Sumpah serapah, caci-maki, semua kata-kata kotor yang dilontarkan oleh warga terhadap Anjani, masih terngiang-ngiang jelas di telinganya. Tubuhnya diseret paksa agar pergi meninggalkan kontrakan. Anjani meraung-raung meminta dilepaskan, tetapi tak seorang pun yang menghiraukannya. Terutama Odah, karena dia lah yang menjadi provokator, sedangkan Tuti sebagai pemilik kontrakan, tak bisa berbuat apa-apa.
Di bawah guyuran hujan yang lebat, Anjani berjalan gontai. Air matanya sudah kering. Dia diusir secara tidak terhormat oleh warga setempat. Anjani bersimpuh di pinggir jalan. Dia menengadahkan wajah menatap langit. ‘Tuhan, apakah ini salah satu ujian dari-Mu? Aku memang bersalah karena telah mengotori nama kampung tempatku tinggal. Tapi … semua ini terjadi di luar kendaliku. Jika aku bisa memilih, aku tidak mau seperti ini.’
Anjani bangkit. Dia kembali melanjutkan langkah kakinya yang tak tentu arah. Ketika dia tengah fokus berjalan, tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah mobil yang melintas di depannya. Kaca mobil yang sedikit terbuka membuatnya bisa melihat siapa orang di balik kemudi.
Anjani berlari mengejar mobil tersebut. Dia menggedor-gedor pintu mobil. “Ardan, berhenti! Aku mau ngomong sama kamu. Kamu harus tanggung jawab. Semua yang terjadi sama aku, ini semua akibat ulah kamu!”
Pengemudi mobil yang ternyata Ardan itu menginjak rem mendadak. Lalu dia memarkirkan mobilnya di pinggir jembatan. Dia keluar dan menarik kasar tangan Anjani. “Apa maksud kamu, Anjani? Lagian ngapain ujan-ujan kayak gini kamu malah keluyuran. Oohh … aku tau, kamu lagi nyari sugar daddy, ya? Biar bisa bayar kamu. Karna kan, cuma jalan pintas kayak gitu yang bisa cepet ngehasilin duit! Apalagi kan, kamu emang udah gak perawan, jadi udah biasa ngejual diri!”
Plak! Plak!
Dua buah tamparan menghentikan pembicaraan Ardan. Emosi Anjani yang sudah tak bisa dikontrol lagi, akhirnya melabuhkan tangannya di kedua pipi lelaki yang dulu pernah berlabuh di hatinya. Matanya memerah sambil menatap Ardan dengan nyalang. Bibirnya gemetar antara menahan tangis dan emosi.
“Tega banget kamu ngomong kayak gitu. Padahal semua yang terjadi sama aku, ini semua gara-gara kamu! Kamu yang udah ngejual aku ke Pak Juna, orang tempat kamu berhutang! Kenapa kamu jahat banget sama aku? Kenapa? Apa salah aku sama kamu?”
“Aku tulus cinta sama kamu. Selama kita ngejalin hubungan, setiap kamu gak punya duit, aku selalu kasih kamu duit. Hampir semua gajiku aku kasih ke kamu. Selama hampir 2 tahun kita ngejalin hubungan, setiap bulan gajiku kamu yang ngenikmatin!”
Bahu Anjani terguncang hebat. Deru napasnya terdengar memburu. Rasa sakit yang telah Ardan torehkan padanya, sungguh membuatnya murka. Kini dia sudah tak bisa membendung emosi yang meliputi jiwanya.
Sementara Ardan hanya bergeming. Dia memegang pipinya yang terasa sangat panas akibat tamparan yang dilayangkan oleh Anjani. Dirinya sungguh tak menyangka, jika ternyata Anjani memiliki sisi lain yang pemberani jika sedang dilanda emosi.
“Kamu yang punya hutang sama Pak Juna, tapi kenapa kamu malah ngorbanin aku? Kenapa? Apalagi posisinya kita udah putus, itu artinya kamu udah nggak punya hak apa pun atas diriku!” Anjani menatap pilu. Derasnya air hujan, mampu mengalahkan deras air matanya. “Apa salahku sama kamu, Ardan? Nggak cukup kah kamu nyakitin aku dengan pengkhianatan kamu? Kamu yang nyelingkuhin aku! Kamu yang ngehancurin hubungan kita!”
Anjani sesenggukan. “Kamu ngepermainin aku. Aku tulus sama kamu, tapi kamu cuma ngemanfaatin aku aja. Dan sekarang, gara-gara ulah kamu ngejadiin aku jaminan hutang kamu, sekarang aku hamil. Tapi Pak Juna nggak mau tanggung jawab. Aku sampe diusir dari kontrakanku, Ardan!”
Ardan terdiam. Dia menatap tajam Anjani. “Itu bukan urusanku, oke! Kamu sendiri kan, yang bilang, kalo hubungan kita udah berakhir. Jadi kita udah nggak ada urusan lagi. Aku nggak mau tau urusan kamu, dan kamu juga nggak usah ngurusin urusan aku!”
“Masalah kamu hamil, itu pun juga bukan urusanku. Juna yang ngehamilin kamu, jadi seharusnya dia yang tanggung jawab. Masa dia mau enaknya doang. Ufff … kamu juga keenakan, kan? Hahaha ….” Setelah mengatakan itu, Ardan berlalu dan membawa mobil dengan kecepatan tinggi.
Tangis Anjani kembali pecah. Lagi dan lagi kata-kata hinaan yang menjatuhkan harga diri didengarnya. Hatinya sungguh terluka. Dia menatap kepergian Ardan dengan deraian air mata. Tubuhnya sudah menggigil kedinginan. Hujan deras masih setia mengguyur tubuhnya.
Anjani melangkah gontai menuju pinggir jembatan. Dia duduk sambil memeluk lutut. Dirinya tak ubah seperti gelandangan, yang tak memiliki tempat tinggal, tak memiliki uang, dan bahkan identitas. Dia diusir secara paksa hingga tak membawa apa-apa selain pakaian yang melekat di tubuhnya.
Tangannya meraba perut, di mana benih yang tak pernah diinginkan bersemayam. Dia dinodai secara paksa, hingga mengakibatkan dirinya mengandung. Anjani meremas kuat perutnya. ‘Bayi yang kukandung ini, memang hasil petaka, karena aku dinodai secara paksa oleh Pak Juna. Namun, karena keegoisannya, aku tidak mendapatkan keadilan. Dia lepas dari tanggung jawab.’
‘Jika aku menuruti keinginannya untuk menggugurkan kandunganku, itu artinya aku sama jahat dan biadab seperti dirinya yang tidak mau bertanggung jawab. Jadi, mau tidak mau, aku harus tetap merawat kandunganku hingga lahir.’ Anjani bangkit, tetapi dia kehilangan keseimbangan. Matanya berkunang-kunang hingga jatuh tak sadarkan diri.
Di lain tempat. Di rumah mewah nan megah milik keluarga Mahendra Atmaja. Pagi itu seluruh anggota keluarga Atmaja tengah menikmati sarapan bersama. Pemandangan keluarga harmonis sungguh terpancar melihat kebersamaan mereka.
Mahendra Atmaja—ayah Juna. Janetta Mahendra Atmaja—ibu Juna. Jasmine Mahendra Atmaja—adik Juna. Dan Juna Mahendra Atmaja. Mereka berempat duduk rapi saling berhadapan sembari menikmati sarapan pagi.
“Juna, bagaimana dengan cabang-cabang perusahaan keluarga kita, apakah ada kendala?” Mahendra membuka percakapan di sela-sela kunyahannya.
“Semua baik-baik saja, Pa. Semua cabang perusahan di berbagai kota dan provinsi, semuanya berjalan lancar. Papa tenang saja, aku bisa menangani semuanya dengan baik.” Juna menjawab seraya menatap sang papa.
“Syukurah kalau seperti itu. Karena papa sudah semakin tua, jadi sudah tidak bisa menghandle perusahaan seperti dulu lagi. Dan kamu, Jasmine. Bagaimana kuliah kamu, apa semuanya lancar? Kuliah yang benar, supaya nanti kamu bisa membantu kakak kamu mengurusi perusahaan keluarga kita. Itu perusahaan warisan dari kakek kalian, jadi harus tetap dijaga dan dilanjutkan.”
Uhuk! Uhuk!
Jasmine tersedak hingga terbatuk-batuk. Janetta segera memberikan minum sambil menepuk-nepuk pelan punggung sang putri. Jasmine langsung menenggak habis satu gelas air. Matanya sampai berair.
“Hati-hati, Nak. Pelan-pelan.” Janetta mengusap-usap punggung Jasmine.
“I-iya, Ma. Ma-maaf. A-aku tidak hati-hati.” Jasmine tergagap-gagap.
Juna hanya menatap sekilas pada sang adik, lalu kemudian kembali fokus pada makanannya. Mahendra menatap sang putri sambil tetap melanjutkan sarapannya.
“Jasmine, kamu belum menjawab pertanyaan papa.” Mahendra menatap Jasmine.
“I-iya, Pa. Se-muanya baik dan lan-car.” Jasmine menunduk.
“Mengapa kamu gugup begitu, Jasmine. Ada apa?”