7

1481 Kata
Rose masih berada di kantor Irena hingga hari menjelang sore tidak peduli ketiga sahabatnya itu kerap kali meninggalkan si cantik bunga mawar yang memiliki rambut berombak sepunggung itu merenung sendirian dalam ruangan ibu direktur yang sepertinya tidak pernah bisa duduk dengan tenang barang lima menit sekalipun. Rose menghabiskan sebagian besar waktunya memandangi Irena yang selalu menerima panggilan telepon, tanda tangan ini itu, rapat mendadak di ruang pertemuan, bahkan menghadiri telekonfrensi via saluran internet. Irena tidak mengusirnya dari dalam ruang kerjanya, melainkan membiarkan saja penjual bunga itu meratapi nasib meski sesekali Liz memicingkan mata melihat kelakuan sahabat manjanya itu. Sejak SMA Irena selalu memanjakan Rose. Bahkan wanita itu tidak pernah protes ketika Rose terang-terangan berkata ingin menghibur Jullian yang berduka karena kehilangan Miranda. Satu hal yang sampai sekarang disesali oleh Liz dan Mary. Sikap Rose yang tidak pernah terlihat bersalah itu benar-benar membuat mereka berdua tidak habis pikir. Apalagi Liz yang tanpa malu menentang perbuatan si bunga mawar yang menurutnya tidak etis. Saat itu Irena dan Jullian bahkan masih pacaran. Tapi seperti biasa, saat bibir Irena tercetus kata dia baik-baik saja dengan hal itu, Liz tahu, sebenarnya ia tidak. Sayang sekali, otak sahabat mereka yang tumpul sepertinya tidak paham. Sama tidak paham dengan larangan mengumbar cerita mesra tentang gebetan yang ternyata mantan pacar sahabatmu. "Liz, Rose yatim piatu sejak kecil, kalau kehadiran Jullian bisa membuat dia tersenyum, itu lebih dari segalanya. Dia cuma punya pria itu di dunia, jadi apa masalahnya?" Irena berbisik saat Liz menggerutu dari balik meja kerja ibu direktur sambil mengangsurkan ponsel Irena yang dari tadi terus berbunyi. Liz hanya bisa tertawa sambil mencemooh, " Tidak punya siapa-siapa? Terus kamu bagaimana?" Sebelum mengangkat panggilan yang ditujukan untuknya, Irena tersenyum tipis. "Aku punya uang. I can buy happiness. Jangan khawatir, sayang." Wanita baik budi itu mengelus tangan Liz penuh kasih sayang sebelum berlalu menatap pemandangan kota Jakarta yang terbentang melalui dinding kaca kantornya saat ia menjawab telepon. Lalu biasanya Liz akan terburu-buru berjalan menuju kantor Mary yang berada tepat di sebelah ruangan Irena dan menghabiskan sepuluh menit waktunya untuk memaki Rose. Mary yang pada mulanya tidak tergoda, biasanya akan ikut memaki saat detik menunjukkan hitungan ke tiga ratus alias lima menit sejak keberadaan Liz di ruangannya. "Mereka masih nggak suka aku." Rose akhirnya kembali bersuara saat Irena sudah selesai dengan telepon. Wanita itu menoleh sebelum memutuskan kembali ke mejanya. Masih banyak tanda tangan yang harus ia bubuhkan, tapi melihat keadaan Rose tidak lebih baik dari berjam-jam lalu, mau tidak mau ia terpikir untuk melakukan sesuatu. Setidaknya membujuk Rose untuk meminta Jullian mengajaknya kencan. Tapi ia ragu saat seperti ini pria itu akan menuruti kemauan Rose. Sama seperti Irena, Jullian adalah produk keluarga pebisnis, artinya jadwal pria itu amatlah sibuk. Keluarga Ridwansyah, tidak seperti keluarga Rizaldi, berkonsentrasi di bidang kesehatan. Jaringan waralaba rumah sakit besar, berafiliasi dengan pusat berbelanjaan sekaligus hotel yang akan menampung banyak keluarga saat mereka mengunjungi pasien, termasuk juga transportasi pasien, segala sesuatu yang berhubungan dengan kesehatan, meskipun Jullian sendiri bukan dokter, hanya ibu dan kakeknya, tapi itu kemudian menjadi ladang bisnis mereka hingga saat ini. "Mereka masih belum bisa terima. Tapi setidaknya Liz dan Mary nggak seperti dulu, menjauhi saat kamu datang kemari." Irena menjawab diplomatis saat memandangi Rose yang sesekali menyeka mata dengan tisu. "Ren, udah bertahun-tahun. Harusnya mereka tahu antara kamu sama Jesse sudah nggak ada apa-apa lagi." Irena mengangguk. Ia memilih untuk menyandarkan b****g pada meja kerjanya yang kuat dan kokoh. Ia tersenyum menyadari sejak pertama kali bertemu dengan Jullian, ia memanggil pria itu dengan sebutan Jesse. Sebenarnya tidak hanya Rose, hampir semua orang yang dekat dengan pria itu memanggil Jullian dengan Jesse. Inisial nama Jullian, Jullian Christopher alias JC, kemudian menjadi panggilannya hingga saat ini. Kebiasaan karena sepuluh tahun pertama hidup pria itu dihabiskan di negeri Paman Sam. Meski kebanyakan JC berasal dari inisial John Christopher, nama umum di sana. Tapi dia bukan John, dan Irena ingat, Jullian selalu marah saat Irena memanggilnya Johnny. "Jullian, Ren. Kamu boleh panggil aku J." Sejak awal pria itu meminta Irena untuk memanggilnya J. Tapi dia tidak pernah melakukannya. Ia suka nama Jullian dan tidak pernah menggantinya, hingga saat ini. "Tidak semua orang bisa menerima, Rose. Mungkin masih butuh waktu. Yang paling penting, Jullian milih kamu." Irena tahu ia telah salah bicara saat Rose kelihatan ingin menangis lagi. Cepat-cepat ia berjalan mendekati Rose dan ikut duduk di sebelahnya. "Jesse gak milih aku. Dia milih cewek itu, kalau kamu lupa." Irena lalu menatap langit-langit kantor dan mulai berpikir kalimat apa lagi yang akan ia ucapkan sekadar memberikan penghiburan. Kehadiran Rose sejak pagi hingga hari sudah lewat waktu makan siang adalah bukti kalau ia masih gelisah dan tidak peduli dengan sekelilingnya. Ia tahu dengan jelas perasaan Rose pada Jullian. Sejak awal perkenalan mereka, sejak Rose tahu bahwa dulu Irena pernah menjalin hubungan dengan Jullian, cinta terpendam meski Jullian selalu bersama Irena. Rose yang mudah menangis meski selalu memaksa Irena untuk move on dari kematian orang tua dan Miranda. Rose yang mudah merasa semua orang membenci dan mengejek karena ia yatim piatu. Rose yang selalu minder dan menangis di pojok kelas saat semua orang tahu ia adalah orang miskin yang tak punya apa-apa hingga Irena mendekat dan menawarkan persahabatan. "Lalu tunjukkan pada Jullian kalau kamu lebih bisa diandalkan dari wanita itu. Jullian bilang apa tentang dia? Cantik? Menarik? Kamu memiliki semua itu, Rose. Kamu cuma perlu lebih percaya diri. Hei, sudah bertahun-tahun kamu sama dia, kamu menang banyak." "Dia baik. Jesse ketemu saat dia sedang membagikan nasi sama orang miskin. Entah memang pekerjaannya atau dia sengaja karena hari itu ada Jesse, aku nggak tahu. Yang pasti aku nggak suka, Ren. Serius, kamu kasih tahu aku mesti gimana kalau saingannya cewek itu? Kamu pernah jadi pacarnya." Rose bicara dengan nada berapi-api, membuat dahi Irena berkerut saat ia mencoba menjawab. Namun belum lagi bibirnya terbuka, satu ketukan pelan membuat mereka berdua menoleh ke arah pintu dan sosok Mary yang muncul sambil tersenyum membuat keduanya merasa ganjil. Jawabannya adalah kehadiran seseorang berwajah amat tampan, seketika merubah atmosfer kantor Irena yang sebelumnya suram menjadi riuh. Mitsu Naoki ada di sini. Rose bahkan lupa kalau ia sedang meratapi Jullian dan memilih meremas tangan Irena dengan kuat. "Oh Tuhan, oh Tuhan, aku mau pingsan." Rose berbisik dengan suara amat pelan, berharap di wajahnya tidak ada kotoran yang akan membuat pria itu jijik ketika Irena menggeleng sambil tertawa. "Jangan, dong." Rose sibuk dengan wajahnya sendiri saat Irena sudah bangkit dan mendekat dengan sopan ke arah tamu yang kini sudah mengulurkan tangan padanya. "Irena san." Suara merdu milik Mitsu mengalun renyah ke telinga ibu direktur yang tersenyum sopan saat membalas jabat tangan tersebut, "Mitsu san, selamat datang. Maaf jadi harus merepotkan datang ke sini." Mitsu yang sudah melepas kacamata hitamnya menggeleng dan menolak kalimat Irena yang mengatakan bahwa ia membuat pria itu repot karena mengunjunginya. "Not at all. Saya senang bisa kemari, tidak menyangka anda akan mengundang." Sementara ketiga sahabatnya mulai gugup dan kaku karena kedatangan sang artis tampan tampak santai mengekori Irena yang memintanya untuk duduk di sofa, ibu direktur lalu tanpa ragu duduk di depan Mitsu. "Maaf karena saya sedang tidak bisa keluar kantor hari ini, ada beberapa pertemuan. Oh iya, perkenalkan, mereka sahabat saya, Liz, Mary dan Rose." Mitsu kemudian berdiri saat tiga wanita di depannya berebut untuk menjabat tangan pria itu. Dengan Mary berada di depan. Dia yang paling antusias, tidak peduli Rose yang berusaha menggeser lengannya agar cepat menyingkir. Bisikan maut dari Liz bahkan tidak membuat Rose menjauh, sekalipun ia sedang menyindir wanita itu menggunakan nama Jullian. "Inget gebetan mu, Rose lalalala." Rose hanya memicingkan mata, menyibakkan helaian rambutnya yang panjang dan nyaris mencucuk mata Liz saat ia lalu mendekat pada Mitsu yang sudah selesai berjabat tangan dengan Mary. Melihat tingkah agresif wanita itu, Liz sangsi dia adalah orang yang sama yang termewek-mewek meratapi orang yang paling Liz benci. Rose bahkan tanpa ragu dan kelihatan sekali ingin Mitsu memberikan perhatian kepadanya sementara Liz yang menyaksikan tingkah wanita itu semakin ingin muntah. Ia lalu memilih untuk duduk di sebelah Irena yang masih terlihat profesional meski Mary dan Rose bersikap amat konyol di depan idola mereka. "Ren, lo mesti waspada." Liz berbisik, melepaskan embel-embel sekretaris yang mesti hormat pada atasan meskipun saat ini mereka sedang berada di kantor. Sungguh ia tak habis pikir, kenapa selama bertahun-tahun Irena masih mau berteman dengan Rose yang amat menyebalkan itu. "Siapa tahu habis ini, Mitsu itu yang mau direbut sama dia." Irena menggelengkan kepalanya, berusaha menahan tawa walau saat ini dia tahu, tatapan Mitsu yang dia tahu, tidak peduli sesekali tertuju pada Rose dan Mary, tetap tearah kepadanya seakan menyimpan sejuta rahasia. Terutama untuk satu hal. Bagaimana seseorang yang berasal dari Jepang bisa memilih dirinya hanya untuk menjadi teman bermain musik sementara ada banyak musisi profesional yang jauh lebih berbakat dari dirinya. Dia tidak bisa tidak curiga. Mitsu Naoki, siapa kamu sebenarnya? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN