5. Jangan Om

1305 Kata
Bima langsung membalik tubuhnya saat mendengar jawaban dari Raisa di ponsel, lalu mendekat ke arah Raisa kembali untuk mengetahui yang terjadi karena suara Raisa yang terkejut tidak bisa disembunyikan. “Oma kenapa, Yah?” desak Raisa. “Nanti aja ceritanya, Rai. Kamu segera ke rumah sakit ya. Ayah tunggu!” Tanpa banyak tanya lagi, Raisa langsung memasukkan ponselnya ke jeans dan bersiap untuk pergi. Sampai … “Tunggu! Biar saya antar kamu. Saya juga mau ke rumah sakit,” kata Bima lalu menggandeng tangan Raisa begitu saja. Manis di saat yang tidak tepat. Raisa tidak bisa mengatakan Bima tertarik padanya karena sepertinya memang tidak. Sepanjang perjalanan tidak ada yang membuka pembicaraan. Baik Raisa dan Bima sepertinya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Terlihat ketegangan di wajah Raisa dan hal itu tentu disadari oleh Bima yang mencuri pandang dengan sudut matanya saat menyetir. “Oma akan baik-baik saja. Sudah ditangani oleh dokter UGD yang bertugas dan dia teman saya.” Raisa langsung menatap Bima dan terpancar kelegaan luar biasa. “Kapan Om nelepon temen om?” tanya Raisa. “Tadi.” “Ko ga kedengeran?” tanyanya bingung . Karena sepertinya tidak ada suara apa pun yang Raisa dengar kecuali suara sang ayah yang terdengar kalut. Bima tidak menjawab lagi dan Raisa diam dan hanya melihat Bima menyetir. Kacamata hitam sang dokter membuat Raisa hilang fokus sebentar sebelum akhirnya tersadarkan ada hal yang lebih mendesak untuk dipikirkan selain kegantengan pria di sebelahnya ini. “Langsung ke lantai 3. Tanya Nurse untuk kamar nomer berapanya!” perintah Bima yang langsung jalan ke arah berlawanan dengan Raisa. Raisa sampai menggunakan tangga karena tidak sabar menunggu lift yang rasanya berjalan sangat lama. Perasaannya sangat campur aduk karena meski sering bersilat lidah dengan oma, tapi sesungguhnya Raisa tahu semua itu demi kebaikannya yang sudah tak punya ibu. Lorong rumah sakit terasa sangat panjang di mata raisa sekarang, ditambah lagi detak jantungnya yang tak bisa berdetak santai. Entahlah, ada satu perasaan takut yang sulit dia gambarkan. Tidak bisa dipungkiri, hanya oma yang sabar berdebat dengannya. Raisa berdiri cukup lama di depan pintu bernomor 28E tersebut. Sambil melihat beberapa pesan dari sang ayah yang mengatakan agar Raisa segera menghubunginya sesampai di rumah sakit, selain itu dia hanya bisa termenung dan gemetar. Di balik pintu ini, dia sadar harus menerima kenyataan. rasanya sulit untuk mempersiapkan diri, yang dia tahu sekarang sang ayah tidak dalam keadaan tenang. Terakhir kalinya sang ayah seperti ini saat ibu Raisa meninggal dunia. Dan ingatan itu masih melekat dalam ingatan Raisa, bagaimana sulitnya membuat ayahnya bisa bangkit dari semua kesedihan dan keterpurukan. Semoga tidak akan terjadi seperti itu lagi. “Ayah …” Raisa hanya diam dan melihat di sekitar tempat tidur sang oma terpasang berbagai macam alat yang familiar tentunya bagi Raisa. “Rai … Oma. Kamu dah bertemu dengan dokter Bima?” “Tadi … tadi bareng … tapi ga tau sekarang kemana,” jawab Rai terbata. Dia masih fokus melihat sang Oma yang terbaring lemah dengan wajah lemas. Raisa menatap ke arah ayahnya yang masih duduk dengan tangan terlipat di d**a. Tangan kirinya menyentuh dahi dengan gerakan menekan. Benar firasat Raisa, kondisi oma serius. “Apa yang terjadi ayah? bukannya tadi oma baik-baik saja saat aku minta ijin?” tanya Rai pelan. “Jatuh. Oma jatuh di kamar mandi begitu saja. Pengurus rumah bilang, oma baru saja dari kebun lalu kembali ke kamar untuk istirahat. Kejadiannya sangat cepat, Bi Pipin tidak sempat menangkap oma, sehingga oma terpeleset begitu saja.” Raisa mendengarkan penjelasan ayahnya dengan seksama dan dia paham betapa kejadian ini sangatlah serius, bahkan lebih serius dari yang dia pikirkan. “Apa kata dokter, Yah?” “Intensive. Lagi nunggu dokter Bima untuk kasih penjelasan.” Dokter Bima dan hasil analisanya pastilah yang membuat ayahnya demikian khawatir seperti ini. Sepertinya Rai harus mencegat dokter Bima dulu untuk bertanya lebih lanjut dan mungkin bisa memberikan beberapa nasehat saat menjelaskan kepada ayahnya nanti? Itulah yang ada di pikiran Rai sekarang. Mencari dokter Bima. Rai sengaja menunggu di luar agar bisa menemui dulu sang dokter sebelum masuk menemui sang ayah. Tapi, saat melihat dokter Bima, lidah Rai malah kelu dan tak bisa berkata-kata. “Ada apa Raisa?” tanya dokter Bima sambil melihat mata Rai yang sedang takut. “Eh … Oma? Bagaimana?” akhirnya kata-kata itu bisa keluar dari bibir Raisa. “Saya akan menjelaskan sekalian dengan ayah kamu,” jawab Bima sambil bergerak melewati Raisa. Tapi Rai malah menahan lengan sang dokter dan menariknya ke arah yang lebih sunyi. Bahkan perawat yang mendampingi sang dokter tampak kebingungan melihat yang terjadi. Jarang sekali ada keluarga pasien yang berani pada dokter saat sedang bertugas. “Saudara saya. Masuk duluan Suster dan periksa semua kembali!” perintah Bima agar tidak ada kecurigaan di benak sang suster. Suster tersebut hanya mengangguk sambil pergi meninggalkan Bima dan Raisa. “Ada apa Rai?” tanya Bima pelan, dia tahu ada yang tak biasa pada Rai. “Gini … maaf kalo malah nyegat om. Hemmm …” “Ngomong aja, sambil duduk, yuk?” ajak Bima yang saat ini tahu bahwa Raisa terserang panik. Dan Bima tentunya tidak mau menambah daftar menjadi daftar tersangka jika ada sesuatu yang terjadi pada Raisa. Raisa yang masih cemas menuruti kata Bima, lalu duduk dengan patuh. “Ada yang bisa saya bantu sebagai dokter, Rai?” tanya Bima mencoba menjaga profesionalitas pekerjaannya. “Iya … Gini! Sebelumnya aku minta maaf karena mencegat om Bima di sini. Tapi ini menyangkut ayah aku.” “Lanjutkan …” Raisa menarik napas dan mencoba untuk menormalkan detak jantungnya. “Ayah tuh cepet banget terpuruk. Waktu ibu aku meninggal ayah ga keluar rumah selama 5 bulan. Kerjaan di handle di rumah, aku susah banget bangkitin semangatnya lagi. Maksud aku, kalo misalnya hasil diagnosa oma memang buruk, bisa ga kalo ngomongnya sama aku dulu. Biar aku pelan-pelan yang kasih tau ayah.” Bima nampak mengerti dengan apa yang disampaikan oleh Raisa. Tentu saja dia harus mengerti keinginan keluarga pasien. “Jika harus seperti itu, baiklah.” “Terima kasih. Lalu hasil diagnosanya, Om?” “Bisa ga? Ga manggil aku om?” “Ga bisa. Kamu dan om-om udah terpatri di hatiku,” ujar Rai yang keceplosan memakai kata ‘hati’. Bima yang mendengar Raisa hanya bisa mendelik tajam sambil mengerutkan dahinya. “Maksudnya … udah kebiasaan manggil om-om,” ralat Raisa sambil mesem-mesem. “Kembali ke topik. Oma seserius apa?” tanya Raisa. “Serius. Bahkan sepertinya ada kemungkinan lama untuk bisa berjalan lagi.” Raisa langsung menutup wajahnya mendengar kata-kata Bima. Tapi dia sadar harus kuat demi ayah dan omanya. “Jangan bilang sama ayah dulu. Aku saja yang memberi pengertian nanti.” “Jika itu mau kamu. Saya ikut saja.” “Kira-kira … berapa lama bagi oma untuk pulih?” tanya Raisa lagi. Bima terdiam dulu dan lama untuk menjawab. Bagaimanapun dia harus jujur pada keluarga pasien agar bisa membantu psikis pasien. “Support keluarga penting bagi penderita stroke. Membuat hatinya happy dalam menjalani keadaan yang pasti membuat shock.” Air mata Rai langsung jatuh mendengar kata-kata Bima. Terbayang di pelupuk mata Raisa, bagaimana hari yang akan dilalui sang oma nanti. “Aku paham. Aku janji ga akan bikin masalah lagi buat oma.” “Emang kamu suka bikin masalah?” tanya Bima menyelidik. Namun, di dalam hatinya dia tertawa karena ekspresi Rai sekarang sangat lucu dan tertekan. “Engga sih masalahnya. Cuman oma nuntut aku nikah kaya yang gampang!” Raisa merasa keceplosan lagi dan membuat wajahnya seperti kepiting rebus sekarang. Bima langsung membuang muka karena tanpa sadar dia juga jadi malu mendengar ocehan Raisa. Padahal seharusnya dia tidak perlu malu, bukan? “Baiklah. Kita ke tempat ayah kamu sekarang.” “Mau ngapain?” “Ya … untuk bicara.” “Jangan bicara tentang kita … ayah bakalan bisa ngamuk lagi!” “Kamu ga sehat, Raisa!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN