Say My Name, Honey
“Jujur saja, Zelda. Kau sebut ini sebagai karya terbaik yang bisa kau persembahkan untukku? Jangan buat aku tertawa. Ini bukan sebuah karya, hanya coretan hampa tanpa makna dimataku. Sebaiknya kau keluar saja dari kampus ini daripada kau mempermalukan dirimu sendiri lebih jauh lagi. Dengan kemampuan seperti ini bisa dengan yakin kutegaskan kau akan tamat Zelda!”
“Sialan betul si Nesrin itu,”
Aku telah selesai dengan segala bentuk pelampiasan terhadap semua bentuk kekesalanku setelah pertemuanku dengan Nesrin beberapa waktu yang lalu. Semua lukisan yang telah aku sebut sebagai karya ini telah dinilai sebagai benda hampa oleh dosen yang merangkap sebagai coach dan juga mantan orang tua angkatku dulu. Lantaiku sudah penuh dengan ceceran cat dan bentuknya sudah tak karuan sekarang. Beberapa lukisan bahkan sudah kucabik cabik tanpa ampun. Padahal semilir anginnya sangat nikmat sore ini, namun seluruh indraku gagal untuk mengenali ini sebagai sebuah bentuk refleksi. Aku tidak bisa tenang hanya dengan belaian angin. Karena tepat setelah pertemuan kami. Sesuai denga napa yang Nesrin katakan, aku memang seolah telah kehilangan sesuatu yang berharga. Kemampuanku tidak lagi tajam. Dan sialnya aku harus mengakui bila dia memang benar. Dia tidak pernah salah dalam memberiku penilaian. Tak segan pula dia melontarkan kata-kata tajam.
Muak dengan segalanya. Aku beranjak menuju sofa yang ada diruangan ini. Mengambil sebungkus rokok dan mengeluarkan isinya. Menyelipkan begitu saja diantara bibirku dan menyalakan ujung batangnya tanpa beban. Aku memang kerap menggunakan rokok sebagai media pelarian saat aku berada dalam posisi tertekan dan stress berat. Biasanya itu akan cukup membuatku lebih tenang dan bisa berpikir lebih realistis. Tapi sepertinya hanya dengan itu saja tidak cukup.
Aku kehilangan gairah untuk melukis lagi. Dan itu adalah sebuah kesalahan Fatal.
***
“Kau yakin tidak apa-apa? Aku khawatir karena kau jarang sekali masuk kampus,” Orion terlihat mengernyitkan dahinya. Kecemasan terlihat jelas dalam ekspresi mukanya. Sebuah perhatian yang sejatinya memang kubutuhkan, namun bukan darinya. Sebab sejauh ini aku sadar betul bila atensi yang pria ini arahkan padaku bukan hal yang pantas aku dapatkan. Sore hari kurasa sepulang dari kampus pria itu tiba-tiba mengetuk pintu apartmentku dan berlagak layaknya seorang kekasih yang merindukan diriku setelah kami tidak saling bertemu. Lucu sekali.
“Ya, aku baik.” Sahutku tenang, dan menepis tangannya yang hendak menyentuh pipiku. Pria itu sedikit kecewa dengan penolakan yang aku berikan. Sebagai gantinya dia tidak memaksaku lebih dari ini. Hanya saja dari sudut mataku aku bisa melihat bila dia cukup kesal. Buku jarinya memutih, karena sebuah kepalan tangan yang dia buat.
“Baiklah kalau kau bilang begitu Zelda, sampai jumpa nanti ya!” katanya lagi, kali ini kentara sekali sebagai sebuah tanda adanya perpisahan. Meski begitu aku tahu apa yang dia sedang pikirkan saat ini. Dia seperti ingin aku menahan kepergiaannya. Menjabat tangannya dan membawanya masuk kedalam apartmentku. Tapi untuk saat ini tidak lagi. Aku tidak ingin melakukannya. Tidak sama sekali.
“Hm,” sahutku datar dan aku membiarkan dia pergi begitu saja. Langkah kakinya tidak setegas biasanya, dia seperti berharap aku menyusul dan memeluk belakang tubuhnya. Tapi tentu saja itu tidak akan pernah aku lakukan.
Aku tahu Orion pasti kecewa karena ini, namun meski begitu aku cukup percaya diri untuk menebak bila pria itu cukup puas dan senang karena masih kuberi kesempatan untuk sekadar bertukar sapa biar singkat. Selepas dia menghilang dari tikungan menuju tangga, saat itu pula kulepas pegangan erat pada pintu yang menjadi penghalang antara aku dengan Orion beberapa saat yang lalu. Aku melepasnya. Seperti sudah yang seharusnya, namun kebodohan ini tidak mau pergi karena meski aku telah melakukan hal yang benar aku masih memandangnya dari atas sini sampai bayang-bayangnya menghilang secara penuh.
Dan setelah dia benar-benar menghilang barulah aku bisa mendesah berat. Seolah kehadiran pemuda itu selalu memberatkan saat kami berdekatan. Bohong jika aku tidak tertarik pada pemuda berambut caramel itu. Meski bukan ketertarikan dari segi kepribadian atau sifatnya, namun perempuan mana yang bisa menahan diri untuk tidak menjadi penghangat Kasur pemuda itu dimalam hari. Sekadar memimpikannya maupun berhayal pria seperti dia maka jadilah. Begitu pula denganku, aku sempat memiliki satu sisi pemikiran itu dalam sudut pikiranku. Ah tidak. bukan seperti itu. Aku dengan tegas akan berkata bila aku adalah salah satu dari perempuan yang pernah mencicipi setiap jengkal tubuh pemuda itu. Dan hal itulah yang membuatku merasa tertekan dan keberatan secara kasat mata. Beban mental katakanlah seperti itu. Rasa bersalah ini tidak mau pergi meski aku mencoba berkali-kali mengenyahkannya dalam diriku.
“Tampan dan seksi ya? Ya, the best combination.” Ucapan seseorang yang cukup familiar bagiku membuatku secara spontan melirik kesana kemari dengan liar untuk mencari arah suara itu.
“Disini, Honey,” Dia melambaikan tangannya, tampak percaya diri dengan stelan casualnya. Pria itu berdiri dan berjalan kearahku dengan santai dari balik tangga yang beberapa saat lalu dilewati oleh Orion.
“Apa yang kau lakukan disini?”
“Aku? Ah.. aku menunggumu ditempat seharusnya kita bertemu. Tapi karena aku bosan jadinya aku memilih untuk menemuimu secara langsung. Kenapa pula kau tidak punya ponsel sih, bagaimana bisa aku menghubungimu?” pemuda itu berjalan lebih mendekat padaku, dengan sebuah senyuman yang terpatri di wajahnya. Seleraku tidak pernah salah. Dia memang tampan.
“Aku tidak memintamu berkomentar soal itu,”
“Memang tidak sih, tapi ya aku perlu memberitahumu bila aku kesulitan mendapatkan kepastian dan kabar darimu. Haruskah kita berkirim surat?”
“…”
“Jangan menatap modelmu dengan galak begitu Zelda, begini begini aku berkontribusi besar atas kemajuan dari lukisanmu,”
“Terserah,”
“Jadi, mau dimulai sekarang?”
“Kau ikut aku,”
“Say my name Honey,”
“Adrien..”
“That’s it. Okay let’s go,” sahutnya cepat. selanjutnya tidak ada lagi yang perlu kusahuti meski dia masih berkelakar dengan argument argumennya sendiri. Aku hanya menyambar coat milikku saja lalu bergegas menuju tempat yang memang sudah semestinya kudatangi sejak tadi.
***
“Keadaan tempat ini tidak pernah berubah ya, apa kau sengaja membiarkannya berantakan?” komentar Adrien ketika kakinya sekali lagi menginjakan kaki di studio kecil milikku. Dia seperti sudah sangat terbiasa ditempat ini, padahal ini merupakan kunjungan keduanya.
“Aku tidak punya waktu membereskannya,” jawabku singkat sambil menggantukan coat yang aku kenakan pada gantungan yang tersedia didekat pintu. Sementara pria itu menyingkirkan benda-benda bekas kebrutalanku beberapa waktu lalu dari atas sofa yang sudah difungsikan sebagai sarana baginya. Namun pria itu membiarkan begitu saja, selimut berwarna putih yang tergeletak disana. Tidak berniat untuk menyingkirkannya. Kemudian tanpa aba aba dariku, pria itu menanggalkan pakaiannya sendiri. Kecuali bagian celana santainya. Dia melakukan apa yang menjadi syarat yang aku ajukan tanpa terlihat terbebani sedikitpun. Dan aku sendiri juga tidak keberatan atas insiatif terlampau tinggi yang aku dapati dari modelku ini. Setidaknya itu lebih memberiku kesempatan untuk membereskan alat gambarku dan bersiap dengan wilayahku teritorialku sendiri tanpa diganggu. Aku menempatkan sebuah penyangga canvas tepat didepan sofa, tempat dimana Adrien telah bergumul manja dengan sprai putih yang rupanya dia gunakan sebagai media untuk membuatku berimajinasi lebih liar lagi.
“Diam di posisi itu,” kataku tegas.
“Oke,” sahutnya santai.
Aku sudah mulai memasuki mode serius kali ini, jari jemariku mulai bergerak secara naluriah di atas kertas hampa. Memulai nya dengan sebuah sketsa halus untuk menggambarkan siluet dari tubuh model pria itu. Sedangkan Adrien sendiri membiarkan tubuhnya terekspos bebas dalam posisi paling nyaman baginya. Semilir angin yang tiba-tiba menyeruak kedalam ruangan menyibak tirai jendela yang sengaja kubuka lebar agar oksigen yang bisa kuraup lebih banyak dan bebas. Tidak terbatasi.
“Apa kau memang selalu seperti itu? tanpa ekspresi?” tanyaku, saat menyadari apa yang kurang dari modelku. Dia memang sempurna, tubuhnya sudah Tuhan pahat sedemikian rupa. Tapi ekspresi wajahnya yang datar membuat segalanya jadi tidak terlalu menarik. Bahkan aku bisa mengatakan bila ini hambar.
“Apa aku boleh bergerak sekarang?” tanya Adrien balik. Bukannya memperbaiki apa yang aku lontarkan sebagai kritik. Rupanya pria itu lebih memilih menjadi entitas tidak tahu diri.
“Apa kau tidak bisa sedikit tersenyum?” aku membutuhkan itu untuk memanifestasikan apa yang ada dikepala sebaik mungkin. Bukan karena alasan lain.
“Coba tebak? Bagaimana menurutmu?”
“…” sudahlah aku menyerah untuk beradu argument dengan seseorang yang bahkan lebih asyik dengan dirinya sendiri seperti ini.
“Ayolah Nona, aku bosan jika hanya diam saja,” rengeknya sekali lagi. Bahkan lebih menyebalkan. Aku menghembuskan napasku dengan mataku yang masih berfokus pada pekerjaanku sendiri.
“Apa kau akan berekspresi?”
“Aku lebih suka kita mengobrol,” timpalnya tidak relevan dengan apa yang aku ujarkan. Ya, salahku yang mudah terpikat atas penampilannya. Tapi ya, memang itu yang kubutuhkan. Semenjengkelkan apapun dia, tubuhnya masihlah menjadi nomor satu dari apa yang aku butuhkan.
“Sesukamu lah..” aku menyerah, kubiarkan dia menang kali ini. Asalkan hasilnya tidak mempengaruhi finishing touchnya nanti. Pemuda itu mengganti posisi ketika kubilang cukup. Dan dengan kedua mataku kuperhatikan dia dengan seksama. Seperti menantikan sebuah pose fantastic untuk karya berikutnya.
“Boleh aku merokok, Nona?” tanya Adrien lagi.
“…” tak kujawab, kubiarkan dia mengambil jawabannya sesuai kemauannya. Dan hasilnya pemuda itu benar-benar melakukannya. Dia beranjak dari sofa itu dan mengambil sebatang rokok dan pematiknya dari balik saku kemeja yang dia kenakan. Begitu mendapatkan apa yang dia mau, pria itu duduk dengan cara yang paling santai sambil menyalakan rokoknya.
“Diam!” perintahku. Dan dia melakukannya sekejap mata. Goresan kedua untuk karya keduaku. Kemudian keheningan kembali mendominasi ruangan yang kami berdua tempati.
“Hei, Nona boleh aku bertanya?” aku bisa merasakan bila tatapan pemuda itu lebih serius dan intens. Seperti hendak mengatakan sesuatu yang penting. Oleh sebab itu kubiarkan dia untuk membuka mulutnya lebih banyak. Selagi dia berada dalam posisinya sekarang.
“Hm,” kuberi dia clue jika aku setuju untuk menjawabnya.
“Posisi apa yang paling kau sukai saat berhubungan seks?” tanya Adrien dengan cukup blak-blakan. Asap keluar dari mulutnya, sangat santai seolah itu adalah pembicaraan yang bisa dibicarakan dalam sela sela acara makan malam keluarga.
“Kenapa kau bertanya soal itu? mau berubah pikiran dan melanggar kontrak?” tanyaku tidak tertarik. Lebih suka pada goresan yang aku buat diatas canvas ketimbang menatapnya balik. Obrolan ini tidaklah sesuai dengan apa yang kami berdua sedang lakukan. Memangnya wajar?
“Tidak juga, aku hanya penasaran dan sedang mencoba untuk mencairkan suasana diantara kita. Anggap saja ini usaha kecil yang aku perbuat untuk menarik majikanku. Oh ya, kalau misalkan kubilang iya. Apa kau mau menjawab pertanyaanku barusan?” sangat tidak kenal menyerah. Tipikal orang-orang yang kuhindari sejak dulu. Tapi anehnya aku tidak keberatan dengan dia.
“Jika kujawab, kau mau seks denganku?” tantangku, kali ini sketsa yang aku buat telah selesai. Tinggal aku pertegas dengan garis yang lebih tebal lagi.
“Woah.. aku tidak menyangka akan mendapatkan tawaran semenarik itu darimu. Diluar dugaan, Nona.”
“Memang kau pikir aku senaif apa, Tuan?” kataku dengan nada bicara yang bisa dibilang menusuk padanya. Tapi sepertinya Adrien tidak terkena efeknya sama sekali. Tatap matanya malah menerawang jauh, dengan sesekali asap rokok berhembus dari bibirnya.
“Entahlah.. kupikir kau ini sejajar dengan peri yang suci dan tak ternodai,”
“Haha..” aku tertawa lepas. Ujaran basi dari seorang pria yang biasanya ditujukan untuk merayu wanita. Kata-kata yang membuatku sempat lepas kendali dahulu kala. Akal bulus. Pendusta. Pembohong.
“Akhirnya kau tertawa, kutanya sekali lagi apa kau kehilangan semua eskpresimu?” kini kegiatanku terhenti seketika dan balik menatapnya dengan tajam. Apa maksudnya ? itu adalah kata-kata yang aku ujarkan untuknya. Mengapa sekarang dia membalikan kata-kata itu kembali kepadaku?
“Apa maksudmu?”
“Menurut pendapat pribadiku, ini bukanlah zona sebenarnya dari dirimu. Iya kan? Kau bukan tipikal orang yang berada dalam kekelaman seperti ini. Hal-hal erotis, ini seperti bukan dirimu. Kau itu lebih.. apa ya, tipe lukisanmu bukan yang seperti ini Nona.”
“…” aku tidak butuh sesuatu seperti itu dari orang yang bahkan tidak paham dengan apa yang sedang aku kerjakan. Lagipula siapa dia sampai perlu sepeduli itu?
“Apa salah satunya karena pemuda seksi dengan kejantanan besar itu?” tebak Adrien, pria itu lalu beringsut dan merebahkan dirinya saat hisapan rokoknya berakhir dan dia membuang puntung rokoknya ke atas asbak yang tersedia di atas meja.
“Konyol,” kataku tegas. Mengabaikan apa yang sedang dia kuak dari diriku lebih jauh lagi.
“Selain karena hal-hal lainnya yang tidak aku ketahui, kurasa salah satu penyebab mengapa kau bisa seterpuruk ini dan kehilangan selera menggambarmu karena dia kan?” selidik Adrien lagi, kali ini bahkan dia terlihat lebih serius lagi. Dia berguling hingga bertumpu dengan tangannya sebagai penopang dagu. Posisi yang bagus untuk Digambar pula.
“Omong kosong!”
“Kau menyangkal sesuatu yang terlihat sejelas itu, berarti itu adalah sebuah kebenarannya kan? Siapa namanya? Apa kau sudah pernah melakukan seks dengannya? Asyik tidak? apa dia hebat? Dia bisa membuatmu o*****e berapa kali? Tipe liar atau tipe yang bisa kau kendalikan? Melihatnya sekali aku bisa pastikan bahwa ukurannya lumayan, mmm.. apa alasan kau menolaknya tadi karena kau tidak terpuaskan? Ejakulasi dini?”
“…”
“Oh! Oh ! aku tahu, ini seperti dalam drama dimana pemuda tadi itu adalah pacarnya sahabat terbaikmu. Dan kau berada dalam situasi tidak enak pada sahabatmu itu karena sudah pernah melanggar batas. Iya kan?”
“Sampai kapan kau mau menggonggong seperti anjing?” ucapan Adrien membuatku seperti ditelanjangi karena terlalu tepat sasaran. Berkatnya aku kehilangan ketenanganku dan malah secara tidak sengaja melepaskan emosi terdalamku terhadapnya.
“Wah wah apa ini? Kenapa kau marah cantik? Hmm.. kurasa sebaiknya aku membuka kantor detektif saja ya? Bagaimana menurutmu?”
Aku berdiri dari tempat dudukku, lalu beringsut mendekatinya. Dia tidak mengelak. Sebagai gantinya dia justru seperti sedang menunggu reaksi apa yang akan aku lakukan padanya. Dengan mata yang sudah terlalu menyalak akan kemarahan. Aku berdiri dihadapannya. Setenang mungkin, kubiarkan amarah yang tak perlu itu kembali pada tempatnya.
“Kita sudahi pertemuan kali ini,” ujarku tenang. Membuat alisnya tertekuk sedikit. Nampak kecewa atas apa yang aku pilih sebagai balasan atas kekurang ajarannya barusan.
“Kau tidak ingin aku bertelanjang bulat juga? Anggap saja sebagai pengganti kata-kataku yang jahat, bagaimana?”
“Aku tidak butuh itu,” sahutku cepat.
“Aih.. pemarah ya,” pria itu lantas memungut kemejanya dan memasangkannya lagi ketubuhnya. Sebelum pergi dia melirik kearahku sambil mengedipkan sebelah matanya. “Sampai jumpa dipertemuan berikutnya, Manis. Ah ya, terimakasih ya aku merasa sangat senang hari ini. Aku akan hati-hati di jalan,”
“Apa yang sebenarnya kau dapatkan dari ini?”
“Ya?”
“Keuntungan apa yang bisa kau dapat dengan menjadi modelku?”
“… aku hanya ingin tahu, menurutmu apa aku ini lebih pada Adrien atau Ares. Aku butuh matamu yang jeli dan juga pendapatmu yang objektif untuk membuatku yakin siapa aku yang sebenarnya. Aku butuhku kau menilai lelaki yang sedang berdiri didepanmu ini sebagai Adrien atau Ares,” tutupnya padat lalu berlalu dan menghilang dari balik pintu.