Di saat gema takbir terakhir mulai mereda dan digantikan oleh aroma opor yang menguar dari jendela-jendela tetangga, Sherin justru masih terlelap dalam tidurnya yang paling pulas. Di dalam paviliun kecilnya yang sejuk oleh pendingin ruangan, dunia luar seolah tak ada. Tak ada alarm yang disetel, tak ada kewajiban untuk bangun pagi demi membantu ibunya di dapur. Di sini, di dunia barunya, waktu berjalan sesuai kehendaknya. Ia lupa, atau lebih tepatnya, ia tak peduli, bahwa pagi ini adalah pagi hari kemenangan yang dirayakan oleh miliaran orang, termasuk seluruh keluarga yang namanya masih melekat di belakang namanya.
Tidurnya yang damai akhirnya terkoyak. Bukan oleh suara azan atau ketukan pintu, melainkan oleh getaran konstan dan dering nyaring dari ponsel yang tergeletak di nakas samping tempat tidur. Sebuah gangguan dari dunia yang sengaja ingin ia lupakan. Dengan mata yang masih setengah terpejam dan rasa kantuk yang memberontak, ia meraih benda persegi itu. Layarnya menyala terang, menampilkan sebuah nama yang membuatnya seketika terjaga. "Ami Calling...". Ia mendesah panjang, membiarkan panggilan itu berdering hingga mati dengan sendirinya. Namun, hening hanya bertahan sekejap. Kini nama "Baba" yang muncul, berkedip-kedip dengan kegigihan yang sama. Panggilan itu pun ia abaikan. Lalu kembali "Ami", kemudian "Baba", begitu terus silih berganti.
Sebuah pola yang sudah ia hafal. Mereka tidak akan menyerah. Tapi ia juga tidak akan goyah. Buat apa diangkat? Apa yang mau dibicarakan? Permintaan maaf? Ia tidak merasa bersalah. Nasihat? Ia sudah tak butuh lagi. Kemarahan? Ia sudah terlalu lelah untuk mendengarnya. Ia tahu, kabar tentang talak itu pasti sudah sampai ke telinga mereka entah bagaimana caranya. Mungkin suaminya—mantan suaminya—yang memberitahu. Mungkin kabar itu menyebar seperti api di dalam lingkaran keluarga besar mereka yang penuh intrik. Apapun itu, ia tidak peduli.
Dengan satu gerakan final yang terasa begitu membebaskan, ia menekan tombol daya di sisi ponselnya, menahannya beberapa detik, lalu memilih opsi "Matikan Daya". Layar itu meredup dan akhirnya padam. Hening. Keheningan yang sesungguhnya, yang ia ciptakan sendiri. Ia sedang tak ingin diganggu oleh siapa pun. Hari ini adalah miliknya.
Ia menggeliat, meregangkan tubuhnya di atas kasur yang terasa nyaman. Tak ada lagi kewajiban. Tak ada lagi peran yang harus dimainkan. Ia beranjak dari tempat tidur dengan malas, langkahnya terseret di lantai kayu yang dingin. Belum ada niat sedikit pun untuk mencuci muka atau menyikat gigi. Kakinya membawanya ke depan cermin besar yang sengaja ia letakkan bersandar di dinding. Ia ingin melihat dirinya, sosok yang baru saja membuat keputusan terbesar dalam hidupnya.
Di cermin, ia melihat seorang perempuan dengan wajah yang berantakan. Sisa air liur yang mengering di sudut bibir, mata yang sedikit bengkak karena tidur terlalu lama, kulit yang kusam tanpa polesan apa pun. Wajah yang jujur. Wajah yang lelah. Namun, saat pandangannya naik sedikit, ia melihat sesuatu yang lain. Rambutnya. Rambutnya yang kini berwarna ash brown dengan sentuhan highlight keperakan, tergerai indah membingkai wajahnya. Sebuah mahakota yang selama bertahun-tahun ia sembunyikan di balik lapisan kain. Rambut yang sama, yang beberapa hari lalu menjadi saksi dari sebuah validasi yang selama ini ia dambakan.
"Kamu cantik dengan rambut itu, Sher."
Ucapan Daniel beberapa hari lalu itu kembali terngiang di telinganya. Saat itu, di apartemen Daniel yang nyaman, untuk pertama kalinya ia memberanikan diri melepas hijabnya di hadapan lelaki itu. Ada rasa gugup, malu, tapi juga ada getar pemberontakan yang menyenangkan. Dan reaksi Daniel adalah segalanya. Lelaki itu tidak hanya memuji, tapi menatapnya dengan kekaguman yang tulus, seolah ia baru saja menemukan sebuah harta karun yang terpendam. Jarinya menyusuri helai rambutnya dengan lembut, dan saat itu Sherin merasa benar-benar "terlihat" sebagai seorang perempuan, bukan sebagai sebuah simbol kesalehan atau proyeksi harapan keluarga. Mendengar pujian itu jelas membuatnya terbuai. Pujian yang tak pernah ia dapatkan dari Aksara, yang selalu menatapnya dengan pandangan penuh pengertian yang membosankan.
Didorong oleh kenangan manis itu, matanya kini berbinar. Ia melupakan wajah kusamnya. Ia berbalik dan membuka pintu lemari pakaian yang baru ia isi. Di dalamnya, tergantung deretan baju baru yang sengaja ia beli secara online selama sebulan terakhir. Baju-baju yang selama ini hanya bisa ia simpan di keranjang belanja virtualnya. Baju-baju ala idola K-Pop, baju-baju yang merepresentasikan kebebasan.
Tangannya meraih sebuah oversized sweater berwarna lilac dan celana jeans high-waist berwarna terang. Ia mengenakannya dengan cepat. Lalu ia berdiri di depan cermin, berputar, meniru pose-pose yang sering ia lihat di Pinterest. Ia tersenyum pada bayangannya sendiri. Inilah dirinya yang baru. Santai, modern, dan bebas.
Belum puas, ia kembali ke lemari. Kini ia mengambil sebuah rok mini A-line dengan motif tartan, memadankannya dengan kaus hitam polos dan jaket kulit imitasi. Ia bahkan memakai sepatu bot yang baru ia beli. "Seperti mau nonton konser," gumamnya pada diri sendiri sambil tertawa kecil. Tawanya terdengar asing di dalam paviliun yang sepi itu. Ia melupakan bahwa di luar sana, orang-orang sedang bersiap untuk bersilaturahmi, mengenakan kaftan dan baju koko terbaik mereka.
Satu per satu, pakaian itu ia coba. Ada gaun bunga-bunga selutut dengan lengan balon yang manis. Ada setelan celana kargo berwarna khaki dengan atasan crop-top lengan panjang. Tentu, ia belum berani memilih yang terlalu terbuka. Masih ada sisa-sisa didikan lama yang membuatnya memilih atasan yang sopan atau celana yang tidak terlalu ketat. Tapi perubahan ini sudah lebih dari cukup untuk membuatnya merasa menjadi orang yang sama sekali berbeda.
Ia menari-nari kecil di depan cermin, menyetel lagu dari ponselnya yang lain—ponsel khusus untuk Daniel dan dunia barunya. Ia mencoba hampir delapan setel baju, kehilangan jejak waktu, terhanyut dalam euforia pribadinya. Setiap setelan adalah sebuah identitas baru yang bisa ia pakai dan lepas sesuka hati.
Dalam proses itu, ia berhasil melupakan segalanya. Ia melupakan pagi Idul Fitri yang seharusnya ia habiskan untuk meminta maaf pada orang tuanya. Ia melupakan acara kumpul keluarga besar Adhiyaksa di Depok, tempat di mana namanya pasti sedang menjadi topik utama perbincangan. Ia melupakan sosok Aksara yang mungkin kini sedang sarapan ketupat seorang diri. Ia melupakan keluarga yang sudah pasti mencarinya dengan cemas dan marah.
Ia melupakan semua itu demi sebuah kesenangan yang egois. Kesenangan menemukan kembali dirinya yang hilang, atau lebih tepatnya, menciptakan sesosok pribadi yang tak pernah diizinkan ada. Sebuah kesenangan yang terasa begitu nyata dan memuaskan saat ia menatap bayangannya di cermin, mengenakan setelan terbaiknya, dengan rambut tergerai indah. Sebuah kesenangan yang, tanpa ia sadari, hanyalah sebuah euforia yang sementara.
***