Satu bulan telah berlalu dengan begitu cepat. Perusahaan peninggalan mendiang ibuku semakin besar dan berkembang, berkat suntikan dana dari opah Carlos. Semua rencanaku berjalan dengan lancar, tanpa satu pun penghalang.
Beberapa kali aku menyempatkan diri untuk menemui opah Carlos di kediamannya bersama dengan Justin, untuk berakting layaknya suami istri sungguhan. Sambil menemuinya, aku pun memberi laporan hasil pengembangan dana setiap minggunya.
Opah Carlos sangat percaya dan menerima setiap laporan yang aku berikan. Namun, beliau selalu adu mulut dengan cucunya di setiap kesempatan. Entah itu masalah pribadinya yang tak aku mengerti, masalah pernikahan yang harus segera diresmikan secepatnya denganku, atau pun masalah bayi yang Justin janjikan kepadanya.
Aku hanya menjadi pendengar yang baik di antara mereka berdua, sambil menggeleng lirih melihat tingkah keduanya yang seperti Tom and Jerry.
Terkadang, aku ingin sekali bertanya kepada opah Carlos tentang pekerjaan Justin yang sebenarnya. Namun, aku takut menyinggung perasaannya nanti. Aku juga takut, kalau opah Carlos juga ternyata tak tahu pekerjaan Justin yang sebenarnya.
Bahkan, Tony, asisten pribadiku pun angkat tangan dan menyerah, setelah dengan semangatnya melakukan penyelidikan terhadap Justin Sebastian. Hanya dalam waktu dua hari saja, dia sudah tak sanggup untuk melanjutkannya.
Aku pun cukup terkejut dengan sikap aneh, Tony. Selama aku mengenalnya, baru kali ini dengan mudahnya dia menyerah. Tanpa alasan yang jelas, dia selalu bilang tak ingin membahas lagi pria yang bernama Justin Sebastian itu denganku.
Tony, seperti sedang tertekan dan menyembunyikan sesuatu dariku. Aku yang merasa penasaran dengan perubahan sikapnya itu, berusaha mencecarnya. Namun, keesokan harinya, Tony malah mengirimkan e-mail untuk resign dari perusahaan.
Belum sempat aku membalasnya, e-mail Tony sudah tidak aktif. Apalagi nomor ponsel dan pesan pribadinya, aku tak bisa lagi masuk dan mengirim pesan singkat. Sepertinya, dia langsung memblok nomor ponselku.
Aku tak menyerah, kudatangi apartemennya. Namun, kata penghuni kamar apartemen di sampingnya, Tony sudah menyewakan kamar apartemennya kepada orang lain.
Kuhela napas dalam, sambil menggeleng lirih. Aku tak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh Tony. Mengapa Tony, bisa berubah dalam sekejap? Apa yang sebenarnya telah terjadi kepadanya?
Selain apartemen, Tony pun masih memiliki kerabat di luar kota. Tanpa pikir panjang, aku pun menempuh tempat tersebut seorang diri, demi untuk bertemu dengan Tony. Tapi, setelah sesampainya di sana, aku pun tak bisa berjumpa dengannya. Tony tak pernah pulang ke sana. Lantas, kemana dirinya? Dan, bagaimana kabarnya?
Hingga detik ini, aku belum bisa mencari pengganti Tony, untuk membantu pekerjaanku di perusahaan. Hanya Tony, yang bisa aku percaya dan aku andalkan selama ini. Satu bulan sudah, aku benar-benar tak pernah lagi bertemu dengannya.
Namun, anehnya, pekerjaanku selalu dipermudah dan selalu bisa diselesaikan tepat waktu. Padahal, selama ini aku selalu mengandalkan bantuan dari Tony. Tapi, sejak kepergiannya, aku mulai terbiasa mengerjakan semuanya seorang diri.
Semua staf dan pegawaiku, bekerja seperti biasanya. Mereka pun bersedia kerja lembur untuk memenuhi target permintaan produksi yang dua kali meningkat lebih banyak. Aku cukup salut dengan kekompakan mereka semua. Baik para staf atau pun pegawai, semuanya bekerja dengan professional dan penuh semangat.
Hari ini, awal bulan baru. Setiap awal bulan baru, semua staf dan pegawaiku akan menerima gaji dari hasil kerja kerasnya selama satu bulan penuh.
Aku sudah berjanji dengan diriku sendiri. Jika semua rencana telah berjalan dengan lancar dan sesuai target yang diinginkan, maka aku akan menaikan gaji mereka sebanyak dua puluh persen dari gaji lamanya.
Aku ingin berbagi kebahagiaan dengan mereka juga, setelah bekerja keras hingga lembur di hari libur. Aku pun memenuhi janjiku kepada mereka semua.
“Terima kasih banyak, Nona Areta. Nona Areta tidak pernah ingkar dengan janjinya. Saya sangat bersyukur, Nona Areta merupakan CEO yang sangat baik hati,” ucap salah satu staf manager, yang menemuiku langsung di ruang kerjaku.
Beliau, salah satu staf manager terbaik yang sudah bekerja lama di perusahaan ini. Usianya sudah paruh baya. Mungkin, tak jauh berbeda dengan usia ayahku.
“Sama-sama, Pak.” Aku mengangguk kecil dengan mengembangkan senyuman ramah. Namun, detik kemudian, senyumanku memudar dalam sekejap, disaat aku melihat kedatangan Marco dan Celine ke ruanganku ini tanpa terduga.
“Ck, mau apa lagi mereka ke sini? Dasar, pasangan tidak tahu diri!” gumamku menggerutu.
Prok!
Mereka berdua bertepuk tangan dengan keras di ruanganku, sambil tertawa dan berjalan menghampiri mejaku. Dengan banyak tingkah menjengkelkan mereka, membuatku semakin muak dan ingin muntah saja saat melihatnya.
“Wah… wah… wah, aku dengar-dengar, kamu menaikan gaji para staf dan pegawai di sini sampai dua puluh persen, ya. Sok banyak uang sekali kamu, Areta!” ejek Celine di sela tawanya yang seperti ibl!s menatap ke arahku.
“Bukan urusanmu, Celine!” ketusku membalas ejekannya. “Mau aku naikan lima puluh persen pun, kamu tidak berhak untuk mencampuri urusanku di sini. Pergi sana! Dasar, wanita pengangguran tidak tahu malu,” usirku sambil mengibaskan satu tanganku dengan senyuman sinis.
Celine tak terima dengan apa yang aku katakan, hingga dia mengumpatku dengan kesal sambil memaki-makiku dengan kata kasar. Dia pun nekat sampai menendang kursi yang tadi sempat diduduki oleh staf menagerku. Kemudian, dia pun menggebrak mejaku dengan keras, hingga semua tumpukan dokumenku menjadi berantakan.
BRAAK!
“Si4lan kamu, Areta! Berani-beraninya kamu mengusirku dari sini, huh? Ingat, Areta. Kamu hanya CEO, bukan Presdir perusahaan ini,” ucapnya dengan penuh kemarahan.
Marco yang berdiri di samping istrinya, hanya berdiam diri saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun, dia nampak tersenyum menyeringai saat melihatku disembur oleh adik tiriku tersebut.
Aku hanya tertawa kecil, tak berminat untuk menimpalinya. Lagi pula, tidak penting meladeni wanita g!la macam dia. Meskipun aku memang hanya CEO di perusahaan ini. Tapi, aku yang mengembangkannya hingga menjadi maju seperti saat ini.
Staf Managerku sampai minggir ketakutan, saat kedua orang tidak tahu malu itu mulai bergaduh di ruangan kerjaku. Aku pun buru-buru meminta beliau untuk segera meninggalkan ruanganku, karena aku kasihan melihatnya. Aku pun tidak mau, beliau melihat kami bertengkar hebat di sini.
Dengan anggukan kecil, staf manager itu pun langsung melangkah pergi sambil menutup pintu ruangan kerjaku dengan rapat.
“Aku tahu, kamu tak bisa membalas ucapanku, kan? Makanya, kamu hanya tertawa seperti itu. Sebenarnya, dalam hatimu merasa risau dengan apa yang tadi aku katakan. Iya, kan?” ejeknya kembali bersuara setelah aku cukup lama mengabaikannya.
“Terus, kalau aku hanya CEO di sini, memangnya kenapa, huh? Apa yang akan kamu lakukan, Celine?” tanyaku sambil melipat kedua tanganku di depan d4da. Kali ini, aku harus melawannya. Agar dia tidak semena-mena dan bikin onar di kantor orang lain.
Celine nampak tersenyum miring, sambil melirik ke arah suaminya. Detik kemudian, dia menatapku dengan tajam. “Aku akan bekerja di Perusahaan ini, mulai dari sekarang. Lalu, aku akan menggantikan posisimu sebagai CEO. Dan kamu, akan aku turunkan menjadi bawahanku, Areta!”
Sontak, aku tergelak tawa mendengar apa yang baru saja Celine lontarkan kepadaku. Lelucon macam apa, tiba-tiba wanita ular ini ingin menggantikan posisiku di perusahaan ini. Dan dengan seenak jidatnya ingin menjadikanku bawahannya.
“Ck, jangan mimpi kamu, Celine!” dengusku di sela tawaku.
“Aku tidak bermimpi, Areta. Tanyakan saja kepada suamiku tercinta ini!” ucapnya penuh dengan percaya diri, sambil melingkarkan tangannya di lengan Marco.
Aku pun menoleh ke arah Marco sambil mengernyit, ingin melihat seperti apa reaksinya. “Apa benar, apa yang dikatakan istrimu, Marco?” tanyaku ingin meyakinkan apa yang dikatakan oleh Celine.
“Eeem, iya, Areta,” ucapnya terdengar lirih dan gugup.
Hening.
Dalam beberapa saat, ruangan ini menjadi senyap. Aku bergeming, setelah mendengar jawaban Marco.