Syarat dan Ketentuan Berlaku

1225 Kata
Aroma sabun beraroma teh hijau dan melati menguar dari tubuhnya, sebuah sensasi bersih dan segar yang kontras dengan kelelahan mental yang masih menggelayutinya. Baru saja ia menyelesaikan mandi air hangat yang panjang, mencoba membilas bukan hanya debu jalanan, tapi juga sisa-sisa ketegangan dari konfrontasi terakhirnya. Rambutnya yang kini berwarna terang ia bungkus dengan handuk, membiarkan tetesan air membasahi kaus kebesaran yang ia kenakan. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, ia merasakan sebuah kemewahan sederhana: waktu yang sepenuhnya miliknya, di sebuah ruang yang juga miliknya. Kakinya melangkah tanpa alas di lantai kayu paviliun yang dingin. Sunyi. Hanya ada suara lemari es yang berdengung pelan di sudut. Ia membuka pintu kulkas yang masih setengah kosong itu, hendak mencari sesuatu yang bisa ia masak. Mungkin telur dadar dan nasi hangat. Sebuah menu sederhana untuk merayakan hari pertama dari kemerdekaannya. Perutnya mulai terasa lapar, sebuah pertanda baik setelah seharian kemarin dipenuhi oleh emosi yang membunuh selera makannya. Namun, saat ia sedang menimbang-nimbang antara mi instan atau telur, sebuah suara kunci yang diputar di pintu depan membuatnya seketika membeku. Tubuhnya langsung bereaksi, sebuah refleks yang tertanam dari tahun-tahun pelatihannya. Punggungnya menegang, matanya menyapu sekeliling mencari 'senjata' terdekat—sebuah pisau dapur atau botol saus. Namun, kewaspadaan itu segera mencair menjadi kelegaan saat pintu terbuka dan sosok yang sangat ia kenal melangkah masuk. "Udah makan?" Daniel muncul, membawa dua kantong plastik besar berisi kotak-kotak makanan. Ia tersenyum saat melihat Sherin berdiri kaku di depan kulkas yang terbuka. Seolah bisa membaca pikirannya, ia meletakkan kantong-kantong itu di meja makan kecil. Ia memang punya kunci rumah itu, sebuah tanda kepercayaan dan kepemilikan yang diam-diam Sherin nikmati. Melihat kehadiran Daniel yang tiba-tiba, Sherin merasa sedikit kelabakan. Ia merapikan handuk di kepalanya dan menutup pintu kulkas dengan canggung. Ia baru saja selesai mandi, masih dalam kondisi paling pribadinya, dan belum siap untuk 'tampil'. Tapi Daniel datang bukan untuk menuntut, melainkan untuk memberi. Aroma sedap dari masakan Italia—pasta, sepertinya—mulai menguar dari dalam kantong. Ya, seperti biasa, lelaki ini memiliki tingkat kepekaan yang selalu terasa menakjubkan. Ia tahu Sherin tidak akan punya tenaga untuk memasak. Ia tahu apa yang harus dilakukan tanpa perlu diminta. Sebuah senyum yang tulus dan sumringah akhirnya merekah di wajah Sherin, mengusir sisa-sisa kelelahannya. Ia berjalan mendekati meja, mengintip isi kantong seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah. "Aku pikir kamu butuh asupan energi setelah perang dunia kemarin," kata Daniel sambil mulai mengeluarkan kotak-kotak makanan dan menatanya di atas meja. Sherin hanya tertawa kecil. Perasaannya menghangat. Inilah yang ia inginkan. Perhatian sederhana yang terasa tulus. Mereka makan dalam diam yang nyaman selama beberapa menit, hanya ditemani suara denting garpu dan sendok. Setelah menghabiskan beberapa suap fettuccine carbonara yang terasa begitu lezat, Daniel membuka percakapan lagi, kali ini dengan nada yang lebih serius namun tetap santai. "Jadi gimana? Tawaran mamaku?" Daniel bertanya kembali, pertanyaan yang sama untuk yang kesekian kalinya dalam seminggu terakhir. Ya, soal meneruskan atau setidaknya membantu mengelola bisnis fashion milik ibunya. Sebuah butik gaun-gaun pesta kelas atas yang mulai kewalahan diurus. Logika Daniel sederhana: Sherin adalah putri dari Tiara Adhiyaksa, seorang desainer muslimah kaliber internasional. Jadi, paling tidak, Sherin pasti punya sedikit pengetahuan atau bakat turunan di bidang itu. Sebuah asumsi yang terdengar masuk akal, namun terasa begitu jauh dari kenyataan bagi Sherin. Toh, Sherin sudah memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya di badan intelijen sejak sebulan lalu, meski memang belum secara resmi. Prosesnya ia mulai dengan mengatakan pada tantenya, Rain, bahwa ia ingin mengambil cuti panjang. Ia beralasan ingin rehat dan fokus beribadah selama bulan Ramadan kemarin. Sebuah kebohongan yang rapi. Padahal, waktu rehat itu ia gunakan untuk menyusun strategi, mencari tempat tinggal ini, dan mempersiapkan mentalnya untuk pergi tanpa pamit, membakar semua jembatan di belakangnya. "Tapi aku gak begitu paham soal fashion." Akhirnya ia jujur, setidaknya setengah jujur. Isi kepalanya berputar, mengingat kembali cemoohan para sepupunya yang bawel setiap kali ada acara keluarga. "Kak, selera lo tuh aneh banget, deh," atau "Ya ampun, baju lo kayak mau rapat di kelurahan." Ia tentu tak akan pernah menceritakan ini pada Daniel, karena Daniel pasti hanya melihat gaya pakaiannya yang sekarang—gaya yang sebetulnya ia tiru dari majalah dan media sosial, bukan dari pemahaman mendalam. Maklum, bertahun-tahun hidupnya terperangkap dalam dunia pesantren dan Gontor yang tak mengenal tren fashion. Begitu keluar dari sana, ia malah terjun ke dunia intelijen yang menuntutnya untuk bisa membaur dan tidak menarik perhatian. Fashion adalah bahasa asing yang tak pernah benar-benar ia pelajari. "Gak apa-apa. Kamu bisa belajar. Aku yakin kamu punya bakat," jawab Daniel dengan penuh keyakinan, menyela lamunan Sherin. Senyumnya begitu meyakinkan, membuat keraguan Sherin terasa konyol. Sherin hanya bisa mengangguk-angguk, tak ingin merusak keyakinan Daniel padanya. Ia tak yakin sama sekali pada dirinya sendiri, tapi ia juga tak mau jujur sepenuhnya. Jadi, ia memilih untuk kembali melahap makanannya, membiarkan kelezatan pasta itu membungkam keraguannya untuk sementara. Setelah piring mereka hampir kosong, Daniel menyandarkan punggungnya di kursi. "Ah ya, laptopmu sudah ku hancurkan." Kalimat itu diucapkan dengan nada yang sama santainya seperti saat ia menawarkan makanan tadi. Sherin hanya mengangguk lagi, kali ini dengan perasaan yang lebih kompleks. Ia tahu itu perlu dilakukan. Laptop lamanya berisi terlalu banyak data, bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga jejak digital yang bisa dengan mudah dilacak oleh keahlian orang-orang di lingkar keluarganya, terutama Om Farrel. Kehancuran laptop itu adalah sebuah keharusan demi keamanannya. Namun tetap saja, ada rasa aneh saat mendengar seluruh data hidupnya dalam beberapa tahun terakhir telah musnah. "Hapemu bagaimana?" tanya Daniel lagi. Sherin tersenyum miring, ada kilat kenakalan di matanya. "Tadi sepertinya sudah berenang di dalam septic tank." Daniel tak bisa menahan tawanya. Ia terbahak keras, suara tawanya yang renyah dan lepas memenuhi paviliun yang sunyi itu. Sebuah suara yang membuat Sherin ikut tersenyum. Ia suka tawa itu. Tawa yang seolah merayakan pemberontakan mereka bersama. Walau ia sungguh senang, kini ia benar-benar terputus dari dunia lamanya. Tak ada lagi kontak, tak ada lagi jejak. Tawa Daniel mereda, tapi senyumnya masih tersisa. Tatapannya melembut, kini penuh dengan emosi yang berbeda. "Sudah siap hidup bersamaku?" Pertanyaan itu, meski sederhana, memiliki bobot yang luar biasa. Sherin hanya bisa membalasnya dengan senyuman kecil, sebuah senyuman yang menyimpan sejuta jawaban. Ia merasakan tangan Daniel yang hangat meraih tangannya di atas meja, menggenggamnya dengan erat. Jari-jari mereka bertautan. Dan di sanalah ia merasakannya lagi. Debaran familiar itu. Debar jantung yang dibuat gugup dan bersemangat oleh kehadiran Daniel. Inilah yang ia suka. Inilah yang ia kejar. Rasa diinginkan, rasa dipilih, rasa yang membuat darahnya berdesir. "Aku siap," bisiknya, lebih pada dirinya sendiri. Daniel tersenyum lebih lebar, matanya berbinar. Ia meremas genggaman tangan Sherin dengan lembut. Suasananya terasa sempurna, sebuah awal yang manis untuk babak baru kehidupan mereka. "Dan aku udah daftarin sih kamu buat ikut kelas nyanyi," lanjut Daniel dengan nada ringan, seolah itu adalah detail kecil yang tak penting. "Minimal kalau mau masuk Katolik, harus bisa nyanyi dulu lah." Waktu seolah berhenti. Senyum di wajah Sherin membeku. Genggaman hangat di tangannya tiba-tiba terasa dingin. Potongan ayam di mulutnya yang belum sempat ia telan, mendadak terasa seperti batu. Udara di paru-parunya seperti tersedot keluar. Kelas nyanyi? Masuk Katolik? Dua frasa itu berdengung di telinganya seperti lebah yang marah, tidak sinkron dan terasa begitu asing. Ia kaget. Jantungnya yang tadi berdebar karena cinta, kini berpacu karena syok. Ia terbatuk-batuk hebat, mencoba mengeluarkan makanan yang menyangkut di tenggorokannya, matanya membelalak menatap Daniel, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN