Menenangkan diri

1467 Kata
#2 Menenangkan diri Indira sampai di Bandung dengan selamat di antar oleh supir pribadi sang ayah. Hujan sore hari menyambut kedatangannya di kota yang di juluki dengan sebutan Kota Kembang ini. Salah satu asisten rumah tangga di rumah tersebut yang bernama Bi Sumi menyambut kedatangan Indira, anak dari majikannya. Pak Joko -supirnya- menurunkan dua koper yang berukuran cukup besar milik Indira dan membawanya ke dalam rumah, mengikuti sang nona muda yang sudah masuk ke dalam rumah bersama dengan Bi Sumi. Indira meneliti kondisi di dalam rumah, ini pertama kalinya dia menginjakkan kaki di sini. Rumah lama milik orang tuanya yang cukup nyaman. Indira memang lahir dan besar di Jakarta, hanya sesekali Indira ke Bandung dengan Ayah dan ibunya. Terakhir kali saat Indira masih duduk di bangku sekolah dasar, berlibur ke Bandung bersama dengan orang tuanya beberapa hari setelah itu karena kesibukkan ayahnya sebagai Direktur dari perusahaan milik keluarga membuat dia dan keluarganya jarang datang ke Bandung. “Non mau makan dulu? Bibi udah siapin makanan buat Non Indi,” ucap Bi Sumi. “Indi mau mandi dulu, Bi.” “Kalau gitu biar Bibi siapkan air hangat dulu buat Non mandi.” “Makasih ya, Bi.” Indira memilih melihat-lihat kamar yang akan dia tempati, tidak ada yang berubah, semua masih sama seperti terakhir kali dia datang ke sini. Mungkin hanya warna kamar saja yang di ubah dengan cat warna baru juga tempat tidur yang kali ini berukuran besar, Indira yakin ayahnya sudah mengganti semuanya saat Indira memutuskan untuk tinggal di Bandung dalam waktu yang belum Indira pastikan akan berapa lama dia di sini. “Non, airnya sudah siap,” ucap Bi Sumi menghampiri Indira yang sedang membuka koper miliknya, mengeluarkan pakaian gantinya. “Iya, Bi.” Indira pun mengambil handuk yang berada di dalam koper sementara perlengkapan mandi lainnya Indira sudah yakin sang ayah juga menyiapkan semuanya sama seperti perlengkapan mandi di rumah mereka yang berada di Jakarta. ** Pernikahan terjadi, Bastian bertanggung jawab dengan apa yang sudah di lakukannya. Atika, perempuan yang akhirnya Bastian temui beberapa hari setelah dia kehilangan Indira, sekarang resmi menjadi istrinya. Pernikahan tanpa cinta, begitulah yang Bastian rasakan karena sampai kapan pun hanya Indira yang selalu Bastian cintai dan ada di hatinya. Semua ini Bastian lakukan hanya untuk janin yang ada di dalam rahim Atika, dan demi Indira yang memintanya untuk bertanggung jawab. “Nggak usah berharap lebih dengan pernikahan ini, gue lakuin semua karena permintaan tunangan gue dan setelah bayi itu lahir, gue mau kita bercerai.” Perkataan Bastian membuat Atika sakit hati, belum satu hari dia menjadi istri dari Bastian Ardhana, laki-laki itu sudah membahas tentang perceraian. Atika tahu apa yang Bastian lakukan hanya karena janin yang ada di dalam rahimnya, bukan karena Bastian mencintainya. Tetapi pernikahan ini bagi Atika bukan main-main, bahkan setelah ijab kabul yang di ucapkan oleh Bastian, Atika telah jatuh cinta kepada laki-laki yang saat ini sudah menjadi suaminya. Atika akan berusaha untuk membuat Bastian jatuh hati kepadanya, karena Atika yakin cinta akan datang kepada mereka karena terbiasa hidup bersama. Bastian memilih untuk keluar dari kamarnya, pikirannya sangat kacau. Sampai sekarang pun Bastian tidak tahu di mana Indira berada, semua akses seolah di hambat oleh Baskara, Ayah dari Indira. Sampai Bastian tidak bisa menemukan keberadaan kekasihnya. Tetapi sampai kapan pun Bastian tidak akan pernah menyerah, Bastian akan terus mencari Indira, meski harus ke ujung dunia. Bastian hanya ingin Indira. ** Dua hari berada di Bandung sudah membuat Indira terbiasa dengan suasana kota ini. Tidak ada yang dia lakukan, selain berjalan-jalan mengelilingi kota Bandung menggunakan mobil yang memang sudah di siapkan oleh sang ayah. Pak Joko memang hanya mengantarkannya saja karena keberadaan Pak Joko masih di butuhkan oleh sang ibu yang berada di Jakarta. Baskara tidak pernah mengijinkan Farida dan tentu saja Indira ke luar rumah kecuali di antar oleh supir kepercayaannya dan Indira mengerti karena ayahnya begitu menyayangi mereka berdua. Awalnya Baskara juga memberikan supir pribadi kepada Indira selama tinggal di Bandung tetapi Indira menolak dengan lembut. Indira hanya ingin menikmati waktunya di sini sendiri, pergi ke manapun sesukanya sendirian tanpa supir. Karena terlalu menyayangi sang anak, Baskara pun setuju dan memberikan mobil kepada Indira untuk di pakai selama di Bandung. “Bi, Indi ke luar dulu ya. Jalan-jalan ke Alun-alun,” ucap Indira menghampiri Bi Sumi yang sedang mencuci piring di belakang. “Iya, Non. Hati-hati bawa mobilnya.” “Iya, Bi.” Indira ke luar dari rumah menuju mobil yang sudah terparkir di halaman rumah, dengan langkah ringan Indira masuk ke dalam mobil. Kemarin Indira sempat ke kawasan Cihampelas Walk dan pergi ke toko buku yang berada di Jalan Merdeka, hari ini Indira akan pergi ke Alun-alun Kota Bandung. Hanya jalan-jalan saja, menikmati waktunya sendiri. Mobil putih milik Indira membelah jalanan Kota Bandung yang hari ini tampak lancar, jam masih menunjukkan pukul sembilan pagi waktu yang tepat untuk pergi ke Alun-alun sebelum matahari semakin tinggi dan terik. ** Suasana Alun-alun masih tampak sepi hanya ada beberapa orang saja yang sedang berada di tengah Alun-alun, di atas rumput hijau sintetis yang berada di depan Masjid Agung Kota Bandung, mungkin karena Indira kepagian datang ke sini atau memang hari ini bukan weekend jadi tidak begitu ramai. Indira memilih untuk duduk di salah satu kursi yang berada tak jauh dari rumput sintetis mengeluarkan kamera di dalam tas yang tadi memang Indira bawa dari rumah. Selain mahir dalam bermain alat musik, Indira juga senang dengan kegiatan fotografi. Setiap kali dia pergi ke suatu tempat, kamera tak akan pernah jauh darinya. Beberapa kali Indira mengambil foto menggunakan kamera tersebut, memfokuskan lensa pada objek di hadapannya. Bangunan Masjid Agung yang begitu megah, dengan beberapa orang yang berlalu lalang di depannya. Beralih ke sisi lain, Indira mengambil foto anak-anak yang sedang bermain tak jauh dari tempatnya duduk saat ini, mereka tampak ceria seolah tak ada beban dalam kehidupannya. Satu foto, dua foto sampai beberapa foto dengan objek berbeda Indira sudah ambil dengan menggunakan kamera miliknya. Merasa haus, akhirnya Indira memilih untuk membeli minuman dingin lebih dulu pada salah satu penjual yang berada di sekitaran Alun-alun. Suasana Alun-alun sekarang memang begitu berbeda, jika dulu banyak sekali penjual yang menjajakan dagangannya di sekitar Masjid Agung, sekarang hanya ada beberapa penjual saja karena tempat makan pun sudah berpindah ke lantai bawah dekat parkiran, di mana seluruh penjual makanan di pindahkan ke sana, membuat suasana Alun-alun memang lebih rapi dan tidak berdesakan antara pengunjung maupun penjual. Indira menghampiri salah satu penjual minuman, membeli satu botol air mineral. Indira juga melihat penjual sosis bakar dan akhirnya memilih untuk membeli juga, pengganjal perutnya yang sudah meronta ingin di isi. Padahal sebelum ke sini, dia sudah sarapan lebih dulu. Mungkin sarapannya sudah terkuras habis saat perjalanan menuju Alun-alun. Sambil menunggu sosis bakar pesanannya selesai di bakar, Indira memilih untuk duduk di pelataran Masjid Agung, tak jauh dari penjual sosis bakar tersebut. Indira melepas sepatu dan duduk bersandar pada dinding bangunan Masjid Agung sambil memainkan handphonenya. Ada beberapa direct message dari akun media sosialnya. Satu nama tertera membuat Indira terdiam. Iya, siapa lagi kalau bukan Bastian Ardhana, laki-laki yang sudah melukai hatinya. Indira memilih untuk mengabaikan pesan dari Bastian, nomor laki-laki itu juga sudah Indira blokir. Dia tidak ingin lagi berhubungan atau tahu keadaan Bastian saat ini, semuanya sudah selesai setelah Indira memutuskan untuk pergi ke Kota ini. “Ini sosis bakarnya, teh.” Indira menoleh, seorang penjual sosis bakar tersebut sudah ada di hadapannya menyerahkan satu bungkus sosis bakar yang tadi dia beli. “Terima kasih,” ucap Indira menerima bungkusan tersebut. Penjual itu tersenyum mengangguk lalu kembali ke tempat jualannya. Indira pun menikmati sosis bakar tersebut, sesekali dia memperhatikan orang-orang yang berada di sekitarnya. Ada anak kecil yang asyik berlarian, dua orang yang sedang mengobrol dan ada juga yang tengah asyik berfoto. Kedua matanya kali ini menangkap sosok laki-laki yang sedang membaca buku tak jauh darinya, laki-laki itu tampak serius dengan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Pakaian yang tampak sederhana, hanya kaus berwarna hitam, celana jeans dan sebuah tas ransel yang berada di sampingnya. Laki-laki itu menoleh membuat Indira kelabakan karena ketahuan tengah memperhatikannya, Indira memalingkan wajah ke arah lain berharap laki-laki itu tidak menyadari bahwa Indira sedang memperhatikannya. Merasa cukup lama Indira menoleh ke arah lain, perlahan dia kembali menoleh ke sisi di mana laki-laki itu berada, Indira mengembuskan napasnya secara perlahan, laki-laki itu sudah pergi. Indira dengan cepat menghabiskan potongan sosis bakarnya, setelah itu membuang bungkusan tersebut ke tempat sampah. Indira kembali memakai sepatunya dan memilih untuk pulang karena sudah cukup siang dan dia puas meski hanya berdiam diri di Alun-alun sambil menikmati sosis bakar. Besok Indira mungkin akan pergi ke tempat lain, selama di sini dia akan terus menikmati waktunya, sambil melupakan semua kenangan tentang Bastian yang terlalu melekat dalam ingatannya. Indira harap secepatnya dia bisa melupakan semua hal tentang Bastian, karena Indira tahu semua tak akan lagi sama seperti sebelumnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN