekati ibunya.     “Bun…maaf,” ucap Jihan pelan dan merentangkan tangannya.     Plak!     “Aduh, mau dipeluk malah digampar,” gerutu Jihan.     “Kamu kamu meluk Bunda tapi nggak lap tangan kamu habis cuci piring. Mau ngelap di baju Bunda kan?” ujar ibunya sambil mengacung-acungkan spatula di depan wajah Jihan.     “Ya Allah, suudzon aja bunda tuh. Ya kali aku mau lap di baju bagusnya bun kesayangan akuu.”     “Bun apa kamu bilang?”     “Heee, Bun…buntelan lemak kesayangan aku.” Secepat kilat Jihan memeluk ibunya sambil tertawa dan masih berusaha menghindari spatula yang tetap ingin hinggap di kepala Jihan. Ibunya hanya bisa menggelengkan kepala sambil pura-pura sebal dengan kelakuan Jihan.     “Aku sayang banget sama Bunda,” bisik Jihan. Ibunya akhirnya bisa juga mengetok kepala Jihan tapi bukan dengan spatula, dengan ciuman di kening Jihan.     “Bunda juga, dah sana masuk kamar. Katanya kamu mau ngerjain presensi…”     “Presentasi bundaaa.”     “Nah iya itu, sana! Dah selesai cuci piring juga. Kalau dah mateng, bunda teriak nanti.”     “Oke siap, aku ke kamar.”     Jihan setengah berlari menuju kamarnya menyadari ibunya butuh sendiri. Tadi tak sengaja Jihan melihat mata Bunda sudah berkaca-kaca. Begitu sampai kamar, Jihan langsung merebahkan dirinya di kasur dan memeluk boneka Stuart, karakter minion yang paling dia suka.     “Ayah kenapa sih harus jahatin bunda.”     Kata-kata itu selalu terngiang selama 3 tahun ini, sejak ayahnya pergi memilih orang lain untuk berbagi suka dukanya. Meski demikian, Jihan dan ibunya tetap setia menunggu di rumah warisan orang tua ayahnya. Di sini, Jihan juga tinggal dengan budhenya yang sudah pensiun dari mengajar dan kebetulan karena diabetes yang diderita membuat budhenya justru malah mengalami kenaikan berat badan yang sangat signifikan. Di satu sisi, memang tidak ada kewajiban bunda dan Jihan merawat budhe. Meskipun budhenya ini kakak dari ayahnya, tapi Jihan dan ibunya justru merawat dengan senang hati.     “JIHAN!”     Baru juga dibatin udah teriak aja budhe tuh     “Iya, Budhe!”     “Obat Budhe mana?”     Jihan bergegas keluar kamar dan menuju ke kamar budhenya. Dilihatnya budhe sedang duduk di sofa dekat jendela sambil kipas kipas meski sudah ada dua kipas angin yang menyala. Pandangan mata Jihan jatuh ke meja kecil yang bersebelahan dengan meja.     “Lha itu udah Jihan siapin di meja, Budhe.”     Wanita berusia 65 tahun itu hanya melirik sekilas dan masih menggerakkan kipasnya.     “Nggak nyampe, ambilin,” perintah Budhe.     Oke. Meja terletak nggak sampai 1 meter. Tangan dijulurkan harusnya nyampe.     “Iya, Budhe.”     Dengan perlahan Jihan mendekat dan membantu Budhe minum obat.     “Kok budhe laper lagi ya? Kamu bisa beliin budhe makanan ringan nggak? Kalau mau beliin budhe buah, beliin mangga.”     “Eh budhe gula darahnya…”     “Kan dah minum obat.”     Pengalaman Jihan, jika budhe sudah titah. Dia nggak bisa menolak atau segala sindiran keluar dari mulut budhenya. Hal yang sangat dihindari Jihan karena tidak ingin ibunya mendengar dan menjadi tersinggung. Menjaga perasaan ibunya itu prioritas.     “Iya, Budhe.”     Dengan langkah gontai, Jihan keluar kamar dan menyambar kunci motor di nakas dekat TV kemudian menuju garasi. Sambil memundurkan motornya, Jihan melihat rumah yang mereka tempati. Ukurannya memang tidaklah besar tapi cukup - dengan tipe rumah 70 - untuk mereka bertiga. Rumah ini dulu dibelikan untuk ayahnya 7 tahun lalu saat nenek dan kakek melakukan pembagian warisan. Sekarang Nenek kakeknya sudah tiada, ayahnya ikutan nggak ada. Bukan kabur dibawa malaikat, tapi kabur karena dibawa perempuan mengaku berwujud malaikat.     “Ini kapan ngerjain presentasi, siang aku dah harus berangkat ke kampus,” gerutu Jihan                                                                                         **     Baru juga Jihan menyenderkan motornya, pandangannya melihat ada keramaian dekat kantin kampusnya. Dimana-mana memang kantin itu selalu berdekatan dengan parkiran mahasiswa. Jadi banyak yang baru sampai kampus malah langsung ke kantin. Mungkin itu salah satu tujuannya kali ya? Menghentikan langkah mahasiswa untuk mengingat bahwa urusan perut itu tidak bisa dianggap sepele. Laper dikit, dah pasti fokus buyar dan belajarpun jadi hilang konsentrasi.     “Oh, anak FT lagi main,” bisik Jihan pelan ketika melihat beberapa teman Ikbal sedang duduk di depan bangunan kantin. Dirinya kemudian memilih melangkah menuju kelasnya.     “Hei!”     “Eh! COPOT! COPOT! COPOT!”     Handphone Jihan asyik berpindah dari tangan kanan ke tangan kiri secara cepat dan tidak beraturan hingga benda itu tergenggam oleh seseorang.     “Sorry, Han. Gue nggak tau kalau lo latah,” ujarnya memberikan alat komunikasi itu kembali ke pemiliknya.     Jihan menengadah dan seketika wajahnya memerah, “Bagas…”     Dengan gerakan cepat, Jihan mengambil handphone dari tangan Bagas dan menyembunyikannya di saku. Bagas yang melihat itu tersenyum kecil. Benar-benar ya, Jihan itu lucu. Mukanya selalu memerah dengan mudah ketika matahari bersinar terik. Bagas melirik matahari yang panasnya menyengat. Tiba-tiba teringat es krim yang ada di minimarket dekat dengan kampusnya.     “Jilat es krim yuk!”     “Ha?” Jihan membelalak dan mulutnya menjadi goa.     Mata Bagas menengadah ke arah matahari. “Panas gini, enakan jilat es krim kan?”     Jihan mengangguk pelan dan meringis.     Mohon maaf, nggak bisa apa ya milih kosakata yang nggak ambigu gitu. Gila, pikiran gue udah mau traveling kemana mana.     “Ada kelas?” tanya Bagas karena melihat Jihan hanya terdiam seperti tidak tertarik ajakannya padahal nggak tahu aja sekarang setan dan malaikat yang ada di pikiran Jihan sedang bersiteru. Masing masing menyampaikan argumennya kenapa Jihan ada di kampus. Gadis itu menggertakkan giginya pelan.     Oke, gue nggak boleh goyah. Presentasimu, Han! Ayo, Kat, kamu bisa!     “Oh, yaudah deh gue sen…”     “Gue mau!”     Kerja bagus, Tan. Lo yang menang.     “Yakin nih? Lo nggak ada tugas atau apapun itu?”     Jihan menggeleng keras dan memberikan senyum kakunya ke Bagas. Dalam hati Jihan, dia sedang mengutuk dirinya sendiri yang terlalu goyah dengan kehadiran Bagas. Bisa jadi nilai tugas dia bakalan F tapi kesempatan untuk berdua dengan Bagas itu bagai menang giveaway. Susah, sekalinya dapat nggak boleh disia-siain.     “Jalan kaki aja ya? Deket ini.”     Jihan mengangguk kemudian menyamakan langkahnya dengan langkah kaki Bagas.     “Lo sendiri kok bisa main ke fakultas gue? Ikbal sama Dean mana?”     “Nggak tau,” ujar Bagas mengedikkan bahunya. “Gue sengaja sih nggak ngajak mereka. Lo tau kan kita nih dah semester 7. Dah mikirin proposal skripsi. Kalau Dean sekali menjentikkan jarinya mah dah jadi. Gue harus nyari inspirasi kemana-mana.”     “Dengan main ke fakultas gue?” tanya Jihan masih bingung korelasinya dimana.     “Salah satunya, salah duanya gue emang sengaja mau ketemu lo.”     “Oh, ketemu gu…”     Tunggu, kayaknya ada ucapan yang nggak wajar masuk telinga Jihan. Langkahnya berhenti sebentar dan seketika wajahnya bersemu merah.     “Tadi lo kesini pas datang dari gerbang masuk gue lihat ngebut banget, muka kusut. Ada masalah?” tanya Bagas. Seketika Jihan bernapas lega. Berterima kasih dalam hati karena Bagas mengalihkan pembicaraan yang membuat mereka rikuh. Mereka berjalan kembali menuju minimarket.     “Nggak sih, tadi buru-buru panas aja. Siang-siang datang ke kampus itu ide buruk.”     “Iya, biasanya cewek paling anti kena sinar matahari siang. Bisa berubah warna kulit.”     “Loh, rasis nih.”     “Mana? Emang ya bisa bisaan cewek memutar balikkan kata,” sungut Bagas kemudian tertawa. Hal tersebut menular ke Jihan. Gadis itu ikut tertawa dan masih meneruskan senyumnya. Merasakan kemenangan kecil. Ya apalagi jika bukan ngobrol dengan Bagas. Sejak mereka berkenalan tak pernah Jihan merasakan ngobrol berdua karena pasti ada saja pengganggu.     Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri.     Jihan menengok ke belakang dengan cepat serta mengelus lehernya. Tidak ada Dean. Biasanya hawa ini dia rasakan ketika Dean muncul hendak rusuh. Mereka berdua melanjutkan obrolan tentang banyak hal. Surprisingly Bagas nggak keberatan dengan hobi Jihan yang suka dengerin Didi Kempot atau Jihan akhirnya tahu bahwa Bagas juga suka kucing. Good, awal yang bagus kan?     “Han, lo tau nggak kenapa pas ketemu sama polisi tidur kita nggak boleh ngebut?”     “Kenapa emangnya?”     “Ya kalau kita ngebut nanti polisi tidurnya malah kebangun hahaha.”     Butuh waktu sepersekian detik hingga Jihan paham dengan bercandaan Bagas, Ternyata anak muda ini sukanya kumpul sama generasi old waktu ngeronda. Terbukti dengan banyaknya lontaran jokes yang diucapkan oleh cowok itu.     Jihan masih tertawa dengan jokes bapak-bapak ala Bagas ketika membuka pintu minimarket dan mendapat terpaan dingin ac ruangan. Matanya bertumbukan dengan sepasang mata coklat yang tajam menatapnya. Seketika badannya membatu melihat siapa yang berada di antrian depan kasir. Tawanya berhenti dan berusaha meraih Bagas yang justru malah sibuk melihat layar handphone-nya.     “Eh, Han, bentar, ya. Lo masuk duluan deh.”     Kepala Jihan memutar mengikuti arah perginya Bagas ke parkiran. Jihan menelan ludah keras sebelum kembali melihat ke dalam minimarket. Senyumnya langsung muncul meski dengan paksaan.     “Hehe, halo, Dean.”     Cowok itu hanya menyeringai kemudian melengos. Jihan perlahan mendekat dan mengedarkan pandangan ke arah lain meski kini jarak mereka hanya setengah meter.     “Anu, lo nggak akan bilang ke Tissa dan Kanaya kan?”     Cowok itu kemudian melirik sebentar dan memberikan barang belanjaannya ke tangan Jihan.     “Lo mau nyogok gue apa?”     “Gue harus bayarin lo nih?”     “Yang bilang gue minta bayaran siapa?”     “Trus ini?” Jihan memperlihatkan belanjaan Dean di depan mata cowok itu.     “Gue capek antri, lo antriin gue ya. Nih duitnya, gue tunggu di luar. Awas, 10 menit nggak keluar, gue laporin Tissa dan Kanaya.”     Gadis itu langsung melotot menahan emosinya tapi tetap melangkah ke antrian menggantikan posisi Dean sambil bersungut.     Dasar anakan kadal!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN