Bab 5

1101 Kata
Seva meronta ketika akan dibawa ke Pos satpam. Apa satpam-satpam itu tidak bisa ingat bahwa ia adalah menantu di keluarga ini. Atau karena matanya membengkak, rambutnya acak-acakan, dan bajunya kotor lantas ia dianggap sebagai orang gila. Seva mulai pasrah saat melihat mertuanya berdiri di depan pintu sambil tersenyum puas. Sekarang, Seva sudah ada di Pos satpam. Duduk diam saja tanpa suara. Ia baru saja memberikan kontak Selin pada mereka untuk dihubungi. Semoga saja ia tidak merepotkan Ibu hamil itu. Kali ini saja ia merepotkan Selin. “Seva!” Selin memekik saat melihat kondisi sahabatnya itu. Ia segera meminjam jaket yang dipakai teman yang mengantarnya lalu memakaikan pada Seva. “Selin...” Seva menarik napas berat, tatapannya kosong. Ia benar-benar tak berdaya. “Sebentar ya.” Selin segera menjelaskan bahwa Seva bukanlah orang gila yang sedang mengganggu keluarga Zayn, melainkan menantu di keluarga itu. Setelah dijelaskan panjang lebar, para satpam tadi meminta maaf. Seva segera dibawa pulang oleh Selin. Untuk malam ini, ia menemani Seva tidur. “Seva, semoga badai segera berlalu, ya,”bisik Selin dengan linangan air mata.     ** Kepala Seva masih nyut-nyutan pasca menangis semalaman di rumah Selin. Tapi, untung saja sahabatnya itu dengan sabar menemaninya. Pagi ini, mau tak mau ia harus tetap masuk ke kantor. Beberapa orang menatapnya dengan kasihan, tapi, ada juga yang seolah sedang menertawakannya. Seva berusaha menutup mata dan telinga, gosip itu akan cepat berlalu seiring berjalannya waktu. Semoga begitu juga dengan hatinya. Seva menghadapi pekerjaannya meski sebenarnya ia susah fokus. Masalah pribadi tak bisa dibawa ke dalam pekerjaan. Seva pasti bisa melewati ini semua. Ia teringat dengan kata-kata teman Selin semalam, untuk apa bertahan dalam ketidak bahagiaan. Untuk apa masih bersikukuh mempertahankan sebuah hubungan yang di dalamnya hanya ada cinta sepihak. Itu sangat menyedihkan. Memang pahit, Seva berusaha belajar realistis. Menerima kenyataan bahwa Zayn memang ingin berpisah darinya. Seva menyadari handphonenya berbunyi. Ia mengembuskan napas berat begitu melihat Mamanya yang menelpon. Ah, rasanya ingin sekali ia mencurahkan semua isi hatinya saat ini. Hanya keluarga,lah, tempatnya kembali saat ia sudah bercerai nanti. “Halo, Ma...” “Apa kabar, Seva?” “Baik, Ma. Mama sama Papa sehat, kan?” “Mama sehat, Seva. Tapi, Papa...kurang sehat. Jantungnya kambuh, sedikit...” “Papa sakit, Ma?” Jantung Seva berdegup kencang. “Bukan sakit apa-apa kok, entah kenapa tiba-tiba lemas aja denger kabar Pakdemu sakit. Tapi, ya sekarang nggak apa-apa kok.” Seva mengembuskan napas lega.“Syukurlah kalau begitu, Ma.” Seva tidak membahas lebih jauh lagi. Ia takut kekhawatiran ini akan membuatnya semakin down. “Kamu lagi sakit, Seva? Kok suaranya beda?” Seva tersenyum kecut, ia tidak boleh menceritakan kondisinya saat ini.“Iya, Ma. Sedikit...” “Kamu lagi sedih kayaknya. Kenapa? Berantem sama Zayn?” Hati Ibu memang begitu peka, dari suara anaknya saja ia bisa tahu apa yang sedang terjadi, meskipun tidak sepenuhnya ia ketahui. “Iya, Ma. Berantem kecil aja kok.” Seva terpaksa tertawa kecil supaya tidak terlalu ketahuan ia sedang sesedih ini. “Oh, dalam berumah tangga...bertengkar itu adalah hal biasa. Kalian baik-baik di sana, ya. Masalah apa pun...tolong dibicarakan baik-baik, jangan sampai menimbulkan malapetaka dalam rumah tangga kalian, apa lagi sampai terjadi perceraian.” Seva menelan ludahnya. “Apa perceraian itu buruk, Ma?” “Tentu saja, Seva. Perceraian itu mimpi buruk. Mematahkan apa yang sudah ada. Mama ini anak korban perceraian. Nenek kamu hampir gila saat menghadapi resiko atas keputusannya sendiri, yaitu bercerai. Maka dari itu, baik-baik di sana ya sama Zayn.” Pesan dari sang Mama semakin mengiris-iris hati Seva. “Iya, Ma.” Seva menahan tangisnya. “Ya sudah, Mama mau siapkan sarapan Papa dulu ya. Salam untuk Zayn.” “Iya, Ma.” Tangan Seva bergetar memutuskan sambungan telepon. Tubuhnya hampir ambruk, tapi, ia bertahan sekuat mungkin. Seva mengambil tasnya, kemudian pergi dari kantor dengan tekad bulat. Ia akan ke pabrik menemui Zayn. Kali ini ia akan membuat keputusan, apa pun resikonya, ia akan menanggung semuanya seorang diri. Seva masuk ke dalam Pabrik, disapa dengan ramah oleh beberapa staf yang melintas. Wanita itu membalasnya dengan senyuan singkat. Seva menuju ruangan Zayn, beruntung pria itu ada di dalam. Zayn melirik sekilas, lalu mendecak sebal.”Kenapa ke sini? Ini jam kerja.” Seva mengepalkan tangannya, ia ingin marah, tapi, rasanya hanya akan sia-sia. Ia harus mengabaikan ucapan pedas Zayn barusan.“Aku mau buat kesepakatan sama kamu.” Zayn menarik naps berat. Disandarkan tubuhnya ke sandaran kursi.“Nggak ada kesepakatan apa pun. Kita bercerai, pokoknya ...kamu jangan menuntut apa pun, karena harta yang ada di rumah semuanya aku yang punya. Kamu nggak menghasilkan apa pun selama menikah!” Hati Seva tertampar, seenaknya saja Zayn mengatakan kalau Seva tidak menghasilkan apa-apa selama menikah. Padahal, gaji mereka itu sama. Kemana gaji Seva selama ini kalau bukan untuk dipakai kebutuhan bersama. Lagi pula bukankah Seva juga memiliki hak atas harta bersama setelah menikah. Memang laki-laki tidak tahu bagaimana sulitnya mengatur keuangan rumah tangga. Tahunya hanya menyalahkan. “Aku tidak akan menuntut harta, tapi aku ingin memohon satu hal sama kamu,”ucap Seva dengan tegar. Zayn melirik tajam.“Apa?” “Jangan bilang sama keluargaku soal perceraian kita.” Di dalam sana, hati Seva hancur berkeping-keping saat mengatakannya. Tapi, ia tidak boleh menunjukkan kerapuhannya lagi dengan Zayn. Ia tidak ingin harga dirinya diinjak-injak terus dengan Zayn dan mertuanya. Zayn berkacak pinggang sambil menggelengkan kepalanya heran. “Bagaimana caranya supaya keluarga kamu nggak tahu soal perceraian ini? Kita harus terus bersama,kan, saat di hadapan mereka. Terus kalau Mama atau Papa kamu nanyain aku bagaimana?” Seva mengangguk, ini memang tidak mudah, tapi, jika Zayn mau bekerja sama ini tidak akan sulit.“Biar itu menjadi urusanku, yang penting kamu setuju. Keluarga kamu juga harus sepakat dengan ini. Jaga rahasia ini, aku akan bicara sendiri sama mereka di waktu yang tepat.” Zayn mengangguk cepat, permintaan yang sangat mudah.”Baik, deal!” Pria itu mengulurkan tangannya. Lebih cepat menjawab, lebih baik. Dengan berat hati Seva membalas uluran tangan Zayn.”Deal.” Sebentar lagi ia akan resmi menjadi seorang janda.   **   Seva memekik kegirangan saat pesawatnya sudah mendarat di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan. Ia mengambil cuti untuk liburan ke kota ini atas rekomendasi temannya. Rasanya tenang sekali bisa menjauh dan menghindari kepenatan pekerjaan. Memang seharusnya ia melakukan ini sejak dulu, setelah bercerai dengan Zayn. Satu tahun terlewati begitu cepat. Rasanya baru kemarin ia memeluk kehilangan separuh jiwanya. Menangis meraung-raung meratapi nasibnya. Syukurlah ia bisa melewati meski banyak sekali hujatan yang menghampiri. Kunci utama hidup bahagia adalah menjadi tuli atas komentar negatif orang-orang terhadap kita. Itu bisa menjadi racun yang perlahan mematikan otak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN