Lebaran Seorang Diri

1184 Kata
Pagi di hari Idul Fitri seharusnya beraroma kebahagiaan. Harumnya opor ayam yang baru matang, semerbak wangi pakaian baru, dan riuh tawa sanak saudara yang berkumpul untuk saling memaafkan. Seharusnya begitu. Tapi pagi ini, bagi lelaki bernama Aksara, udara yang ia hirup hanya terasa hampa, mengambang di dalam rumah yang terasa berkali-kali lipat lebih luas dari ukuran sebenarnya. Rumah ini benar-benar kosong. Bukan hanya kosong dari perabotan yang memang tak seberapa, tapi kosong dari nyawa, kosong dari kehadiran yang meski seringkali menyakitkan, tetaplah sebuah kehadiran. Dengan kemeja koko berwarna biru dongker yang masih terasa kaku—kemeja yang ia beli bersama ibunya bulan lalu saat beliau berkunjung—ia melangkah keluar. Sendirian. Ia menyalakan mesin mobilnya dan berangkat menuju masjid terdekat untuk menunaikan salat Idul Fitri. Sepanjang perjalanan singkat itu, matanya disuguhi pemandangan keluarga-keluarga yang berjalan kaki beriringan. Ayah menggandeng tangan anak laki-lakinya yang berpeci, ibu merapikan kerudung anak perempuannya. Pemandangan normal yang hari ini terasa seperti sayatan-sayatan kecil di hatinya. Di masjid, ia memasang topengnya yang paling sempurna. Senyumnya terkembang lebar, jabatan tangannya erat dan hangat. Sebagai anggota dewan yang dikenal ramah, ia adalah figur publik di lingkungannya. Ia harus memainkan perannya. Ia mengobrol dengan berbagai orang di sana, dari ketua DKM hingga bapak-bapak pensiunan yang menjadi konstituennya. Menanyakan kabar anak-anak mereka, mendoakan kesehatan mereka, semua dilakukan dengan fasih seolah hatinya tidak sedang remuk redam. Puncaknya adalah saat seorang wartawan dari portal berita lokal mencegatnya di pintu keluar. Dengan kamera ponsel yang sudah siaga, pemuda itu melontarkan pertanyaan-pertanyaan standar seputar makna Lebaran bagi seorang wakil rakyat. Aksara menjawabnya dengan lancar, merangkai kata-kata tentang pengorbanan, kemenangan, dan pentingnya kembali ke fitrah. Lalu, pertanyaan yang paling ia takuti pun datang. "Istrinya nggak ikut salat, Pak?" Jantungnya seolah berhenti berdetak sepersekian detik. Topengnya nyaris retak. Namun, otaknya yang terlatih segera mengambil alih. Ia tersenyum, senyum yang terasa sedikit lebih kaku dari sebelumnya. "Lagi berhalangan, Mas," jawabnya singkat, sebuah kebohongan putih yang terasa pahit di lidahnya. Setelah jawaban itu, wajahnya memang tak bisa menutupi kecanggungan. Ia merasa semua mata kini tertuju padanya, menghakimi. Tanpa menunggu pertanyaan lanjutan, ia segera pamit dengan sopan, berjalan cepat menuju mobilnya, dan menutup pintu dengan napas yang terengah-engah, seolah baru saja lari dari kejaran bahaya. Harusnya, setelah ini, pedal gas mobilnya ia arahkan menuju Depok. Menuju sebuah rumah besar yang pasti sudah riuh rendah dengan suara tawa dan obrolan. Rumah Opanya Sherin, Feri Adhiyaksa. Pusat dari klan Adhiyaksa dan Manggala yang sudah pasti berkumpul di sana, merayakan hari kemenangan dengan kemegahan dan kehangatan yang tak terbayangkan. Ia bisa membayangkan aroma masakan Ami Tiara, candaan Om Ando, dan wejangan bijak dari Baba Izzan. Harusnya ia ada di sana, memenuhi perannya sebagai seorang menantu. Tapi kakinya terasa seperti jeli, terlalu lemah untuk menempuh perjalanan itu, terlalu rapuh untuk menghadapi rentetan pertanyaan dan tatapan iba yang mungkin akan ia terima. Makanya, ia memilih jalan yang paling pengecut sekaligus paling menenangkan: ia pulang. Di rumah yang sunyi, ia membuka tudung saji di atas meja makan. Hanya ada lauk pauk yang dikirim oleh sang mertua, Ami Tiara, kemarin pagi. Rendang, opor ayam, dan sambal goreng hati. Di rantang lain, ada pempek dan malbi kiriman orang tuanya yang tinggal di Palembang. Sebuah perpaduan masakan yang ironis, simbol dari dua keluarga yang berusaha ia satukan namun gagal total. Ia mengambil piring, menyendokkan ketupat dan sedikit lauk, lalu makan dalam keheningan yang memekakkan telinga. Setiap suap terasa hambar, hanya formalitas untuk mengisi perut yang sebetulnya tak merasakan lapar. Saat sedang merapikan piring kotor, ponselnya berdering. Nama "Mama" tertera di layar. Hatinya mencelos. Ia menarik napas panjang sebelum menggeser ikon hijau. "Assalamualaikum, Sar. Selamat Lebaran, Nak. Minal aidin wal faizin, ya," sapa suara lembut dari seberang. "Waalaikumsalam, Ma. Sama-sama, Aksara juga minta maaf lahir batin," jawabnya, berusaha terdengar ceria. "Sudah makan? Sherin masak apa hari ini?" Sebuah pertanyaan polos yang terasa seperti tamparan. "Ini lagi makan masakan Ami, Ma. Banyak banget dikirimin kemarin." "Oh, syukurlah. Mana Sherin? Mama mau video call, mau lihat menantu Mama yang cantik itu pakai baju Lebaran warna apa." Permintaan itu membuat dunianya seolah berguncang. "Aduh, Ma, jangan video call dulu. Sinyal lagi jelek di sini. Sherin lagi di kamar mandi, lagi siap-siap mau ke rumah Opanya." Lagi-lagi kebohongan. Rentetan dosa kecil yang ia ciptakan untuk menutupi satu kehancuran besar. Ia menolak panggilan video dengan berbagai alasan, hingga akhirnya sang ibu menyerah dan mereka hanya bercakap melalui panggilan suara. Tentu saja, sepanjang obrolan, mamanya terus bertanya di mana keberadaan menantunya. Dan ia, dengan sekuat tenaga, mati-matian mengalihkan pembicaraan ke topik lain—kesehatan Papa, kabar adik-adiknya, apa saja asal bukan tentang Sherin. Ia jadi teringat percakapannya dengan ibunya lebih dari setahun yang lalu, di teras rumah mereka di Palembang saat ia pulang untuk meminta restu. Ia bilang ingin meminang Sherin, gadis yang ia kenal dari sebuah acara seminar kampus dan langsung membuatnya jatuh hati. Ibunya terdiam lama. Wajahnya menunjukkan keberatan yang tak terucap, tapi beliau tak bisa menolak keinginan putra satu-satunya. Saat Aksara bertanya mengapa, ibunya tak bisa memberikan jawaban yang pasti. "Bukan karena dia tidak baik, Nak," kata ibunya waktu itu, matanya menerawang. "Dia cantik, dari keluarga yang sangat terpandang. Tapi entah kenapa, perasaan Ibu nggak enak. Hati Ibu nggak sreg." Sesuatu yang abstrak, sesuatu yang ia abaikan saat itu karena dianggap sebagai kekhawatiran seorang ibu yang berlebihan. Tapi tampaknya, perasaan seorang ibu itu adalah firasat yang kini terjadi. Setiap detailnya. Tentu saja ia tak jujur dengan apa yang terjadi di sini. Ia tak sanggup membayangkan hancurnya hati ibunya jika tahu pernikahan yang baru seumur jagung ini sudah karam. Ia hanya memohon doa agar diberi kesehatan, rezeki, dan kekuatan. Lalu, sebelum ibunya sempat kembali bertanya tentang keberadaan istrinya, ia buru-buru mematikan telepon. Ya, mantan istri maksudnya. Kata itu masih terasa asing dan menyakitkan. Saat ia termenung dalam keheningan setelah mematikan telepon, ponselnya kembali bergetar dan berdering, memecah lamunannya yang getir. Kali ini, sebuah nama tertera di layar yang merupakan sumber dari segala kegelisahannya sejak semalam. Nama yang paling ia hormati sekaligus paling ia hindari saat ini. Baba Izzan. Seketika, pertahanannya runtuh. Sebelum sempat otaknya memerintahkan jarinya untuk menjawab, bendungan air matanya jebol. Satu tetes jatuh membasahi layar ponsel, lalu disusul tetesan lain. Ia menangis tanpa suara, bahunya bergetar hebat. Ia membiarkan dirinya tenggelam dalam kepedihan itu selama beberapa detik. Tapi ia lelaki. Ia seorang pemimpin. Ia harus gentle, bukan? Kalau ia yang datang baik-baik menikahi anak gadisnya, maka ia juga yang harus bertanggung jawab mengembalikannya dengan cara yang baik, bukan? Ia menyeka air matanya dengan kasar. Menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan sisa-sisa suaranya yang tercecer. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menggeser ikon hijau. "Assalamualaikum, Ba," sapanya, suaranya serak. "Waalaikumsalam, Sar. Minal aidin, ya." Suara di seberang terdengar hangat seperti biasa, namun Aksara bisa menangkap nada tanya di dalamnya. "Udah di mana, Sar?" Pertanyaan yang wajar. Wajar sekali. Karena keluarga lain pasti sudah berkumpul di rumah besar itu sejak pagi. Hanya ia, sang menantu, yang tak menunjukkan batang hidungnya. Aksara hanya bisa kembali menarik napas, mencoba mencari rangkaian kata yang paling tepat. "Insya Allah nanti sore, Aksara temui Baba." Hanya itu yang sanggup ia katakan. Sebuah janji untuk menghadapi pengadilan yang paling berat dalam hidupnya, sendirian. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN