Firasat Seorang Ibu

1158 Kata
Firasat seorang ibu adalah sebuah entitas yang aneh. Ia tidak bekerja dengan logika, tidak pula bisa diukur dengan nalar. Ia adalah bisikan lirih di tengah keramaian, sebuah getar samar di dalam hati yang datang tanpa diundang, membawa pesan yang seringkali lebih akurat daripada seribu kata penjelasan. Dan pagi ini, di hari Idul Fitri yang seharusnya penuh dengan suka cita, firasat itu sedang mencengkeram hati Tiara Adhiyaksa dengan begitu erat, membuatnya sulit untuk bernapas. Semuanya dimulai sejak fajar. Pagi itu, saat ia dan suaminya, Izzan, bersiap untuk berangkat salat Ied, tangannya secara otomatis meraih ponsel untuk mengirimkan pesan ucapan selamat Lebaran pada putri sulungnya. Sebuah tradisi kecil yang selalu mereka lakukan. Namun, pesannya hanya centang satu. Ia mencoba menelepon. Panggilan itu bahkan tidak masuk. Mungkin baterainya habis, pikirnya mencoba positif. Tapi saat ia mencoba lagi satu jam kemudian, lalu satu jam lagi setelahnya, dan hasilnya tetap sama, benih-benih kecemasan itu mulai tumbuh, akarnya menjalar cepat dan mengikat perutnya hingga terasa mulas. Di tengah kemegahan rumah Daddy-nya, Feri Adhiyaksa, di Depok, di mana seluruh klan Adhiyaksa dan Manggala berkumpul, Tiara seharusnya menjadi salah satu nyonya rumah yang paling bahagia. Ia mengenakan kaftan sutra berwarna zamrud hasil rancangannya sendiri, riasannya sempurna, senyumnya tak pernah lepas dari bibir. Namun, semua itu hanyalah sebuah fasad, sebuah pertunjukan yang ia mainkan dengan sangat baik. Di balik senyumnya, pikirannya melayang jauh ke sebuah rumah kecil di sudut kota lain, tempat putrinya seharusnya berada. "Kenapa Sherin belum bisa dihubungi juga, Mas?" bisiknya pada Izzan saat mereka berhasil menemukan momen berdua di dekat kolam renang. "Aku khawatir. Apa kita suruh Haykal ke sana saja untuk memastikan?" Haykal, putra bungsu mereka yang kini sedang asyik bercanda dengan para sepupunya, adalah pilihan yang logis. Tapi Izzan, dengan ketenangannya yang kadang membuat Tiara frustrasi, menggeleng pelan. Tangannya menggenggam lembut tangan Tiara, mencoba menyalurkan kedamaian. "Sabar, Dek. Mungkin mereka masih di jalan, atau sedang bersiap--siap. Jangan membuat keributan di hari bahagia ini. Nanti juga mereka datang," ucap Izzan, suaranya menenangkan. Tiara menarik napasnya, mencoba menyerap ketenangan suaminya, namun gagal. Ini bukan karena ia tak percaya pada menantunya, Aksara. Lelaki itu, sejak awal, telah menunjukkan integritas dan kesabaran yang luar biasa. Tiara justru tidak percaya pada anaknya sendiri. Pada Sherin. Karena firasatnya yang buruk pagi ini bukanlah tanpa dasar. Ia punya alasannya. Selama setahun belakangan, telinganya sudah cukup panas mendengar berbagai informasi yang datang dari keponakan atau para sepupunya. Ada yang melihat Sherin makan siang dengan seorang lelaki yang jelas bukan Aksara. Ada yang tak sengaja memergokinya di bioskop. Informasi-informasi fragmentaris yang ia kumpulkan menjadi sebuah mozaik kekhawatiran yang besar. Namun, sejauh ini, ia selalu memilih untuk diam. Ia menahan diri untuk tidak ikut campur, berpikir bahwa itu adalah riak-riak kecil dalam sebuah pernikahan baru. Selama Aksara tidak mengeluh dan rumah tangga mereka tampak baik-baik saja dari luar, ia akan menjaga kehormatan putrinya. Tapi hari ini, di hari Lebaran ini, saat Sherin menghilang tanpa kabar, semua kekhawatiran yang ia tekan itu kini meledak menjadi kepanikan sunyi. Meski mereka sedang berkumpul untuk merayakan hari kemenangan, meski di sekelilingnya ada tawa dan kebahagiaan, hati Tiara penuh gelisah. Ia tidak bisa menikmati opor buatan Mommy Saralee, tidak pula bisa tertawa lepas mendengar lelucon Om Fadli. Pikirannya hanya satu: Sherin. Makanya, begitu salat Zuhur usai dan acara makan siang bersama selesai, ia menarik lengan Izzan. "Mas, kita pamit pulang duluan, ya? Aku kurang enak badan," bisiknya, sebuah alasan yang tidak sepenuhnya bohong. Begitu masuk ke dalam mobil mewah mereka yang senyap, Tiara tak bisa lagi menahannya. Kegelisahan itu tumpah menjadi sebuah usulan. "Atau kita mampir aja, Mas, ke rumah menantu kita?" tawarnya, matanya penuh harap. Ia hanya butuh satu pemandangan-melihat mobil Sherin terparkir di sana-untuk bisa bernapas lega. Tapi tentu saja, Izzan menolaknya dengan kelembutan yang khas. "Dak apa, Dek. Kan tadi pagi, Aksara juga sudah menelepon akan datang ke rumah sore ini. Jadi sabar lah. Kita pulang saja ke rumah. Beri mereka waktu." Ya, pulang. Pulang ke rumah mereka sendiri di Tangerang dengan perjalanan panjang dari Depok, membawa serta segumpal kecemasan yang semakin membesar di setiap kilometer yang mereka tempuh. Tiara bersandar di jendela, menatap jalanan yang ramai dengan mobil-mobil keluarga lain yang akan bersilaturahmi. Mereka semua tampak bahagia. Hanya dirinya yang merasa sedang menuju sebuah medan perang yang tak terlihat. Menjelang sore, setelah salat Ashar, perasaan Tiara memang semakin menjadi-jadi. Rumah mereka yang besar dan megah terasa begitu kosong dan menakutkan. Ia mencoba menyibukkan diri, menata kue-kue Lebaran di stoples kristal, merapikan bantal-bantal sofa, tapi semua itu tak berhasil mengalihkan pikirannya. Setiap kali ada suara mobil yang melambat di depan rumah mereka, jantungnya berdebar kencang. Ia akan bolak-balik ke teras, mengintip dari balik pilar besar, hanya untuk mendapati bahwa itu bukan mobil yang ia tunggu. Rasa kecewa yang datang berulang kali itu mulai mengikis kesabarannya. Ia mondar-mandir seperti setrikaan. Dari ruang keluarga ke teras, dari teras kembali ke ruang keluarga. Izzan yang melihatnya hanya bisa menggelengkan kepala, memintanya untuk duduk dan berzikir, tapi Tiara tak bisa diam. Firasatnya semakin kuat, mengatakan bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi. Matahari mulai condong ke barat, menebarkan cahaya keemasan yang hangat, namun bagi Tiara, senja itu terasa dingin dan mengancam. Ia berdiri di teras untuk yang kesekian kalinya, menatap gerbang rumah yang masih tertutup rapat. Ia sudah hampir menyerah, hendak masuk kembali ke dalam rumah untuk menenangkan diri dengan segelas air hangat. Namun, tepat saat ia membalikkan badan, sebuah suara yang ia tunggu-tunggu akhirnya terdengar. Bukan, itu bukan hanya suara klakson biasa. Itu adalah pola klakson yang familier, pola yang biasa digunakan Aksara untuk memberi tanda saat tiba. Jantung Tiara seketika berhenti berdetak, lalu berdetak lagi dengan kecepatan dua kali lipat. Benar saja, beberapa detik kemudian, terdengar derit pelan dari mesin otomatis yang menggerakkan pintu gerbang hitam mereka yang menjulang tinggi. Pintu itu terbuka perlahan, menampakkan pemandangan jalan di luarnya. Tiara segera membalikkan badan sepenuhnya, matanya terpaku pada celah gerbang yang semakin melebar. Dadanya berdegup kencang, sebuah campuran antara harapan dan ketakutan yang luar biasa. Dan kemudian, mobil itu masuk. Sebuah sedan berwarna perak metalik yang sangat ia kenali. Itu jelas mobil menantunya. Mobil itu meluncur pelan di atas jalan paving blok halaman rumahnya yang luas, bergerak menuju teras utama tempat ia kini berdiri mematung. Napasnya tertahan di tenggorokan. Matanya memicing, mencoba menembus kaca depan mobil yang sedikit memantulkan cahaya senja. Ia mencari. Dengan segenap jiwa raganya, ia mencari sosok putrinya di kursi penumpang. Ia berdoa dalam hati, memohon agar ia bisa melihat siluet kepala berhijab yang ia kenal, mungkin sedang tertidur atau sedang bercanda dengan suaminya. Tapi yang ia lihat hanyalah satu. Satu siluet di balik kemudi. Hanya Aksara. Sendirian. Mobil itu berhenti tepat beberapa meter di hadapannya. Mesinnya masih menyala, namun keheningan yang tercipta terasa lebih pekak daripada suara mesin itu sendiri. Harapan yang tadinya sempat membuncah di d**a Tiara, kini pecah berkeping-keping, digantikan oleh kebenaran dingin yang menusuk langsung ke jantungnya. Firasatnya sepanjang hari ini ternyata bukanlah sekadar kekhawatiran kosong. Itu adalah sebuah peringatan. Dan kini, sang pembawa pesan dari peringatan itu telah tiba. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN