Jantungnya berdetak lebih kencang. Terlalu muda, dia mengingatkan dirinya dengan galau. “Mungkin saya bisa bicara dengan Bob—maksud saya Mr. Banner. Akan saya lihat jika—“
Satu detik lebih dari cukup untuk mengubah segalanya: suasana di dalam ruangan, tujuanku kesini, alasanku mencondongkan tubuh ke perempuan ini... semuanya lenyap.
Satu detik yang dibutuhkan Samantha Wells untuk membuka pintu dan menaruh laporan di rak, lalu keluar lagi. Satu detik yang dibutuhkan bagi hembusan angin dari pintu melabrakku. Satu detik yang kubutuhkan untuk menyadari mengapa pikiran orang pertama tadi tidak mengganggu.
Aku menoleh, meskipun tidak perlu. Aku menoleh pelan, berjuang agar otot-ototku tidak memberontak.
Bella Swan sedang berdiri dekat pintu. Secarik kertas ditangannya. Matanya melebar ketika mendapati tatapan ganas dan tak manusiawiku.
Bau darahnya memenuhi ruang kecil hangat ini. Kerongokonganku membara. Monster itu kembali menatapku dari matanya, topeng iblis.
Tanganku bersiap di meja. Tak perlu melihat untuk menjangkau kepala Mrs. Cope dan membenturkannya ke meja hingga membunuhnya. Dua nyawa, daripada duapuluh. Cukup adil.
Sang monster menuggu gelisah, lapar, ingin cepat-cepat menyelesaikannya. Tapi selalu ada pilihan—pasti ada.
Kuhentikan napasku, dan menampilkan wajah Carlisle di depan mataku. Aku berbalik ke Mrs. Cope, dan 'mendengar' kekagetannya melihat perubahan ekspresiku. Dia mundur, tapi ketakutannya tidak terucap.
Menggunakan segala daya yang kulatih puluhan tahun menyangkal diri, aku berkata sehalus mungkin. Ada cukup udara di paru-paru untuk bicara sekali lagi, dengan cepat.
“Kalau begitu lupakan saja. Aku tahu ini tidak mungkin. terima kasih banyak atas bantuannya.”
Aku cepat-cepat keluar, berusaha tidak merasakan kehangatan darah gadis itu saat melewatinya.
Aku tidak berhenti sampai tiba di mobil, berjalan terlalu cepat. Kebanyakan sudah pada pulang, tidak terlalu banyak saksi. Aku mendengar suara D.J. Garret, melihat, kemudian mengabaikannya...
Darimana datangnya si Edward—seperti muncul begitu saja... mulai lagi, membayangkan yang aneh-aneh. Mom selalu bilang...
Ketika menyelinap kedalam mobil, semua sudah disitu. Aku berusaha mengatur napas tapi justru terengah mencari udara segar seperti habis tercekik.
“Edward?” Alice bertanya, suaranya waspada.
Aku cuma menggeleng.
“Apa yang terjadi padamu?” Emmet mendesak khawatir. Pikirannya teralihkan, sementara, dari kenyataan bahwa Jasper sedang tidak mood untuk pertandingan ulang.
Bukannya menjawab, aku buru-buru memundurkan mobil. Aku mesti cepat-cepat meninggalkan parkiran sebelum Bella Swan datang. Bagiku dia setan yang menghantuiku... Aku menginjak pedal gas dalam-dalam. Kecepatanku sudah empat puluh mil sebelum keluar parkiran. Di jalan, aku mencapai tujuh puluh sebelum tiba di kelokan.
Tanpa menoleh, aku tahu Emmet, Rosalie, dan Jasper menatap Alice. Dia cuma angkat bahu. Dia tidak dapat melihat yang lalu, hanya masa depan.
Dia mengeceknya sekarang. Kami sama-sama mengolah penglihatannya. Dan sama- sama terkejut.
“Kamu akan pergi?” dia berbisik sedih.
Yang lain menatapku.
“Apa aku begitu?” aku mendesis lewat sela-sela gigi.
Dia melihatnya kalau begitu, begitu aku mengambil keputusan, dan pilihan lainnya yang jauh lebih kelam.
“Oh!”
Bella Swan, mati. Mataku, merah terang oleh darah segar. Pencarian oleh penduduk. Penantian kami sebelum semua aman dan memulai lagi dari awal...
“Oh!” Alice kaget lagi. gambarannya jadi lebih detail. Aku melihat bagian dalam rumah Sherif Swan untuk pertama kalinya. Melihat Bella di dapurnya yang kecil dengan lemari kuning. Dia memunggungi ku ketika aku menyelinap dari balik bayangan...merasakan aromanya menuntunku...
“Stop!” aku mengerang, tidak tahan lagi.
“Sori,” bisiknya, matanya melebar.
Sang monster kegirangan.
Penglihatannya berubah lagi. Jalanan kosong malam-malam, pepohonan berselimut salju di sisinya, berlalu cepat dua ratus mil perjam.
“Aku akan merindukanmu,” ujar Alice, “Tak perduli seberapa singkat kau pergi.”
Emmet dan Rosalie bertukar pandang prihatin.
Kami hampir sampai di belokan jalan masuk ke rumah.
“Turunkan kami disini,” pinta Alice. “Kau sebaiknya memberitahu Carlisle sendiri.”
Aku mengangguk, dan mobilnya mendecit berhenti.
Emmet, Rosalie, dan Jasper turun tanpa komentar; dia akan minta penjelasan Alice setelah ini. Alice menyentuh pundakku.
“Kau akan mengambil jalan yang benar.” ucapnya pelan. Bukan penglihatan kali ini sebuah perintah. “Dia satu-satunya keluarga Charlie Swan. Itu akan membunuhnya juga.”
“Iya.” kataku, setuju hanya pada bagian terakhir.
Kemudian ia turun. Alisnya bertaut gelisah. Mereka masuk ke hutan, menghilang sebelum aku memutar mobil.
Aku melaju cepat ke arah kota. Dan aku tahu penglihatan Alice akan berganti dari kegelapan malam menjadi siang. Begitu menginjak sembilan puluh mil perjam menuju Forks, aku tidak yakin dengan tujuanku. Berpamitan dengan ayahku? Atau menyerah pada monster dalam diriku? Mobilku melaju kencang diatas aspal.