Aku berbaring diatas tumpukan salju, membuat cekungan disekitar tubuhku. Kulitku mendingin menyesuaikan udara sekitar. Sebutir es jatuh ke kulitku seperti beledu.
Langit diatasku cerah, bertabur bintang, sebagian bependar biru, sebagian kuning. Kerlip-kerlip itu begitu megah dihadapan kegelapan malam—pemandangan luarbiasa. Sangat cantik. Atau mungkin lebih tepat disebut indah. Seharusnya, jika aku benar-benar dapat melihatnya.
Ini tidak jadi lebih baik. Enam hari sudah lewat, enam hari besembunyi di hutan belantara teritori keluarga Denali. Tapi aku belum juga mendapati kebebasan sejak pertama kali mencium aroma gadis itu.
Ketika menatap ke langit, seakan ada penghalang antara mataku dan keindahannya. Penghalangnya adalah sesosok wajah, wajah manusia biasa yang tidak istimewa, tapi aku tidak bisa mengusirnya.
Aku mendengar suara pikiran mendekat sebelum suara langkahnya. Bunyi gerakannya hanya berupa gesekan halus.
Aku tidak kaget Tanya membututi kesini. Aku tahu beberapa hari ini ia ingin bicara denganku, menunggu hingga yakin pada pilihan katanya.
Dia muncul enam puluh yard didepanku, mendarat dengan bertelanjang kaki di atas batu hitam dan menyeimbangkan tubuhnya.
Kulit Tanya keperakan dibawah cahaya malam. Rambut pirang ikal panjangnya berpendar pucat, hampir pink seperti strawberi. Matanya yang kuning madu berkilat saat menatapku, yang setengah terpendam dibawah salju. Bibirnya yang penuh tertarik halus membentuk senyuman.
Sangat cantik. Jika aku benar-benar bisa melihatnya. Aku mendesah.
Dia membungkuk ke ujung batu, ujung jari menyentuh permukaannya, badannya bergelung.
Cannonball. Dia membatin.
Dia melentingkan dirinya keatas; tubuhnya menjadi bayangan gelap saat bersalto dengan anggun diantaraku dan bintang-bintang. Dia melipat tubuhnya seperti bola saat menubruk dengan keras tumpukan salju disampingku.
Salju langsung berhamburan seperti badai. Langit diatasku menggelap dan aku tertimbun dibawah kelembutan lapisan salju.
Aku mendesah lagi, tapi tidak bangkit. Kegelapan ini tidak menyakitkan juga tidak membantu pandanganku. Aku masih melihat wajah yang sama.
“Edward?”
Salju beterbangan lagi saat Tanya pelan-pelan menggali. Dia mengusap sisa-sisa salju dari wajahku yang tidak bergerak, dia tidak benar-benar bertemu pandang dengan tatapanku yang kosong.
“Sory,” dia berbisik. “Cuma bercanda.”
“Aku tahu. Itu lucu, kok.”
Mulutnya bergerak turun.
“Menurut Irina dan Katie sebaiknya aku membiarkanmu sendirian. Pikir mereka aku mengganggumu.”
“Sama sekali tidak.” aku meyakinkan dia. “Sebaliknya, aku yang bersikap tidak sopan—sangat kasar. Maafkan aku.”
Kau akan pulang, iya kan? pikirnya.
“Aku belum... sepenuhnya... memutuskan itu.”
Tapi kau tidak akan tinggal disini. Pikirannya kini muram, sedih.
“Tidak. Sepertinya tidak akan...membantu.”
Dia meringis. “Itu salahku, iya kan?”
“Tentu saja bukan.” aku berbohong.
Tidak usah bersikap sopan.
Aku tersenyum.
Aku membuatmu tidak nyaman, sesalnya.
“Tidak.”
Sebelah alisnya terangkat, ekspresinya sangat tidak percaya hingga aku terpaksa tertawa. Satu tawa singkat, diikuti desahan.
“Oke.” Aku akui. “Sedikit.”
Dia ikut mendesah, lalu menumpangkan dagunya ke tangan. Perasaannya kecewa.
“Kau beribu kali lebih indah dari bintang-bintang, Tanya. Tentu saja, kau menyadari itu. Jangan biarkan kebebalanku melemahkan kepercayaan dirimu.” aku sedikit geli jika dia sampai begitu.
“Aku tidak biasa ditolak.” dia menggerutu, bibir bawahnya terangkat cemberut.
“Itu pasti.” Aku setuju, sambil coba menghalau pikiran dia saat ribuan penaklukannya berkelebat. Kebanyakan Tanya memilih manusia—populasi mereka lebih banyak salah satu alasannya, dengan tambahan kehangatan serta kelembutan mereka. Dan selalu berhasrat tinggi, pastinya.
“Dasar Succubus,” godaku, berharap bisa mengalihkan kelebat ingatannya.
Dia menyeringai, menampakan giginya. “Yang asli.”
Tidak seperti Carlisle, Tanya dan saudarinya menemukan nurani mereka belakangan. Pada akhirnya, ketertarikan mereka pada pria lah yang mencegah mereka menjadi pembunuh. Sekarang para pria yang mereka cintai...hidup.
“Saat kau datang kesini,” Tanya berkata pelan “Aku kira...”
Aku tahu apa yang dia pikir kemarin. Dan seharusnya aku sudah menerka itu sebelum kesini. Tapi kemarin aku sedang tidak bisa berpikir sehat.
“Kau mengira aku berubah pikiran.”
“Iya.” dia memberengut.
“Aku menyesal membuatmu berharap, Tanya. Aku tidak bermaksud—aku tidak berpikir. Hanya saja aku pergi dengan... buru-buru.”
“Kurasa kau tidak akan memberitahu alasannya, kan...?”
Aku bangkit duduk dan merangkul kakiku, bersikap menghindar. “Aku tidak ingin membicarakan itu.”
Tanya, Irina, dan Kate sangat baik menjalani pilihan hidup mereka. Bahkan lebih baik, dalam beberapa hal, daripada Carlisle. Terlepas dari kedekatannya yang sableng dengan mereka yang seharusnya—dan pernah—menjadi mangsanya, mereka tidak pernah membuat kesalahan. Aku terlalu malu mengakui kelemahanku pada Tanya.
“Masalah perempuan?” dia menebak, mengacuhkan keenggananku.
Aku tertawa hambar. “Tidak seperti yang kau maksud.”
Dia terdiam. Pikirannya beralih ke dugaan lain, dia coba mengurai maksud jawabanku.
“Sedikitpun tidak mendekati.” aku memberitahu.
“Satu saja petunjuk?” mohonnya.
“Sudah lah, Tanya.”
Dia diam lagi, masih menebak-nebak. Kuacuhkan dia, dan sia-sia mengagumi bintang.
Akhirnya ia menyerah. Pikirannya mendesak ke hal lain.
Kau akan kemana, Edward, jika kau pergi kembali ke Carlisle?
“Sepertinya tidak.” Desisku.
Akan kemana aku? Aku tidak dapat menemukan satu tempatpun di dunia ini yang menarik. Tidak ada yang ingin aku kunjungi. Karena, tidak perduli kemanapun, aku tidak akan pergi kesitu—aku hanya lari dari.
Aku benci itu. Sejak kapan aku jadi pengecut?
Tanya merangkulkan tangannya yang gemulai ke pundakku. Aku bergeming, tapi tidak menampik. Dia tidak bermaksud lebih dari sekedar bersahabat. Sebagian besar.
“Menurutku kau akan kembali.” katanya, suaranya menyisakan sedikit logat Rusia yang telah lama hilang. “Tak perduli apapun itu...atau siapapun...yang menghantuimu. Kau pasti akan menghadapinya. Kau selalu begitu.”
Pikirannya sejalan dengan ucapannya. Aku coba memposisikan diri seperti yang ia gambarkan. Bagian yang selalu menghadapi apapun. Ada baiknya memandang diriku seperti itu lagi. Aku tidak pernah meragukan keteguhanku, kemampuanku menghadapi kesulitan, sebelum kejadian mengerikan di kelas biologi kemarin.
Kucium pipinya, dan cepat-cepat menarik kepalaku ketika ia memalingkan wajah ke arahku. Mulutnya memberengut. Dia tersenyum kering.
“Terima kasih, Tanya. Aku butuh mendengar itu.”
Pikirannya menggerutu. “Sama-sama, kukira. Kuharap kau bisa lebih masuk akal, Edward.”
“Maaf, Tanya. Kau tahu kau terlalu baik untukku. Aku hanya... belum menemukan yang kucari.”
“Kalau begitu, jika kau pergi sebelum kita bertemu lagi...Sampai ketemu lagi, Edward.”
“Sampai ketemu lagi.” pada saat mengucapkannya, aku bisa melihatnya. Aku bisa melihat diriku pergi. Punya cukup kekuatan untuk kembali ke tempat yang kuingini. “terima kasih lagi, Tanya.”
Dia bangkit berdiri dengan anggun, kemudian lari pergi, membelah hamparan salju dengan sangat cepat hingga kakinya tidak terbenam pada kelembutannya; ia tidak meninggalkan jejak di salju. Dia tidak menoleh ke belakang. Penolakanku mengganggunya lebih dari yang ia kira. Dia tidak ingin menemuiku lagi sebelum aku pergi.
Mulutku merengut menyesal. Aku tidak suka menyakiti Tanya, meskipun perasaannya tidak dalam, tidak terlalu murni, dan juga bukan sesuatu yang bisa kubalas. Tapi tetap saja itu membuatku kurang gentleman.
Kutumpangkan daguku ke lutut dan memandangi bintang lagi, meskipun tiba-tiba aku tidak sabar untuk pulang. Aku tahu Alice pasti melihatku datang, dan segera memberitahu yang lain. Ini akan membuat mereka gembira—Carlisle dan Esme terutama. Tapi kupandangi bintang-bintang itu lebih lama, coba melihat melampaui wajah di benakku. Diantara diriku dan kerlip di langit, sepasang mata coklat-muda yang membingungkan itu menatapku, kelihatan bertanya-tanya apa arti keputusan ini baginya. Tentu saja, aku tidak tahu pasti apa arti tatapan misteriusnya. Bahkan dalam bayanganku, aku tidak dapat mendengar pikirannya. Mata Bella Swan terus bertanya-tanya, tetap menghalangi bintang. Dengan helaan berat aku menyerah, kemudian berdiri. Jika berlari, aku akan tiba di mobil Carlisle kurang dari satu jam...
Dalam ketergesaan menemui keluargaku—dan keinginan menjadi seorang Edward yang menghadapi apapun—aku berlari kencang melintasi padang salju dibawah temaram bintang, tanpa meninggalkan jejak.
***
“Semua akan baik-baik saja,” Alice menarik napas. Tatapannya kosong, tangan Jasper memegang sikunya, menuntun dia saat rombongan kami berjalan rapat melintasi kafetaria. Rosalie dan Emmet memimpin di depan. Emmet terlihat konyol dengan gaya bodyguardnya seakan sedang di daerah musuh. Rose terlihat khawatir juga, tapi lebih pada kesal.
“Tentu saja iya.” aku menggerutu. Kelakukan mereka menggelikan. Jika tidak yakin bisa mengatasi, aku akan tinggal di rumah.
Perubahan mendadak dari pagi yang normal, bahkan menyenangkan—tadi malam turun salju, dan Emmet serta Jasper tidak terlalu memanfaatkan lamunanku untuk membombardirku dengan bola salju; ketika bosan dengan keacuhanku, mereka saling menyerang sendiri—kewaspadaan berlebihan ini terlihat lucu jika saja tidak menjengkelkan.
“Dia belum datang, tapi dari arahnya nanti...ia tidak akan melawan angin jika kita duduk di tempat biasa.”
“Tentu saja kita akan duduk di tempat biasa. Hentikan, Alice. Kau membuatku kesal. Aku baik-baik saja.”
Dia mengerjap saat Jasper menuntun duduk. Matanya kembali fokus.
“Hmm,” gumamnya, terkejut. “Sepertinya kau betul.”
“Tentu saja iya.” aku memberengut.
Aku tidak suka jadi pusat kerisauan. Tiba-tiba aku bersimpati pada Jasper, teringat bagaimana selama ini kami sangat protektif. Dia bertemu pandang denganku, dan menyeringai.
Mengganggu, bukan?
Aku mendesis padanya.
Apa baru minggu lalu ruangan ini terlihat sangat membosankan? Sehingga rasanya hampir seperti tidur, koma, saat berada disini? Hari ini syarafku tegang. Inderaku waspada penuh; kupantau setiap suara, setiap penglihatan, setiap gerakan udara yang menyentuh kulitku, setiap pikiran. Terutama pikiran. Hanya satu indra yang kumatikan, tak ingin kupakai. Penciuman, tentu saja. Aku tidak bernapas.
Aku mengharapkan nama keluarga Cullen lebih sering disebut di pikiran-pikiran yang kulewati. Seharian aku menunggu, mencari apapun yang diceritakan si anak baru Bella Swan. Coba melihat gosip barunya. Tapi tidak ada apa-apa. Tidak ada yang menyadari kehadiran lima vampir di kafetaria, sama seperti sebelum anak perempuan itu datang. Beberapa manusia masih memikirkan gadis itu, masih dengan pikiran yang sama dengan minggu lalu. Bukannya bosan, aku malah terkesima.
Apa dia tidak mengatakan apapun tentang diriku?
Mustahil dia tidak menyadari tatapan gelap-ku yang mengancam. Aku melihatnya bereaksi. Sudah pasti aku membuatnya takut. Aku cukup yakin ia akan cerita ke seseorang, mungkin sedikit dibumbui agar lebih baik. Menambah tanda-tanda ancaman yang lain.
Kemudian, ia juga dengar aku minta pindah kelas biologi. Dia pasti menebak, setelah melihat ekspresiku, bahwa dia penyebabnya. Anak perempuan normal pasti akan bertanya kemana-mana, membandingkan pengalaman, mencari kesamaan yang dapat menjelaskan sikapku hingga dia tidak merasa sendirian. Manusia cenderung ingin bersikap normal, diterima. Membaur dengan lingkungannya, seperti sekawanan domba. Kebutuhan seperti itu biasanya kuat pada masa-masa remaja. Tidak terkecuali pada Gadis itu tentunya.
Tapi tidak satupun memperhatikan kami, di meja kami biasanya. Bella pasti sangat pemalu, jika sampai tidak cerita ke siapapun. Barangkali pada ayahnya, mungkin itu orang terdekatnya...meskipun tampaknya tidak begitu, mengingat dia tidak menghabiskan hidupnya bersama ayahnya sebelum ini. Kemungkinan ia lebih dekat dengan ibunya. Tetap saja, aku mesti berpapasan dengan Chief Swan secepatnya dan mendengar pikirannya.
“Ada yang baru?” tanya Jasper.
“Tidak ada. Dia...pasti tidak cerita apa-apa.”
Semua menaikan alis kaget.
“Mungkin kau tidak semengerikan yang kau kira,” Emmet terkekeh, “Berani taruhan aku bisa lebih menakuti dia daripada itu.”
Aku mendelik.
“Sudah tahu kenapa...?” Dia masih penasaran dengan kesunyian benak gadis itu.
“Kita sudah membahas itu. Aku tidak tahu.”
“Dia akan masuk.” Alice berbisik. Badanku kaku. “Coba bersikap seperti manusia.”
“Manusia, ya?” tanya Emmet.
Dia mengangkat tinju kanannya, membalik telapak tangannya hingga memperlihatkan bola salju yang ia sembunyikan di genggamannya. Tentu saja tidak meleleh. Dia meremas hingga mengeras menjadi bongkahan es. Matanya mengincar Jasper, tapi aku tahu kemana pikirannya. Ke Alice, tentu saja. Ketika tiba-tiba esnya meluncur ke Alice, dia menepis santai dengan kibasan jari. Bongkahan es itu terlempar melintasi ruangan, terlalu cepat untuk diikuti mata manusia, lalu menghantam tembok hingga berhamburan. Temboknya rengkah.
Orang-orang disekitarnya memeloti pecahan es yang berserakan di lantai, saling lirik mencari biang onarnya. Mereka tidak mencari terlalu jauh. Tidak ada yang menoleh kesini.
“Sangat manusia, Emmet.” Rosalie menegur mesra. “Kenapa tidak sekalian kau tinju temboknya hingga runtuh?”
“Terlihat lebih impresif jika kau yang melakukannya, sayang.”
Aku pura-pura memperhatikan, tersenyum kecil seakan menikmati gurauan mereka.
Aku berusaha tidak melihat ke gadis itu. Tapi kesanalah pendengaranku sepenuhnya. Aku bisa mendengar ketidaksabaran Jessica pada si murid baru, yang sepertinya sedang melamun, berdiri kaku di antrian. Kulihat, lewat pikiran Jessica, pipi Bella Swan bersemu merah muda oleh darah. Aku menarik napas pendek, siap-siap menahan napas jika aromanya sampai ke dekatku.
Mike Newton bersama dua gadis itu. Aku mendegar dua suaranya, pikiran dan verbal, ketika bertanya ke Jessica ada apa dengan gadis itu. Aku tidak suka dengan jalan pikirannya, yang merasa teracuhkan oleh lamunan si gadis.
“Tidak apa-apa.” Bella menjawab dengan suara lirih, sangat jernih. Kedengarannya seperti dering bel diantara dengung samar di seantero kafetaria. Tapi itu lebih karena aku sedang menyimaknya dengan keras.
“Hari ini aku minum soda saja,” dia melanjutkan sembari maju mengikuti antrian.
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melirik. Dia sedang memandangi lantai, berangsur darah menghilang dari wajahnya. Aku cepat-cepat membuang muka, ke Emmet, yang tertawa melihat seringai panik di wajahku.
Kau terlihat sakit, bro.
Aku mengatur mimikku agar terlihat santai.
Di telingaku Jessica berteriak heran dengan selera makan gadis itu. “Kau tidak lapar?”
“Sebenarnya, aku merasa sedikit tidak enak badan.” suaranya memelan, tapi masih sangat jelas.
Kenapa itu menggangguku, rasa prihatin yang tiba-tiba muncul dari pikiran Mike Newton? Memang kenapa jika pikirannya terlalu protektif? Bukan urusanku jika Mike Newton bersikap berlebihan ke dia. Mungkin seperti itu juga sikap yang lain. Bukankah 30minggu lalu, secara naluri, aku juga ingin melindungi dia? Sebelum ingin membunuhnya...
Tapi apa gadis itu sakit?
Sulit menilainya—dia terlihat sangat lembut dengan kulitnya yang jernih menerawang... kemudian kusadari aku ikut khawatir, sama seperti anak t***l itu, dan kupaksa untuk tidak memikirkan kesehatannya.
Bagaimanapun juga, aku tidak suka memantau dia lewat pikiran Mike. Aku pindah ke Jessica, memperhatikan ketiganya memilih meja. Untung mereka duduk di tempat biasa, di salah satu meja terdepan. Tidak melawan angin, seperti janji Alice.
Alice menyikutku. Dia akan melihat kesini, bersikap manusia.
Aku mengatupkan gigi rapat-rapat dibalik seringai senyumku.
“Tenang, Edward.” sindir Emmet. “Terus terang. Paling ujung-ujungnya kau membunuh satu orang. Dunia tidak akan berakhir.”
“Tunggu saja,” gerutuku.
Emmet tertawa. “Kau mesti belajar melupakan sesuatu. Seperti diriku. Keabadian adalah waktu yang panjang untuk menyesali kesalahan.”
Seketika itu juga, Alice melempar es yang ia sembunyikan ke muka Emmet.
Dia mengerjap, kaget, dan menyeringai waspada.
“Kau yang mulai duluan,” Emmet mencondongkan tubuh ke seberang meja lalu mengibaskan rambutnya yang mengerak beku. Air beterbangan, setengah cair setengah beku.
“Aduh!” keluh Rose. Dia dan Alice menyingkir dari semburan hujan Emmet.
Alice tertawa, dan kami semua kembali menikmati canda ini. Aku bisa melihat di pikiran Alice bagaimana ia mengarsiteki momen sempurna ini. Dan aku tahu sang gadis itu— aku mesti berhenti berpikiran begitu, seakan dia satu-satunya perempuan di dunia—bahwa Bella sedang memperhatikan kami tertawa dan bercanda, terlihat bahagia dan normal, seideal lukisan Norman Rockwell.
Alice terus tertawa, dan mengangkat nampannya sebagai perisai. Sang gadis—Bella pasti masih menonton.
...memandangi keluarga Cullen lagi, seseorang membatin, menarik perhatianku. Otomatis aku menoleh kearah panggilan yang tak disengaja itu, segera mengenali suaranya sebelum pandanganku sampai—aku sering mendengarnya hari ini.
Tapi mataku sedikit melewati Jessica, dan tertumbuk pada tatapan dalam gadis itu.
Dia cepat-cepat menunduk, bersembunyi dibalik rambutnya.
Apa yang dia pikirkan? Rasa frustasi ini makin lama makin menjadi, bukanya menghilang. Aku mencoba—tidak terlalu yakin karena belum pernah melakukanya— menyelidiki dengan pikiranku pada kesunyian di sekeliling gadis itu. Pendengaran ekstraku selalu muncul alami, tanpa diminta; aku tidak pernah mengupayakannya. Tapi aku berkonsentrasi sekarang, coba menembus penghalang apapun disekelilingnya.
Tidak ada apa-apa selain hening.
Ada apa sih dengan Bella? Batin Jessica, sejalan dengan frustasiku.
“Edward Cullen menatapmu,” dia berbisik di telinga si Swan, sambil cekikikan. Tidak ada nada sinis atau cemburu. Jessica kelihatannya pandai sok bersahabat.
Aku mendengarkan, terlalu tertarik, pada responnya.
“Dia tidak kelihatan marah, iya kan?” dia balik berbisik.
Jadi dia menyadari reaksi liarku kemarin. Tentu saja begitu.
Pertanyaan itu membingungkan Jessica. Aku melihat wajahku di benaknya ketika ia mengecek ekspresiku, tapi aku tidak menatapnya. Aku masih berkonsentrasi pada gadis itu, coba mendengar sesuatu. Hal itu kelihatannya tidak membantu sama sekali.
“Tidak.” jawab Jess, dan aku tahu dia berharap bisa berkata iya—bagaimana tatapanku sangat mengganggu pikiran dia—meskipun tidak ada tanda-tanda hal itu di suaranya. “Apakah seharusnya dia marah?”
“Sepertinya dia tidak suka padaku,” gadis itu kembali berbisik, menelungkupkan kepala di tangan seakan tiba-tiba letih. Aku coba memahami gerakannya, tapi cuma bisa menebak. Mungkin dia memang letih.
“Keluarga Cullen tidak menyukai siapapun,” Jessica meyakinkan dia. “Well, mereka memang tidak memedulikan siapa-siapa.” mereka selalu begitu. Pikirannya menggerutu. “Tapi dia masih memandangimu.”
“Sudah jangan dilihat lagi,” gadis itu mendesis kesal, mengangkat kepalanya untuk memastikan Jessica mematuhinya.
Jessica terkekeh, melakukan apa yang diminta.
Gadis itu tidak mengalihkan pandangan dari mejanya selama sisa istirahat. Sepertinya—sepertinya tentu saja, aku tidak bisa yakin—hal itu disengaja. Kelihatannya sebetulnya ia ingin melihatku. Badannya menggeser sedikit, dagunya hampir menoleh, tapi kemudian ia tahan, menghela napas panjang, dan menatap ke siapapun di mejanya yang sedang bicara.
Kuacuhkan sebagian besar pikiran di meja itu, karena tidak berkaitan dengan dia. Mike Newton merencanakan perang salju sepulang sekolah, tidak sadar telah turun hujan. Butir- butir halus yang meyalang ke atap telah berubah menjadi rintik. Apa dia tidak mendengar perubahannya? Terdengar nyaring kalau buatku.
Ketika jam istirahat selesai, aku masih tetap duduk. Manusia-manusia itu mulai keluar. Tanpa sadar aku membedakan langkah kakinya dari yang lain, seperti ada yang penting atau aneh dari bunyinya. Benar-benar bodoh.
Keluargaku juga belum beranjak. Mereka menunggu keputusanku.
Apa aku akan pergi ke kelas, duduk disamping si gadis, dimana bisa kucium bau darahnya yang bukan main kuatnya itu dan merasakan kehangatan nadinya di kulitku? Apa aku cukup kuat untuk tahan? Atau, cukup satu hari saja?
“Aku...rasa tidak apa-apa,” Alice berkata ragu, “Kau telah memutuskan. Aku pikir kau akan melewati satu jam ini.”
Tapi Alice tahu betul bagaimana sebuah keputusan dapat cepat berubah.
“Kenapa mesti memaksakan diri, Edward?” protes Jasper. Meski berusaha tidak merasa puas melihat ganti aku yang lemah, kedengarannya ia sedikit merasa begitu, hanya sedikit. “Pulang lah. Jangan buru-buru.”
“Kenapa mesti dibesar-besarkan?” Emmet tidak setuju, “Pilihannya apa dia akan membunuhnya atau tidak. Lebih cepat tahu lebih baik.”
“Aku belum ingin pindah lagi,” Rosalie memprotes. “Aku tidak mau mengulang lagi dari awal. Kita hampir lulus, Emmet. Akhirnya.”
Aku juga tersiksa pada pilihannya. Aku ingin, sangat ingin, menatap kedepan ketimbang lari lagi. Tapi aku juga tidak mau memaksakan diri. Minggu lalu suatu kesalahan bagi Jasper menahan haus terlalu lama; apa ini juga akan menjadi kesalahan sia-sia seperti itu.
Aku tidak mau membuat keluargaku terusir. Mereka tidak akan berterima kasih jika itu sampai terjadi.
Tapi aku ingin masuk ke kelas bilogiku. Harus diakui aku ingin melihat wajahnya lagi.
Akhirnya, alasan itu yang membuatku mengambil keputusan. Penasaran. Aku marah pada diriku sendiri karena meladeninya. Bukankah aku sudah bertekad untuk tidak membiarkan kesunyian pikiran gadis itu membuatku terlalu penasaran padanya? Tetap saja, disinilah aku, amat terlalu ingin tahu.
Aku ingin tahu apa yang dia pikirkan. Pikirannya tertutup, tapi matanya sangat terbuka. Mungkin aku bisa membacanya lewat situ.
“Tidak, Rose, kupikir betul-betul akan baik-baik saja,” Alice meyakinkan. “Ini...makin tegas. Aku sembilan 93 persen yakin tidak akan ada kejadian buruk jika dia masuk kelas.” dia mengerling penasaran, bertanya-tanya apa yang merubah pikiranku sehingga penglihatannya lebih pasti.
Apa rasa penasaran cukup untuk membuat Bella Swan tetap hidup?
Emmet betul, tampaknya—kenapa tidak cepat-cepat diselesaikan? Akan kuhadapi godaan itu.
“Ayo masuk kelas,” perintahku, beranjak dari meja. Aku menjauh dari mereka tanpa menoleh kebelakang. Bisa kudengar kecemasan Alice, kecaman Jasper, persetujuan Emmet, dan kejengkelan Rosalie membuntutiku.
***
Aku belum terlambat. Mr. Banner masih sibuk mempersiapkan percobaan hari ini. Gadis itu telah duduk di mejanya—di meja kami. Wajahnya menunduk lagi, sibuk mencoret-coret buku catatannya. Aku memperhatikan yang dia gambar saat mendekat, penasaran pada hal sepele buah pikirannya. Tapi tidak ada maknanya. Hanya gambar lingkaran-lingkaran acak. Barangkali dia tidak memperhatikan bentuknya, tapi sedang memikirkan hal lain?