Aku menatap sebuah meja yang hampir sama dengan meja resepsionis di lantai dasar. Entah bagaimana ruangan itu disulap menjadi tempat mirip front office hanya dalam beberapa hari. aku yakin saat hari jum’at kemarin aku bekerja di tempat Nashby, ruangan ini belum terlihat mewah seperti ini. Selain bentuknya yang berbeda, aku juga melihat ada tiga kursi disana. Kalau aku sendirian, untuk apa meja resepsionis sepanjang ini.
“Gue jelasin singkat dulu ya, Sha. Habis ini baru lo bisa tata semua barang lo,” ucap Dimas yang hanya ku angguki saja.
“Jadi nanti lu bakal punya dua ruangan. Yang ini ruangan utama lo sama dua orang yang lain.. terus..”
“Eh bentar, Pak. Saya nanti gak sendirian.”
“Hmm.. Kaaann.. Makanya Alshaaa.. jangan kebiasaan motong. Dari kemarin gue mau bilang sama lo, kalau bakal ada dua orang lagi yang bantu lo disini. Kebiasaan motong sih.”
“Hehe.. Maaf, Pak.”
“Ck! Udah nih. Jangan sela gue, sampe gue selesai ngomong ya? Oke?”
Aku kali ini hanya bisa mengangguk dan menyadari kesalahanku, bahwa aku kebanyakan tanya sebelum kalimat orang yang bicara denganku selesai dan menemukan tanda titik.
“Nanti ada Ika sama Dewa yang bakal bantu lo disini. Ika lulusan hukum, dia bakalan bantu lo soal supporting di kantor terkait hukum sama tata kelola karyawan. Sedangkan Dewa nanti bakal bantu lo soal operasional dan lapangan. Lo bakalan di bantu mereka supaya tugas lo gak banyak yang numpuk. Paham?”
“Paham, Pak. Terus saya ngapain?” Aku bertanya karena merasa harus jelas dengan jobdesk yang aku lakukan, sebelum nanti malah bertumpuk pekerjaannya satu sama lain dan malah lebih tidak efektif.
“Lo bakal jadi sekretaris utama Nash untuk atur jadwal, cek dokumen confidential terutama soal keuangan, dan ya pokoknya segala yang berhubungan dengan Nash yang urus ya elo. Oh iya, dua anggota yang baru itu juga termasuk tanggung jawab lo buat pembagian tugas.”
Glek!
Aku menelan ludah kasar.
Aku? Aku yang masih muda belia, tidak banyak pengalaman ini mengurus Nashby? Beneran? Dan aku harus bertanggung jawab atas dua rekan kerjaku yang lain? Apa mereka tidak salah memilihku?
“Hoi! Jangan melamun Alsha. Ayo.. ayo.. kamu kebanyakan ngelamun deh dari kemarin.”
“Eh, iya.. Maaf Pak. Emh, Pak. Beneran itu jobdesk saya?”
“Iya dong. Beneran. Fokus ya Sha. Sekarang lo pindahin dan tata dulu barang-barang lo disini. Gue mau ngobrol dulu sama Nash. Oke?”
“Oke Pak,” ucapku sambil membentuk huruf dari ibu jari dan jari telunjukku.
“Sip!” ucapnya sambil berlalu menuju ruangan Nashby. Aku hanya bisa menghembuskan nafas kasar. Tanggung jawabku makin besar saja. masih banyak pertanyaan yang menghinggapi kepalaku. Terutama, kenapa harus aku?
Sudahlah, seperti kata Dimas. Aku harus segera berbenah dan fokus! Fokus Alshamira! Setelah aku menata barang-barangku, aku kembali menuju ruanganku untuk mengambil barang-barangku yang tertinggal.
Baru saja aku akan memasuki ruanganku, kini aku kembali mendengar orang bergunjing dari dalam ruanganku dengan menyebut namaku. Lagi-lagi aku harus mengurungkan niatku untuk masuk ke ruangan dan mendengarkan orang lain berbicara di belakangku. Apalagi yang akan Tuhan buka di hadapanku kali ini?
“Gila sih, Alsha. Bisa ya dia langsung naik gitu karirnya.” Aku hapal ini pasti suara Ratna.
Aku menahan nafas sepersekian detik, bersiap menerima apapun yang akan dikatakan oleh orang-orang yang tak pernah kucurigai akan membicarakanku dibelakang.
“Ya gitu, kita yang kerja banting tulang dari jaman megalitikum. Dia yang naik jabatan,” ucap Iqbal dengan sinis.
“Lo pernah mikir gak, sih. Selama ini Alsha di ruangan si Bos ngapain? Secara kan di tutup kaaann ruangannya. Coba lo pikir deh?” ucap Ratna yang terdengar julid sekali.
“Ya .. apalah kita yang udah bangkotan kayak gini, Say!” suara Mbak Fika yang tidak ku sangka ikut menimpali ucapan Ratna dan Iqbal diiringi dengan kekehan yang terdengar mengejek.
“Oh my Goooddd.. sampai gitu shaaayyy, cari duit.”
“Lu kayak enggak ajaaa?” ucap Iqbal sambil terkekeh di akhir kalimatnya.
“Gue kurang cantik apa ya, sampe bos-bos pada gak ketarik sama gue. Apa gue kurang bohay?” ucap Ratna yang sukses membuatku naik pitam.
Aku mengatur nafasku walaupun aku yakin kemejaku kini telah kusut karena sudah kuremas kuat. Aku menabahkan hatiku untuk mendengar sejauh apa mereka akan membicarakanku.
“Gue tuh, udah menduga pas di akun julidta media sosial nampilin fotonya. Bodynya itu, ngenalin banget kalo itu Alsha. Gila, dia kemarin masih nata rambutnya kayak gitu. Mau pamer apa gimana?! 'Hai gaes! Aku berhasil menggaet bos gaes. Bos gula aku!',” ucap Iqbal yang tiba-tiba nadanya jadi melambai.
Dadaku sudah sesak rasanya. Remuk redam mendengar semua ucapan mereka. Tega sekali mereka berpikir sangat jauh seperti itu.
Dengan gemetaran menahan air mata yang sudah akan jatuh, aku membuka ponselku dan mencari akun yang disebut mereka ke dalam sosial media. Benar saja, fotoku dengan pose menutup muka dari blitz terpampang disana. Aku juga baru menyadari bahwa Nashby terlihat merengkuhku dengan mesra disana. Aku sudah tidak bisa lagi mengontrol raut muka dan mataku yang kini mulai mengeluarkan bulir-bulir bening.
Apa sih yang mereka pikirkan tentangku? Kenapa tidak langsung bertanya denganku. Minimal gak perlu mereka ngobrol dengan gaduh di ruangan. Pakai aja aplikasi pesan supaya aku tidak perlu tahu pikiran kotor mereka. Aku sudah tidak bisa mendengarkannya lagi. Aku segera berlalu menuju ruangan pantry yang berada di lantai yang sama dengan ruangan Nashby.
Aku terduduk di meja panjang itu dan menatap keluar jendela yang besar yang menunjukkan pemandangan kota Jakarta pagi itu. Aku tidak bisa jika tidak menangis. Rasanya semua orang sudah membicarakanku sekarang. Teman Nashby, teman kantorku, aku gimana? Aku tidak punya siapa-siapa. Aku merantau disini sendiri. Kalau sudah begini, aku harus kemana? Aku terisak lirih.
“Alsha..” panggil laki-laki yang aku tahu itu suara berat khasnya.
Aku buru-buru mengusap seluruh air mata yang ada di wajahku dengan kasar.
“Hey.. Kenapa Sha? Hah? Kamu habis jatuh? Kenapa? Ada apa?” ucap Nashby dihadapanku dengan panik sambil memegangi pundakku dan berusaha melihat wajahku.
Aku menunduk dalam dan semakin menangis. Aku butuh teman cerita dan yang datang adalah sumber masalahnya. Tidak mungkin aku bercerita padanya kan? Aku mulai sesenggukan dan entah apa yang ada dipikiran laki-laki ini. Dia memelukku dan membuat kepalaku terbenam di ceruk lehernya.
Harum tubuhnya kini menguasai indra penciumanku. Sesaat aku tenang dan ingin mengenyahkan pikiran tentang dia yang menjadi sumber masalah. Aku memang tidak pernah mengharapkan untuk bisa sedekat ini denganmu Nash. Bukan salahku juga kan atas kejadian yang akhir-akhir ini terjadi. Semua diluar kendaliku sebagai manusia. Aku hanya menjalankan tugasku sebagai bawahanmu, Nash. Terlepas aku menjadi pengagummu atau tidak.
Ia melepaskan pelukannya di tubuhku lalu menyangga tubuhku dengan kedua tangannya. Aku yang sudah agak tenang kini saling menatap dengan Nashby.
“Kenapa Sha? Kamu bisa cerita sama saya.”
“Kenapa saya, Pak? Kenapa saya yang gantiin Pak Dimas.”
Nashby menghela nafas panjang, "karena aku tau kompetensi kamu. Kamu yang kerja sama aku selama sebulan ini. Jelas aku pilih kamu. Semua berdasarkan penilaian objektif dan aku udah diskusi dengan banyak pihak untuk milih kamu. Kenapa?”
“Bapak bisa pilih karyawan yang lain, Pak.”
“Bisa.. tapi rekomendasi Hans itu kamu. Saya pilih kamu itu gak ada niat jelek apapun, Sha. Kenapa sih? Di luar rame ngomongin kamu?”
Aku hanya mengangguk berusaha untuk tidak lagi menangis dan mengelap dengan sembarangan ingus di wajahku. Sungguh tidak tahu malu!
“Sha, di dunia ini gak semua orang suka kita. Kamu tahu kan?”
“Tapi.. gak ada yang suka sama saya Pak,” ucapku yang kini malah terdengar seperti aduan kepada induknya. Aku menatap Nashby ingin melihat sambil menahan air mata yang akan jatuh lagi.
“Saya, Hans, Dimas.. kami suka sama kamu. Jangan berhenti cuma gara-gara omongan orang, Sha. Atasan kamu itu saya. Kalau kamu ngeraguin diri kamu sendiri, sama aja kamu ngeraguin saya. Paham? Tunjukin sama mereka kalau kamu juga pantes di posisi ini. Mereka seperti itu karena mereka gak pernah tahu apa yang kamu kerjain.. dan buat saya, mereka juga gak perlu tahu. Buat apa? Hidup buat kamu sendiri, Sha. Jangan terlalu banyak mikirin orang. Tangan kamu cuma 2, badan kamu cuma 1, kamu gak bisa menuhin ekspektasi jutaan manusia diluar sana. Kamu bakal capek sendiri. Jadi yang kuat ya, Sha. Kita harus pintar nempatin diri. Pilih yang baik dan buang yang buruk,” ucap Nashby dengan senyuman teduh yang mampu menenangkanku.
Bagaimana aku bisa tahan tidak jatuh cinta kalau sosok Nashby makin mengagumkan bagiku. Saat aku tidak memiliki apapun dan siapapun ditengah hujan badai, dia membukakan pintu untuk aku berteduh. Harus bagaimana aku berterima kasih padanya?
“Terima Kasih..’ ucapku lirih tanpa suara.
***
“Sha, ikut saya ya.” Ucap Nashby yang sepertinya sudah siap keluar.
“Kemana, Pak?”
“Makan siang. Adam baru buka restoran baru. Mereka minta saya ajak kamu. Ayo berangkat.” Nashby mengatakan kalimat terakhirnya dan segera berjalan meninggalkanku yang membuatku menyambar telepon genggam, dompet, dan tabku secara tergopoh.
Kami berjalan menuju mobil dengan posisi Nashby berada di depanku dan aku berjalan cepat mengikuti langkah kakinya. Aku tidak mau dianggap macam-macam lagi oleh orang lain. Aku harus bersikap profesional di kantor dan jadi partner yang baik di samping Nashby saat bersama dengan teman-temannya. Untuk saat ini itulah yang ku pikirkan.
Sesampainya di mobil yang terparkir di zona drop off, aku langsung menutup pintu dan duduk di kursi sebelah supir.
“Sha, kok di depan sih?” protes Nashby.
“Kan saya sekretaris, Pak. Masa saya duduk sebelahan sama Bapak? Gak enak dilihatnya.”
“Ck! Nanti yang ada temen-temenku malah ngeledek aku, Sha.” Nashby sudah kembali lagi dalam mode casual dan ber aku-kamu, bukan lagi menjadi atasan yang kaku dengan senyumannya yang minim.
Sekarang aku tahu bahwa Nashby ini punya banyak kepribadian. Dia akan memakai sapaan 'saya' dan 'kamu' kalau sedang berada di kantor dan akan berubah menjadi Nashby yang sedikit cool dan tidak cuek ketika bersama dengan teman-temannya.
“Nanti, Pak pindahnya. Kalau udah deket. Ayo, jalan Mang Engkus,” ucapku pada supir Nashby yang sudah mengenalku karena beberapa kali aku ikut dalam mobil ini dan mengobrol dengannya.
“Iya Neng,” ucap Mang Engkus sambil mulai menginjak pedal gas
“Mulai berani sekarang kamu nyuruh-nyuruh Mang Engkus?”
“Keburu macet, Pak…”
“Mas..” protes Nashby.
“Iya, Maass..”
Tidak ada suara balasan dari Nashby membuatku jadi mencuri pandang ke arahnya melalui kaca tengah mobil. Aku mendapatinya menatap keluar jendela dengan senyuman tipis di bibirnya. Melihatnya seperti itu membuatku jadi ikut tersenyum tipis sambil memandangi jalanan di hadapanku.
Tidak terasa beberapa menit berlalu hingga kami sampai di restoran baru milik adam itu dan lupa untuk berpindah posisi. Jadilah, Nash menampilkan wajah tidak bersahabat terhadapku. Aku hanya bisa meringis saat turun.Laki-laki itu berjalan terlebih dulu masuk ke dalam restoran, mau tidak mau aku mempercepat langkahku untuk menyusulnya.
“Hai, Nash! Kok sendiri? Alsha mana?” ucap wanita di hadapan Nashby yang aku yakin adalah Fani, pacar Adam.
Nashby tidak menjawab apapun. Ia hanya memiringkan tubuhnya hingga aku bisa melihat Fani.
“Hai Kak,” ucapku sambil melambaikan tangan. Fani segera beranjak memelukku dengan senyuman merekah.
“Ayo, aku udah siapin meja spesial buat kalian,” ucap Fani dengan mata berbinar. Ia menarik tanganku dan mengarahkan kami ke meja dengan pemandangan taman hijau dekat jendela. Hanya ada 2 kursi disana. Fani mempersilahkan kami duduk dan menerima menu dari tangannya.
“Oh iya, buat promosi boleh lah ya gue ambil foto kalian. Kalian lagi serasi banget soalnya. Yaa? Yaa?” mohon Fani dengan antusias.
“Faan.. lo jangan jadi akun lambe-lambe deh,” protes Nashby.
“Kok, akun lambe-lambe sih. Buat promosi.”
“Gak ada..”
Awalnya aku senang sih bisa jadi model, baru aku ingat bahwa aku sudah menjadi korban akun-akun di sosial media. Daripada mukaku makin jelas terpampang. Mending aku juga tidak mau.
“Ck! Yaudah buat dokumentasi gue pribadi ya. Gue fotoin pake HP lo juga deh. Siniin hape lo!” ucap Fani yang langsung merebut ponsel milik Nashby. “Pose ya.. satu.. dua.. tiga..”
Bagaimana gayaku? Ya cuma tersenyum saja ke arah kamera.
“Kurang mesra.. Gandengan dong. Saling tatap.. yang romantiiisss..” Fani berkata dengan semangat sekali membuatku ingin terkekeh. Mau romantis bagaimana? Kami kan hanya atasan dan bawahan.
Tiba-tiba kurasakan tanganku menghangat dan betapa terkejutnya ketika aku melihat Nashby sudah menggenggam tanganku dan menatapku dengan senyuman teduhnya. Jantungku rasanya berdegup kencang, tapi hati dan otakku sekarang sedang tidak sejalan. Hatiku berkata ‘yes!’ tapi otakku berkata ‘ini udah biasa dilakukan oleh laki-laki metropolitan Alsha, jadi be profesional ya!’. Sugesti ini membuatku juga tersenyum ke arahnya.
“Nih, deh.” Fani menyerahkan ponsel ke arah Nashby. “Gue emang fotoin sih, tapi bukan malah nyuruh kalian mesra-mesraan di depan gue juga. Jadinya pada mau pesen apa nih?” tanya Fani yang sudah mengeluarkan kertas dan ballpoint untuk mencatat pesanan kami.
“Lo gak bayar pegawai Fan buat waiter atau waitress gitu?”
“Ya.. Ya.. bayar Nash. Ini karena gue temen yang baik, jadi gue yang ngelayanin elo. Jangan ribet deh. Cepetan mau apa?” protes Fani.
“Galak banget Fan,” ucap Nashby jenaka.
Aku jadi ikut terkekeh dengan respon Nashby. Aku tidak pernah melihat sisinya yang seperti ini. Ternyata dia lucu juga.
Setelah memilih makanan dan minuman yang tersedia. Kini hanya aku dan Nashby yang hanya diam menatap sekeliling. Aku memang bukan tipe orang yang suka mengecek ponsel saat ada orang di hadapanku, tapi Nashby yang memilih untuk tidak menggunakan ponselnya adalah hal yang langka. Aku tahu dia sibuk, jadi tidak mungkin dia berjauhan dengan gadgetnya.
“Suasana hatimu sudah lebih baik?”
“Iya, Mas. Makasih ya..”
“Sha, aku pernah dengar dari seseorang yang bilang ‘Life is indeed unfair, so get used to it!’. Hidup ini gak pernah adil, jadi kamu harus terbiasa. Jangan gampang kaget, jangan gampang kalah sama keadaan. Buka mata kamu lebih lebar. Orang boleh ngomong apa aja soal kamu. Mereka gak ngejalanin hidup kamu, mereka gak tahu apa-apa tentang kamu. Diemin aja. Jangan biarkan mereka pelajari titik lemah kamu, karena pasti banyak orang yang pengen jatuhin kamu.”
“Aku kaget aja, Mas. Sebegini kerasnya ya hidup di Jakarta.”
“Karena kamu baru pertama kali kerja, Sha. Semua orang yang baru pertama kali kerja pasti ngerasain itu. Gak cuma karena kamu tinggal di Jakarta. Biasanya anak-anak yang baru lulus itu idealisme yang dibawa tinggi banget, kerja harus seperti ini, harus seperti itu, ternyata lingkungannya parah banget. Gitu kan?”
Aku hanya mengangguk. Sebenarnya ini bukan hanya soal pekerjaan, aku memang tidak pernah berpikir sejauh ini. Berada di posisi ini sekarang adalah hal yang paling menyulitkan. Tiba-tiba aku dipercaya jadi sekretaris bos yang aku kagumi dari jaman dahulu kala, yang bahkan untuk berinteraksi sedekat ini saja rasanya masih seperti mimpi.
Untuk beberapa orang mungkin ini sangat menyenangkan, tap untukku ini sangat menyesakkan. Tuduhan-tuduhan mengerikan yang di layangkan padaku seperti tombak yang menghujam di dadaku berkali-kali.
“Inilah hidup, Sha. Kita hidup sesuai dengan ekspektasi mereka masih salah, apalagi hidup yang tidak sesuai standar yang mereka tetapkan? Kamu masih muda, cantik, dan pintar. Saya harap kamu bisa bertahan di sisi saya sekuat hati,” ucap Nashby yang berhasil membuat ribuan kupu-kupu terbang didalam perutku.
Mataku membola menatap manik matanya. Laki-laki itu tersenyum manis dan yang tak kusadari adalah sudah berapa lama tangannya menggenggam telapak tanganku dan mengusapnya dengan lembut.
***