Gossip Yang Tersebar

1107 Kata
“Aaaargh….” Aku berteriak keras, setelah sepasang suami istri tidak tahu malu itu berhasil aku usir dari ruangan kerjaku. Saat itu, aku meminta bantuan dua orang security untuk membawa mereka keluar ruanganku dengan paksa. Karena, kalau tidak begitu, mereka tidak akan mungkin mau beranjak kaki dari ruanganku sampai sekarang. Tidak habis pikir dengan kelakuan mereka berdua, dengan tidak tahu malunya ingin merebut perusahaan peninggalan mendiang ibuku, dan ingin menggantikan posisiku sebagai CEO. Langkahi dulu, mayatku. Setelah itu, kalian boleh mendapatkannya. Tak henti-hentinya aku menggerutu dan merutuki kedua orang itu dengan kesal. Sudah menguasai harta ayahku, sekarang ingin merebut harta peninggalan mendiang ibuku juga. Dasar, manusia benalu serakah! Tapi, sejenak aku berpikir. Celine dan Marco tidak mungkin punya nyali untuk datang ke kantorku, bila tidak ada dukungan dan bantuan dari ayahku. Apa mungkin, ucapan Celine itu benar? Oh, tidak. Bagaimana jika benar, Celine akan menggantikan posisiku sebagai CEO di perusahaan ini? Tidak! Tidak Mungkin! Aku tidak akan mungkin membiarkan hal itu terjadi. Aku menggelengkan kepala berkali-kali, untuk menyangkal semua yang dikatakan oleh Celine dan Marco. Ayahku memang mengambil alih jabatan Presdir di perusahaan ini, sejak ibuku meninggal. Hingga detik ini, ayahku belum juga melepaskan jabatannya tersebut. Beliau pernah berjanji, setelah aku menikah dengan Marco, jabatan Presdir di perusahaan ini akan diberikan kepada suamiku. Tapi, mengingat gagalnya pernikahanku dengan Marco, tentu saja hal itu sudah tidak berlaku lagi, bukan? Ah, sial4n! Jangan sampai kedua orang itu menagih janji ayahku yang pernah ditujukan kepadaku dan Marco, dulu. Ini, tidak boleh terjadi. Bagaimana pun, perusahaan ini peninggalan keluarga mendiang ibuku. Aku tidak akan mungkin ikhlas melepaskannya untuk mereka yang bukan siapa-siapa. Mereka bukan dari keturunan keluarga Willyam. Lagi pula, ayah tidak ada hak untuk memberikan perusahaan ini kepada mereka. Aku akan mempertahankannya mati-matian, agar mendiang ibuku tenang di alam sana. Pers3tan dengan ancaman yang dilayangkan oleh Celine dan Marco, sebelum mereka benar-benar pergi tadi. Aku tidak gentar untuk menghadapi mereka kembali datang ke sini. Ancaman seperti itu, hanya aku anggap layaknya angin lalu dan gertakan sambal belaka. Ya, mereka melayangkan ancaman akan membawa surat bukti bahwa Celine yang akan diangkat menjadi CEO baru di perusahaan ini. Aku pun menantangi ancamannya tersebut, untuk membuktikan semuanya itu benar atau bohong. Dengan kejadian seperti ini, aku jadi teringat dengan percakapan mereka berdua malam itu. Mereka berencana ingin menguasai perusahaan ayah dan ibuku, untuk memperkuat dan menggabungkannya dengan perusahaan grup Fernandes. “Gawat! Mereka benar-benar menjalankan semua rencananya dengan sangat matang,” sesalku dengan tangan mengepal kuat. *** Hari semakin beranjak tinggi. Sudah saatnya aku mengisi perutku yang mulai keroncongan. Dengan menutup laptopku, aku pun bergegas keluar ruangan menuju kantin perusahaan. Kali ini, aku ingin makan satu ruangan kantin dengan para staf dan pegawaiku. Karena, biasanya aku makan siang di ruangan khusus atau VVIP. Tatapan aneh sekaligus iba dari para staf dan pegawaiku, tak lepas dari pandanganku ketika memasuki ruang kantin ini. Aku sadar dengan huru-hara tadi pagi, sudah pasti berita tersebut sudah menyebar ke seluruh kantor ini. Terlebih lagi, salah satu staf managerku pun sempat menjadi saksi dan melihat pertengkaran kami. “Selamat siang, Buk Areta. Mari, duduk di sini!” sapa salah satu staf manager wanitaku yang bernama Anna, menawarkanku duduk di sampingnya dengan ramah. “Terima kasih, Buk Anna,” ucapku dengan anggukan kecil, tak kalah ramah. Aku menaruh piring makananku di meja, sambil duduk di kursi kosong tepat di samping ibu Anna. Terlihat di meja ini, dua orang pegawaiku yang juga duduk satu meja yang sama. Mereka pun nampak menyapaku dengan ramah dan menerbitkan senyuman. Namun, mereka nampak sedikit canggung dengan keberadaanku satu meja bersama. Mungkin, karena aku yang tidak biasa makan satu kantin dan satu meja bersama. Maka dari itu, mereka merasa aneh dengan keberadaanku di ruangan kantin ini. “Tumben sekali, Ibu Areta makan di sini? Tidak seperti biasanya,” ujar ibu Anna, menatapku dengan raut wajah heran. “Eem, lagi pingin saja, Buk Anna,” sahutku sekenanya, sambil tersenyum samar. Lalu, aku mulai menyantap makan siangku sendiri. Ibu Anna nampak mangut-mangut setelah mendengar jawabanku. Sementara dua pegawaiku yang menyimak obrolan kami, hanya senyum-senyum saja. Makan siang yang aku nikmati di kantin ini, lumayan enak dan lezat. Meskipun tidak seenak dan selezat makan siang yang biasanya aku makan di ruangan VVIP. Aku sengaja ingin mencicipi rasa hidangan makan siang ini, agar tahu layak atau tidaknya untuk semua staf dan pegawaiku. Sejauh ini, ternyata makanan di kantin ini cukup layak. Namun, mulai besok hari, aku ingin merubah semua menu makan siang di kantin ini, agar sama rasa dan jenisnya dengan makanan yang biasa dihidangkan untukku di ruang VVIP. Aku tidak ingin ada perbedaan dan jarak, antara aku dan mereka. Semua akan mendapatkan perlakuan yang sama, dan juga hak yang sama. Dengan begini, aku yakin seratus persen, semua staf dan pegawaiku akan bekerja lebih semangat lagi. Karena, kebutuhan nutrisi dari makan siang mereka semua tercukupi dengan maximal. “Bagaimana rasa makanannya, Buk Areta? Pasti, tidak seenak makanan yang biasa Ibu Areta makan, kan?” tanya ibu Anna, seperti membandingkan makanan yang biasa aku makan di ruang VVIP. “Heem…, lumayan, Buk Anna. Tapi, mulai besok saya berniat untuk merombak semuanya. Saya ingin, semuanya mendapatkan makan siang yang sama dengan apa yang saya makan.” “Wooow, benar kah, Buk Areta?” tanya ibu Anna nampak terkejut. Kedua pegawaiku pun menampilkan ekspresi yang sama dengan ibu Anna. Namun, mereka hanya bergumam lirih, tak berani berkomentar dengan apa yang baru aku ucapkan. “Ya.” Aku mengangguk mantap. “Astaga! Ibu Areta memang sangat baik sekali,” ucap ibu Anna nampak tersenyum sambil menaruh tangan kanannya di depan dad4nya sendiri. “Sampai kapan pun, saya akan dukung Ibu Areta untuk tetap menjadi CEO di perusahaan ini. Saya tidak akan rela, jika jabatan Ibu Areta digantikan oleh adik tirinya yang tadi datang ke sini. Saya mohon, Ibu Areta jangan mundur dan kalah, ya! Ibu Areta, harus kuat dan melawan mereka,” ungkapnya berapi-api. “Iya, Buk Areta. Kami juga setuju dengan apa yang dikatakan oleh Ibu Anna,” timpal kedua pegawaiku hampir bersamaan. Aku cukup terkejut dengan apa yang baru saja terlontar dari mereka. Memang secepat itu, gossip kedatangan adik tiriku yang ingin menggantikan posisiku. Mungkin, kedatangan Celine dan Marco pagi tadi, sudah ramai di luar ruanganku, tanpa aku ketahui. Ah, aku tak tahu sebenarnya yang terjadi di luar ruangan kerjaku. Yang pasti satu hal, semua staf dan pegawaiku sudah mengetahui apa maksud kedatangan Celine dan Marco ke sini. Kalau begini, terpaksa aku tidak bisa tinggal diam. Tapi, aku tidak bisa menemui ayahku di rumah. Karena, aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menginjakan kakiku lagi di sana. Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus meminta bantuan, opah Carlos? Atau, Justin?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN