bc

KEMELUT LEMBAH CHEROKEE

book_age18+
650
IKUTI
2.9K
BACA
love after marriage
goodgirl
sweet
Writing Challenge
like
intro-logo
Uraian

Yiska dan Lansa terpaksa mengadakan kesepakatan demi tujuan masing-masing. Lansa dengan penentangannya terhadap perjodohannya, dan Yiska demi mendapatkan kebebasannya.

Tapi beberapa badai yang menghantam kebersamaan ternyata tak membuat keduanya melemah dan pasrah pada keadaan, tetapi semakin memperkuat jalinan hati yang tak sengaja tercipta diantara keduanya.

Membuat mereka bertekad untuyk bersama-sama memperjuangkan kemakmuran Cherokee, membawa penduduk suku Cherokee pada kehidupan yang pantas untuk diangkat menjadi lebih baik.

Akhirnya, kerja keras mereka terbayar lunas ketika keadaan kehidupan warga suku Cherokee berangsur membaik dan tidak terbelakang lagi.

chap-preview
Pratinjau gratis
PAGI DI LEMBAH CHEROKEE
Kabut pagi dan udara yang basah, terasa menyelimuti beberapa rumah adat di lembah itu. Lembabnya udara bersama terpaan angin sisa hujan semalam, membuat suasana semakin menusuk. Lenggang, tak terlihat aktifitas yang menunjukkan bahwa mereka akan bekerja hari ini. Hanya ada beberapa perempuan yang sedang mengasuh anak mereka, beberapa anak kecil duduk di teras, sambil bermain diselingi tawa. Wajah anak-anak itu terlihat bahagia, hampir semua anak menikmati pagi ini, dan hampir tak ada yang meringkuk di bilik. Anak-anak itu terlihat tak ingin melewati pagi, walau dinginnya udara, memeluk tubuh mungil mereka. Sementara itu, asap terlihat mengepul hampir di setiap dapur rumah-rumah adat. Pemandangan ini adalah hal yang wajar terjadi, sebab salah satu kebiasaan mereka yaitu menghangatkan diri dengan perapian. Beberapa bocah duduk di anak tangga rumah mereka, sambil sesekali termenung melihat ke angkasa. Di sana, warna langit masih tak sebiru biasanya,  matahari nampak malu menyapa. Ini bukanlah pagi yang cerah. Namun, tak ada yang boleh berdiam tanpa melakukan apa-apa. Seperti di sebuah rumah adat yang terkenal paling besar. Terdengar percakapan yang melibatkan suara laki-laki. Sementara di bilik belakang, kesibukan para wanita menciptakan suasana lainnya. Aruma, perempuan setengah baya dengan wajah anggun dan tegas, sedang mengawasi Leti memasak. Harum daging bakar terasa menyengat penciuman para lelaki yang sedang melakukan pembicaraan serius itu. “Beberapa hari lalu, Hulubalang Meka datang kembali.” Lewanu, laki-laki setengah baya yang terlihat gagah dan berwibawa itu menatap laki-laki muda yang sedang duduk di depannya sambil mengasah ujung tombak yang akan dipakainya untuk berburu. Lansa, seorang lelaki muda itu terdiam tak menjawab. Dia malah terlihat tekun dengan kegiatannya. Ujung tombak yang sudah terlihat demikian runcing dan tajam itu masih saja diasahnya. “Lansa, Kau tak mendengar ucapanku?” Lewanu kembali berkata dengan suara sedikit ditegaskan, membuat Lansa mendongak. Dia kemudian menghentikan kegiatannya dan menatap sekilas ke arah Lewanu. “Ya, aku mendengarmu,” Lansa kemudian kembali menunduk, meneruskan kegiatannya lagi. “Perjodohan kalian sudah terjadi semenjak kalian masih sama-sama kecil dan bermain bersama,” Lewanu kembali mengisahkan hal serupa yang sering di dengarnya dari ayahnya. Helaan napas Lansa terdengar, namun ia memilih diam. Sebenarnya, ia sudah merasa bosan dengan bahan obrolan yang itu-itu saja. Perjodohannya dengan Mona, putri dari hulubalang raja yang terkenal cantik dan hebat menggunakan pedang itu, sudah menjadi berita yang nyaris basi di telinga Lansa. Karena sejujurnya, dia tak suka dengan perjodohan itu. “Hulubalang Meka mengajak kita berembug untuk segera melaksanakan upacara pernikahan kalian. Secepat yang bisa kita lakukan.” Lewanu meneruskan pembicaraannya, sambil sesekali menghisap tembakau yang terbakar pada canting pipa yang terbuat dari gading gajah itu. “Aku masih ingin berpetualang, Ayah,” ungkap Lansa, dengan beralasan. Lewanu menatap Lansa tajam. Ia seperti mencari sesuatu yang tidak dikatakan putranya itu.  “Pengalaman berburu yang kupelajari masih jauh dari kata memadai. Aku tak mau nantinya tak bisa memburu seekor rusa pun untuk anak-anakku.” Lansa kembali beralasan. Dia sadar, ini adalah untuk yang kesekian kalinya ia berusaha menghindar dari pernikahan yang seharusnya sudah berlangsung beberapa tahun lalu. Tapi, Lansa selalu berhasil menghindarinya. Lewanu menghentakkan napasnya. Degup jantung Lansa, menjadi berubah lebih cepat. “Alasan lagi dan lagi. Ini sudah yang kesekian kalinya kamu menolak pernikahan itu, Lansa. Ayah bisa kehilangan muka jika nantinya harus ditunda lagi!” ungkapnya sedikit meninggi. Lansa terdiam, lalu menghempaskan udara dari penciumannya sambil berkata, “Kalau Ayah tak mau kehilangan muka, Ayah bisa menjodohkan Mona dengan Dalton!” Lewanu semakin terkejut dengan ucapan yang dilontarkan Lansa. Bagaimana mungkin Lewanu harus mengalihkan perjodohan anaknya dengan Dalton? Dalton hanya anak suku lain yang ditemukan Lewanu ketika Lewanu berburu. Rasa ibanya membuat Lewanu membawa Dalton pulang dan menjadikannya anak angkat. Usianya sepertinya tak jauh berbeda dengan Lansa. Dan Lewanu lega ketika melihat Lansa dan Dalton bisa tumbuh bersama tanpa ada pertikaian sama sekali. “Lansa! Kamu ingin mencoreng nama baik Ayahmu? Apa kata Hulubalang Meka jika mengetahui idemu yang bodoh itu?” Lewanu menghardik dengan suara keras dan tegas. “Mengapa Ayah selalu memikirkan kata Hulubalang Meka, sementara Ayah tak mempertimbangkan perasaanku, perasaaan anak sendiri?!” “Lansa! Jaga bicaramu! Jangan sampai apa yang kamu ucapkan itu sampai ke telinga Hulubalang Meka. Ayah tak mau memicu permusuhan dengan Hulubalang. Kamu tahu? Mereka memiliki kerabat yang jumlahnya tidak sedikit di Cherokee ini. Jika sampai kita memiliki alur yang bertentangan dengan mereka, Ayah tak tahu apa yang akan terjadi.” Lansa menatap pria yang tak muda lagi itu, dengan pandangan tak mengerti. Dia menghentikan kegiatannya mengasah ujung tombak berburunya. “Jadi, Ayah khawatir akan kehilangan jabatan sebagai kepala suku? Dengan mempertaruhkan aku untuk menjadi menantu Hulubalang Meka?” Lansa mulai meradang dengan apa yang diungkapkan ayahnya. “LANSA!!” “Kalau tujuan Ayah menikahkanku dengan Mona hanya karena jabatan Ayah, maaf, aku menolaknya!” Lansa akhirnya melontarkan apa yang selama ini ia ingin ungkapkan. Bersamaan dengan kata-katanya, wajah Lewanu memerah menahan amarah. “Apa maksudmu Lansa? Ayah tak mungkin membatalkan apa yang sudah menjadi kesepakatan sekian tahun!” muka Lewanu terlihat merah menahan amarah. Tangannya mencengkeram pipa tembakaunya dengan geram. Lansa bahkan mulai berani menatap ayahnya tajam. “Kalau Ayah tak punya keberanian untuk mengatakan hal ini kepada Hulubalang Meka, aku akan mengatakannya sendiri kepadanya.” Kedua bola mata ayah Lansa sontak membulat tegang. Garis wajahnya mengeras dan menatap Lansa dengan sangat tegas. Lansa menghindari tatapan ayahnya. Ia tahu perkataannya tadi terlalu berani untuk ia ungkapkan pada sang ayah. Namun, hatinya tak bisa berbohong, pernikahan bukanlah soal kesepakatan, tapi soal hati dengan hati. “Lansa! Jangan bertindak bodoh dan kurang ajar seolah-olah kamu tak diajarkan etika! Sikapmu seperti orang yang tak pernah ayah sekolahkan di college ternama negeri ini.” Suara ayah Lansa meninggi, membuat tubuh Lansa merespon untuk beberapa langkah berjalan mundur. “Jangan membawa sekolahku pada masalah ini, Ayah. Ayah tak akan bisa memahami apa yang Lansa rasakan!” Tiba-tiba dari bilik belakang muncul Aruma yang datang dengan tergopoh-gopoh karena mendengar suara yang demikian keras. “Ada apa ini, Lewanu? Kalian berdebat seperti orang-orang yang tak memiliki adat. Hari masih terlalu pagi untuk mengadu kekuatan kalian berdebat!” Aruma menghardik, tak peduli bahwa Lewanu adalah kepala suku. Karena setinggi apapun jabatan Lewanu, dia tetaplah adiknya. Lewanu mendengus kesal dan masih menatap Lansa dengan pandangan tajam penub amarah. “Kamu bisa menanyakan langsung pada anakmu itu, Aruma! Apa yang telah aku lakukan di masa laluku, sehingga terlahir anak yang suka membangkang seperti dirinya!” Lansa menatap kembali ke arah ayahnya dengan tajam. Tangannya tak sadar terkepal, perasaannya bercampur antara sedih dan kecewa. Ia sudah cukup dewasa untuk mengerti perasaan hati. Namun, hidupnya tak sebebas burung di angkasa, ia merasa terlahir hanya untuk mengikuti keinginan sang ayah. Lansa menghempaskan napasnya kesal, lalu membalas, “Cukup! Aku tidak membangkang, Ayah. Aku hanya tak mau jika perjodohan antara aku dan Mona itu memiliki tujuan untuk memperkokoh kedudukan Ayah sebagai kepala suku!” Lansa mengeraskan suaranya dengan nada tegas. Tiba-tiba Lewanu tertawa keras seolah mengejek ketegasan Lansa. “Kita akan melihatnya nanti, Anak Muda. Ayah atau kamu yang akan  kalah berpendirian.” “Sudah! Kalian ini sebenarnya memiliki sifat yang sama. Keras kepala dua-duanya! Sayangnya kalian tak ada yang mau mengalah. Dan itu juga kesamaan sifat kalian! Lansa, sebaiknya kamu segera makan. Leti sudah selesai dengan masakannya!” Lansa tak menjawab tawa dan ancaman ayahnya, dan bahkan malah mengikuti Aruma untuk berjalan ke bilik belakang. Perdebatannya dengan sang ayah mampu menenggelemkan rasa laparnya yang sedaritadi sudah terdengar memberontak. Sepeninggal Lansa, Lewanu merenungi betapa kerasnya pendirian Lansa. Lewanu seperti dihadapkan pada cermin besar yang menggambarkan bagaimana dirinya di masa lalu. Lansa memiliki sifat yang nyaris sama persis dengan dirinya ketika dulu memperjuangkan rasa cintanya pada Chilam, perempuan berparas manis yang digilainya. Saat itu, Lewanu muda juga keras dengan pendiriannya. Dan ayahnya memang akhirnya menyetujui pilihannya. Tapi hanya beberapa tahun saja kebahagiaan Lewanu berlangsung. Karena setelah Lansa lahir dan berumur satu tahun, perempuan itu ditemukan tewas dengan mulut penuh busa akibat keracunan. Lewanu terpukul dan merasa bersalah Chilam tewas karena menjadi sasaran dendam yang sebenarnya ditujukan pada dirinya. Sejak saat itu, Lewanu membekukan hatinya. Tak akan mendekati perempuan manapun jika harus berakhir dengan menjadikan perempuan itu berada dalam bahaya bakibat dendam padanya. Lansa kecil akhirnya harus tumbuh dan berkembang tanpa kasih sayang seorang ibu. Aruma, kakak kandung Lewanu, yang akhirnya merelakan dirinya untuk mengasuh Lansa, dan melupakan dirinya yang harus menjadi perawan tua. Tanpa menikah hanya untuk mengasuh Lansa. Bisa dibayangkan bagaimana kuatnya ikatan batin antara Lansa dan Aruma, karena yang Lansa tahu, Ibunya hanya Aruma. Lansa memang lebih patuh pada Aruma dari pada dengan Lewanu. Jika Lansa sekarang menjadi pemuda yang tegap, gagah dan tangguh, itu memang karena tempahan fisik yang diberikan Lewanu setiap hari. Sebagai anak kepala suku, Lansa memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menggantikan posisi Lewanu sebagai kepala suku. Lewanu mendidik Lansa untuk menjadi lelaki yang kuat dan tanguh karena itulah Lansa membutuhkan ketangguhan fisik dan juga hati. Lewanu kembali menghisap tembakaunya yang nyaris mati tergerus lamunannya, kemudian menghempaskannya pelan. Bayangan Chilam yang tadi sempat melintas di kepalanya, perlahan menghilang bersama memudarnya asap tembakau. Kabut gunung setia memeluk lembah Cherokee ketika di luar terdengar keributan suara beberapa laki-laki. “Kepala Suku! Kepala suku!” terdengar panggilan yang susul menyusul dari beberapa suara laki-laki. Lewanu bergegas keluar dan membuka pintu. Di halaman rumahnya yang luas, terlihat  beberapa penduduk suku Cherokee laki-laki yang sepertinya mengusung sesuatu. “Ada apa ini?” Lewanu bertanya tegas. Dari dalam bilik belakang kemudian menyusul Lansa, Aruma dan juga Leti. Perempuan muda yang biasa membantu di rumah Lewanu. “Kami menemukan gadis ini mengendap-endap di pinggiran area kita, Kepala Suku.” Seorang warga berbicara. “Ya, Kami menemukannya di sana!” sahut yang lain. Lewanu menatap seseorang yang mereka bawa. Begitupun dengan Aruma, Leti dan Lansa. Semua mata menatap ke arah gadis yang dibawa penduduk ke hadapan Lewanu. Dalam pandangannya, Lewanu melihat seorang perempuan dengan rambut panjangnya yang berantakan, memakai celana panjang yang sudah kotor karena terkena lumpur tanah basah, memakai baju dingin dan menyandang tas punggung yang juga sudah kotor. Sepertinya dia bukan gadis suku Cherokee ataupun juga suku lainnya. Lewanu membathin. Lansa mencermati penampilan gadis itu. Entahlah, tiba-tiba d**a Lansa berdesir ketika matanya bertemu pandang dengan mata sang gadis. Untuk beberapa saat, tatapan mereka terpaku, waktu mendadak seperti membeku. Wajah cantik gadis itu tak bisa tertutupi, meskipun penampilannya berantakan. Dan yang membuat Lansa nyaris tak habis pikir, bahwa gadis yang kini sedang berada dalam kerumunan penduduk Cherokee itu adalah gadis yang beberapa waktu membuatnya tercengang sendirian, di tepi sungai. “Siapa gadis ini? Dilihat dari penampilannya, dia bukan perempuan dari bangsa kita.” Lewanu bertanya sambil mengira-ngira. “Sepertinya perempuan kota, Kepala Suku!” seorang warga menyerukan jawabannya. Lewanu manggut-manggut. “Kita pantas mencurigainya, Kepala Suku. Siapa tahu dia mata-mata yang dikirim oleh suku Ramda untuk mengetahui kelemahan kita!” seorang yang lain kembali bersuara, disahuti oleh gerutuan warga yang lain. “Tenang! Kuharap kalian tidak menduga-duga dan main hakim sendiri. Kita akan mengetahuinya setelah kita menanyakannya. Sebaiknya kita bawa perempuan ini ke balai suku!” Lewanu menengahi. “Ya, Kepala Suku!” “Ayo!” “Ayo!” Beberapa penduduk yang menemukan perempuan itu kini bergerak menuju ke Balai Suku dengan mengarak gadis itu. Lewanu kemudian menoleh ke arah Lansa. “Lansa! Kita harus ke bangsal suku! Ada yang harus kita selesaikan dengan perempuan tadi.” Teriak sang ayah memberitahu Lansa untuk ikut dengannya. Lansa mengangguk, melupakan perdebatan yang baru saja berlangsung antara dirinya dan ayahnya. Dengan langkah bergegas dia mengikuti langkah Lewanu menuju Balai Suku yang bangunannya terletak di tengah perkampungan. Beberapa penduduk yang melihat peristiwa itu terlihat saling berbincang, membicarakan apa yang telah terjadi. Beberapa diantaranya bahkan ada yang ikut ke balai suku untuk tahu kejelasan masalah pagi ini. Bangunan balai suku terletak di tengah pemukiman. Dibangun dengan kayu-kayu oak yang kokoh dan telah berusia ratusan tahun. Atapnya yang terbuat dari ijuk menandakan bahwa balai suku sudah berdiri sejak puluhan tahun yang lalu. Beberapa pilarnya terlihat demikian tua dan angker. Gadis beransel itu digiring warga, lalu ia didudukkan di tengah balai suku. Beberapa warga terlihat berkerumun untuk mengikuti sidang mendadak yang semakin padat karena warga yang lain mulai menyusul untuk melihat apa yang terjadi. Lewanu datang diikuti Lansa. Mereka berdua kemudian duduk di kursi kayu yang besar, yang berada di dalam balai. Kursi itu menghadap pada warga dan gadis beransel itu. Gadis itu terduduk menunduk dan tubuhnya terlihat bergetar ketakutan. Entah mengapa, ketika Lansa menatap kembali pada gasis itu, dia ingin menolongnya dari bermacam tuduhan yang hiruk pikuk dituduhkan warga padanya. “Diamlah sejenak! Kita akan mulai meminta keterangan pada perempuan ini.” Suara warga yang hiruk pikuk mulai mereda, meski satu dua masih ada yang bergunjing. “Siapa namamu, Nona? Sepertinya kamu tidak berasal dari bangsa kami?” Lewanu memulai pertanyaannya yang disimak dengan seksama oleh warga suku Cherokee yang hadir di balai suku. Gadis itu mendongak menatap Lewanu, mengabaikan keberadaan Lansa yang menatapnya dengan pandangan tajam menelaah. “Nama saya Yiska.” Gadis itu menjawab dengan suara jelas, namun wajahnya masih saja cemberut dan marah dengan perlakuan orang-orang ini terhadapnya. Meski ada nada gentar dalam suaranya, tapi gadis itu mencoba tegar menghadapi paginya yang berantakan kali ini. Diam-diam dia menyesali kecerobohannya meninggalkan rombongan kemahnya hanya karena seekor kelinci hutan yang menggemaskan itu. Beberapa warga kembali bergemuruh mendengar nama Yiska disebutkan. “Baiklah, Nona Yiska. Bisa kau katakan, dari mana asalmu dan apa tujuanmu berada di area perkebunan kami?” Yiska mendongak menatap ke arah Lewanu dengan berani, tanpa ada rasa terkejut sama sekali. Meski Yiska menyadari bahwa penampilannya memang sangat jauh berbeda dengan sebagian besar warga di sekelilingnya. “Saya tersesat.” Warga kembali bergemuruh menyangkal sehingga suaranya demikian hiruk-pikuk, membuat seorang lelaki yang menjabat sebagai pamong suku mengetuk meja dengan keras, berharap warga menjadi sedikit diam untuk menyimak selanjutnya. Yiska kembali menunduk. “Tersesat? Bagaimana bisa?” Lewanu kembali mencecar Yiska dengan pertanyaan. “Saya satu dari rombongan kemah, Kepala Suku. Ketika jelajah alam, saya terpisah dari rombongan karena mengikuti seekor kelinci hutan yang meloncat dengan cantiknya.” Lewanu masih menyimak. “Saya mengikutinya tanpa menyadari bahwa saya sudah jauh dari rombongan saya. Ketika saya hendak kembali kepada rombongan saya, saya kehilangan arah.” “Kamu bukan utusan suku Ramda?” Yiska terlihat bingung. “Suku Ramda? Maaf, Kepala Suku. Saya tak tahu mengenai suku Ramda.” Lewanu manggut-manggut, seolah sedang menelaah apakah keterangan yang diberikan Yiska benar atau itu hanya sebuah kamuflase seorang mata-mata. “Jangan langsung percaya, Kepala Suku. Kita sudah sering berhadapan dengan orang-orang suku Ramda. Mereka sangat lihai dan licik dalam siasatnya. Siapa tahu ini utusan yang sama.” Hasut Elmon. Ia salah seorang warga yang bertubuh tegap layaknya seorang algojo dan berani mengungkapkan isi hatinya terdengar bersuara dengan keras. Beberapa warga yang lain bergemuruh setuju dengan apa yang dikatakan oleh Elmon. “Baiklah. Kita tidak bisa langsung menjatuhkan keputusan tanpa mempertimbangkan keterangan Yiska. Sambil menunggu keterangan selanjutnya, kita akan membawa Yiska ke penjara suku.” Yiska terkejut dengan apa yang diucapkan Lewanu yang disetujui oleh warganya. Penjara suku? “Kepala Suku! Saya bukan penyusup, saya bukan mata-mata. Saya hanya tersesat!” Yiska berbicara dengan lantang namun sedikit gentar. “Kita akan membuktikannya nanti. Dan tentu saja kamu tahu, hukuman apa yang akan kamu terima jika kamu memang seorang penyusup yang dikirim oleh suku Ramda untuk menemukan rahasia-rahasia kami.” Yiska menggeleng. “Saya hanya tersesat, Kepala Suku!” Yiska kembali berteriak lantang, “Saya tak mau dipenjara!” “Putong! Elmon! Bawa perempuan ini ke penjara suku.” Lewanu memperintahkan keduanya membawa gadis malang itu. “Baik, Kepala Suku.” Jawab Putong dan Elmon serentak. Lalu kedua orang yang diperintahkan untuk membawa Yiska itu kemudian bergerak maju untuk mencekal Yiska dan membawanya ke penjara suku yang terletak di belakang rumah besar Lewanu. Yiska meneriakkan penolakannya. Air mata sepertinya sudah mulai merebak hendak menangis. Tapi Putong dan Elmon tak menggubris teriakan Yiska. Kedua laki-laki itu mengcengkeram kedua lengan Yiska dan memaksanya bangkit untuk digiring ke penjara suku. Yiska meronta tak mau dimasukkan ke dalam penjara. Tapi bagaimanapun kerasnya dia berontak, keputusan Lewanu sudah ditetapkan. Dan Putong tetap menggiringnya menuju ke penjara suku yang berada di belakang rumah besar Lewanu. Sejenak mata cantik Yiska menatap Lansa meminta pertolongan, tetapi tentu saja keputusan tak bisa diganggu gugat sehingga laki-laki itu hanya memalingkan muka, tak mau menatap Yiska meski hatinya iba mendengar tangisan Yiska. Tentu saja kilat kebencian langsung terpancar di mata Yiska untuk Lansa. Dia membenci laki-laki itu yang malah memalingkan muka padahal dia meminta pertolongan. Yiska tak meminta dibebaskan, dia hanya minta diberi kesempatan untuk mengatakan siapa dirinya juga bukti-bukti yang menguatkan bahwa, dirinya bukanlah seorang penyusup yang dikirimkan oleh suku Ramda. Warga suku Cherokee yang sempat berkerumun melihat peradilan di balai suku, kini bubar. Sebagian ada yang mengikuti Putong dan Elmon menggiring Yiska, sebagian kembali ke rumah masing-masing. Bahkan sebagian penduduk yang tak ikut menyaksikan peradilan itu sudah pergi ke area reservasi mereka untuk bercocok tanam. Selama dalam perjalanan, Yiska terus berontak. Tapi sepertinya dia melakukan hal yang sia-sia, karena kini dia sudah berada di depan sebuah rumah yang besar dan tinggi. Beberapa penjaga terlihat memegang tombak pada pintu masuknya. Putong dan Elmon membawa Yiska kesana. Gadis itu masih berusaha menolak, karena melihat bangunan yang sangat tidak memadai itu saja sudah membuatnya mual tidak karuan. Apalagi ketika sampai di dalam dan dia melihat bahwa bangunan besar itu terdiri dari ruangan-ruangan yang sekatnya demikian kokoh. “Tolong lepaskan saya. Saya bukan penyusup, saya hanya tersesat!” Yiska masih saja berusaha berontak. Tapi, lagi-lagi semuanya hanyalah sia-sia. “Sebaiknya simpan tenagamu itu, nanti akan ada peradilan ulang setelah bukti yang akan menyertai peradilanmu ditemukan.” “Tapi saya bukan penyusup! Saya hanya tersesat dan terpisah dari rombongan!” Putong dan Elmon tak menjawab lagi dan kemudian mendorong Yiska untuk memasuki salah satu bilik penjara yang ada di bangunan besar itu, kemudian mengunci pintunya. Sementara Yiska yang tersungkur karena di dorong terlalu keras, kini bangkit dengan paksa ketika melihat pintu ditutup. Dengan sekuat tenaga Yiska membukanya. Tapi tentu saja tidak berhasil karena pintu sudah terkunci dari luar. “Buka! Buka pintunya! Saya tak bersalah! Saya bukan penyusup! LEPASKAN SAYA!” Yiska berteriak sambil menggedor pintu dengan tangannya. Sia-sia. Bahkan seseorang dari bilik di sebelah biliknya berteriak dengan mengancam. “Diam! Suaramu yang berisik itu mengganggu tidurku!” ucap suara perempuan yang terdengar serak dan sangar, membuat nyali Yiska menciut. Yiska terduduk lemah dan menelungkupkan wajahnya pada kedua lututnya yang tertekuk. Dia menangis, menyesali kebodohannya yang gampang terpesona oleh segerombolan kelinci hutan yang manis kala itu. “Yiska, segera ikuti kami! Cepat, agar kamu tak tersesat.” Suara Martin yang ketua regu jelajah alamnya, seperti menggema kembali ke telinga Yiska. Membuat tangisnya semakin keras terdengar. “BRAK! BRAK! BRAK!” “Tak perlu menangis! Simpan saja air matamu untuk hari dimana kamu akan dihukum gantung seperti penyusup Ramda yang lain,” suara perempuan garang di sebelahnya kembali terdengar. Hukum gantung? Tangis Yiska semakin kencang sehingga perempuan di bilik sebelah semakin meradang. “Kelinci sialaaannn!” Yiska berteriak membenci segerombolan kelinci yang telah membuatnya terdampar pada sekawanan penduduk suku entah berantah, yang salah satu penduduk laki-lakinya sangat dia benci. Yiska tak tahu siapa nama laki-laki itu, tapi yang jelas dia berjanji akan membenci laki-laki itu. Sementara di rumah besar Lewanu, terlihat Lansa sedang berdiri di dekat jendela yang menghadap ke pekarangan belakang, dimana bangunan penjara suku berada. Teriakan Yiska lamat-lamat terdengar sampai ke telinganya. Diam-diam, sisi hati Lansa ada yang tersayat. Meski sebagai seorang laki-laki anak kepala suku Cherokee yang di siapkan untuk tangguh dan mengesampingkan perasaan, tapi nyatanya Lansa tak bisa mengelak. Perempuan berparas ayu, dengan pipi gembil berlesung pipi itu telah menjamah hatinya. Tapi Lansa tak akan menunjukkannya di hadapan gadis yang telah menatapnya dengan penuh kebencian itu. Dia harus mempersiapkan diri jika Hulubalang Meka nanti datang untuk berdiskusi tentang rencana pernikahannya dengan Mona. *  *  *

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Aira

read
93.1K
bc

Suddenly in Love (Bahasa Indonesia)

read
77.8K
bc

MANTAN TERINDAH

read
10.0K
bc

CEO and His Cinderella

read
56.7K
bc

Super Psycho Love (Bahasa Indonesia)

read
88.6K
bc

Stuck With You

read
75.8K
bc

Perfect Revenge (Indonesia)

read
5.1K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook