Aku baru menyadari bahwa kami akan menuju venue untuk acara launching produk baru kami saat melakukan Briefing dengan pihak Tony dan Talita. Aku bahkan tidak pernah tau konsep apa yang digunakan oleh Timku untuk acara launching produk baru nanti. Aku kok jadi merasa tidak tahu apa-apa ya? benar-benar seperti orang bodoh.
Disaat semua orang di marketing sedang sibuk, menjelaskan konsep dan mulai melakukan survei. Aku hanya berkeliling dengan Dimas untuk mengamati suasananya. Sampai aku tidak sadar bahwa Dimas menjelaskan sesuatu kepadaku.
“Shaa..” panggil Dimas.
“I – iya pak?”
“Kok malah bengong. Fokus ya, Sha. Mulai besok lo harus lapor ke Nashby secara detail tentang acara-acara penting di kantor. Nantinya bukan cuma lo doang sih yang jadi sekretarisnya dia. Bakal..”
“Bentar, Pak? Gimana? Sekretaris?” Aku perlu meluruskan apa yang ku dengar.
“Iya. Emangnya si Nashby belum bilang?”
“Belum, Pak. Kalau saya jadi sekretaris Pak Nashby, terus Bapak gimana?”
“Gue bakal balik ikut bos lama. Lo tau kan kalau gue itu sekretarisnya Hans dan jauh sebelum Nashby masuk sini juga gue udah kerja sama Hans. Ceritanya, Hans minta gue balik ikut dia karena dia gak bisa urus lini bisnis yang dia kelola sendirian. Makanya, lo bakalan gantiin gue untuk tugas sekretaris yang inti, terus..”
“Kok saya, Pak?”
“Nashby yang minta. Gue cuma nurutin aja. Mungkin dia cocok sama cara kerja lo.”
“Terus kerjaan saya di Marketing gimana?”
“Ya udah gak di Marketing dong, Sha. Lo bakalan full buat ngurusin Nash. Lo sabar-sabar ya ngurusin dia,” ucapnya sambil menepuk pundakku, kemudian berbalik untuk melangkah dan melanjutkan berkeliling venue acara.
Aku terdiam menatap kepergian sekretaris bos itu. Sejurus kemudian akumenghela nafas kasar mengingat beban yang akan bertambah dipundakku.
Sejujurnya, aku sudah nyaman sekali bekerja bagian marketing strategic ini karena banyak kegiatan lapangan seperti saat ini. Apalagi otak kreatifku bisa berkembang karena harus menjadi perencana acara dan bertemu orang-orang dari tempat lain untuk bekerja sama mensukseskan acara, Jadi kami bisa jadi semacam EO begitu.
Terbiasa melakukan itu, otakku sudah berasap membayangkan akan menjadi sekretaris Nashby. Bagaimana tidak? Aku harus merelakan waktu untuk bekerja monoton entah sampai kapan. Duduk, membuat laporan, rapat.. haaahh.. Aku kembali menghela nafas kasar dan akhirnya memutuskan mengikuti langkah kaki Dimas yang kembali melakukan pengecekan kesiapan acara ini.
***
Seperti kata Talita, kini aku sudah menemaninya menuju sebuah butik khusus untuk acara pesta. Disana ternyata tidak hanya aku dan Talita saja, tapi sepertinya ini para wanita yang satu geng dengan Tasya dan Frans. Aku melihat wajah wanita-wanita yang ikut berada di samping laki-laki mereka saat acara pernikahan Tasya. Bahkan, diujung kursi yang digunakan untuk mereka berkumpul, aku menemukan Katty disana. Apa seharusnya aku tidak perlu ikut?
“Hai, Alsha.. Seneng banget lo ikutan. Ayo sini pilih baju yang cocok buat lo," sapa Tasya yang langsung menarikku menuju baju-baju dengan warna merah yang digantung berdasarkan warnanya.
Semuanya terlihat bagus sekali dan aku yakin ini pasti mahal sekali. Aku jadi berpikir, apa tidak apa-apa jika aku ikut dalam acara ini. Nashby memang sepertinya membuat mereka salah paham atas posisiku, tapi aku seharusnya tidak terlibat sampai sejauh ini kan? Terlebih mereka mengenalku baru beberapa hari yang lalu.
“Kak? Emangnya gue harus pilih juga ya?”
“Iya dong, Sha. Gue gak mau bedain lo sama yang lain. Kenapa emang? Lo kurang suka ya sama baju-bajunya? Emang yang modelnya bagus-bagus udah pada di ambil sama anak-anak yang lain tadi, atau lo mau ganti butik aja?” tanya Tasya antusias dengan senyum sumringah.
“Eh, Enggak Kak. Gak usah.”
“Beneran? kesannya gue ngasih sisa nih."
"Enggak kok, Kak." Alsha jelas menampik, ia tak ingin diberi label ribet dna menyusahkan. Padahal bukan maksudnya untuk meminta butik lain. Ia hanya tak ingin ikut terlibat. Itu alasan yang benar.
"Yaudah, lo pilih aja. Lo mau yang mana? Atau lo mau yang seleranya Nashby banget?”
“Oh, iya.. biar gue nanti pilih sama Nashby aja, gimana Kak?” Aku masih mencoba mengelak untuk diberi baju oleh Tasya. selain karena aku tak ingin terlibat, masalah lainnya adalah aku tak akan bisa kembalikan sesuai harganya. Aku yakin ini bukan hanya satu digit di depan angka nol. Bisa jadi harganya mencapai puluhan juta.
“Ngapain? Emang Nashby suka diajakin belanja? Entar sibuk dia. Udah lo pilih aja. Kita semua udah tau seleranya Nashby gimana. Jadi lo ikut aja,” ucap Tasya dengan senyuman menggoda kepadaku.
Aduh, rasanya kepalaku pusing sekali di jawab seperti itu. Aku seperti tidak bisa menolak lagi karena takut ia akan tersinggung.
Tidak lama, Tasya menunjukkan sebuah bodycon mini dress dengan halter neck yang seksi ke arahku. Apa iya ini selera Nashby? Kemarin saja aku dilarang pakai yang terlalu terbuka oleh Nashby.
“Aku pilih ini aja, Kak.” Aku asal mencomot baju dan beruntungnya tidak terlalu failed. Aku mengambil dress selutut dengan lengan panjang. Walaupun dia sama-sama akan membungkus badanku dengan ketat, setidaknya dia tidak memamerkan pahaku.
“Selera kamu bagus. Kamu coba dulu deh,” ucap Tasya.
Aku jadi mengangguk menuju fitting room dibantu dengan salah seorang pegawai disana. Saat aku mengaca, aku terus berpikir bahwa memang ada rupa, ada harga. Dia memang membungkus sempurna badanku, aku jadi terlihat cantik dan berkelas. Sialnya, harganya membuat kantongku menangis. dua puluh lima juta untuk satu potong baju. Ini gajiku dua bulan. Aku harus beli kado apa untuk Tasya kalau seperti ini. Aku ada tabungan, tapi.. kalo di potong dengan harga gaun ini. Cita-citaku untuk bisa liburan ke Eropa juga harus tertunda.
Aku segera melepas baju itu dan mau tidak mau harus memilihnya, mengingat sepertinya baju ini yang paling benar potongannya daripada yang lain. Aku bergegas keluar dari ruang fitting, hingga ku dengar bahwa aku menjadi topik pembahasan mereka. Aku berhenti dibalik tembok yang tidak terlihat oleh mereka. Beruntungnya tidak ada pengunjung lain karena sepertinya butik ini sengaja dikosongkan dari pengunjung hanya untuk mereka. Aku jadi bebas menguping dari sudut mana saja.
“Gue pikir, waktu dia bilang sama Raven kalau dia udah ajak orang itu bakalan orang random gitu. Tapi ngeliat gimana dia ngelindungi Alsha. Gue yakin, sih. Itu gak random deh. Dia emang suka.”
“Sayang banget Keith, terus gimana dong lo?”
“Sama Raven aja. Kan sama kosongnya,” celetuk seseorang.
“Betul, Frans agak susah buat ngajak laki-laki yang gak dia kenal buat jadi groomsmen.” Aku kenal itu pasti suara Tasya.
“Aduh Keith, gue gak bisa bayangin kalau gue jadi elo deh. Kalo kita kan gampang ya, yang berteman se-geng kan laki-laki kita. Misal kita putus. Yaudah, kita gak perlu ketemu lagi. Bukan satu circle pertemanan soalnya. Nah kalau elo, gimana? Mau ngehindarin juga gak enak banget kan pasti?”
Aku tidak mendengar jawaban dari Katty. Bahkan sedari tadi ku rasa dia tidak bersuara sama sekali. Aku gemas sekali ingin melihat ekspresi Katty, tapi tidak bisa karena terhalang oleh tembok. Aku yakin kalau aku nongol sedikit saja, mereka pasti akan melihatku. Sedari tadi aku hanya menerka-nerka berdasarkan suara yang ada.
“Eh, Alsha kok lama ya?”
“Iya. Foto-foto dulu kali. Pakai cermin yang kayak di aplikasi apa tuh? Tok-tok?”
Semuanya terkekeh mendengarkan celotehan entah siapa itu. Entah mengapa aku merasa tersindir. Lagipula mana ada aku seperti itu!
“Maklumin ajalah. Masih bocah juga. Baru lulus kan? Berapa umurnya? Dua puluh dua atau Dua puluh tiga-an gitukan?”
“Iya.. Muda banget ya?”
“Iya.. Masih polos. Bisa aja Nashby kalo milih.”
“Lo tau orang tuanya ngerjain apa gitu?”
“Setau gue, Papanya sekarang praktisi HR gitu dan Mamanya Dosen. Mereka tinggal di Surabaya.”
“Ooh..” Mereka ber ‘o’ ria membuatku kembali merasa kesal.
Hal yang paling mengesalkan bukan karena mengatakan 'o', tapi kelakuan mereka yang menyelidiki latar belakangku. Tidak sopan sekali. Apa pentingnya latar belakang keluargaku untuk mereka.
Sayangnya aku sedang tidak merekam kelakuan mereka. Seandainya aku tahu bahwa mereka mengusik privasiku, aku bisa saja melaporkan mereka atas tuduhan tindakan tidak menyenangkan.
“Eh, ini Alsha kok lama banget sih. Gue susulin apa ya?”
“Iya deh, susulin aja. Tanyain? Ntar kenapa-napa kita yang di damprat Nashby.”
O – ow .. aku harus segera keluar dari persembunyianku dan bersikap biasa saja. aku menarik nafas dan menghembuskan nafasku secara perlahan. Setelah itu berjalan sambil mengecek baju. Pura-pura aja sih, sok sibuk dengan baju.
“Alsha, gimana bajunya? Gak cocok? Kok lama banget,” tanya Fani, pacar dari Adam.
“Iya, Maaf Kak. Bagus soalnya.. Jadi ngacanya kelamaan.”
“Ooh.. yaudah yuk,” ucap Fani sambil merengkuhku menuju ke arah mereka semua.
Mereka semua tampak sedang bercanda, dengan topik yang aku tidak tahu karena aku memang sudah tidak mendengarkan mereka sejak suara Fani tadi memutuskan untuk menyusulku.
Tidak lama para lelaki sudah datang dan menjemput, yang paling tidak ku sangka adalah Nashby berada diantara mereka. Ia tersenyum teduh ke arahku, sedangkan aku yang disenyumi seperti itu rasanya sudah ingin menghambur dan mengadukan teman-temannya yang berbicara di belakang tentangku.
Di saat yang lain menyambut laki-laki mereka. Aku hanya bisa mematung di tempat. Segala pikiran berkecamuk dalam benakku. Aku kembali terkejut ketika Nashby menghampiriku dan ia tiba-tiba mendekap ku. Bau wangi parfum Nashby menguar menusuk indra penciumanku.
“Pak..” ucapku lirih dengan degupan jantung yang tak bisa lagi ku kontrol.
“Mas..” timpal Nashby tepat di telingaku. “Tolong panggil Mas, kalau di depan mereka.”
Aku hanya mengangguk lirih. Astaga Dragon! Jantungku! Jantungku berdegup kencang mendapat perlakuan ini dari Nashby. Apa dia bisa mendengar bunyi detak jantungku? Sebentar ini bunyi detak jantung siapa? Ini pasti gara-gara Nashby jantungku jadi dangdutan. Tumben sih dia minta di panggil Mas, biasanya juga minta dipanggil Nash.
Nashby melepaskan pelukannya dan melihat ke arahku.
“Gimana? Sudah?” tanya Nashby sambil membenarkan anak rambut di wajahku.
Aku hanya menjawab dengan anggukan.
“Hey, kalian berdua lucu banget sih. Gimana coba pacarannya. Satunya pemalu gak banyak omong dan satunya kaku. Ya Tuhan, gue pengen ngajak kalian nge-date bareng deh,” ucap Jinny yang menjadi pacar Leo. Aku jadi tahu, ini suara cewek yang tadi bilang aku suka main tok-tok.
Aku dan Nashby hanya menanggapinya dengan senyuman lebar di wajah kami. Aku malas menanggapinya sebatas mengeluarkan satu huruf saja. Jadi aku diamkan saja dan masih tersenyum tanpa menanggapi apapun.
Biar saja, biar dia tahu kalau bicara denganku itu harus yang mikir pakai otak. Biar dia tidak bicara dengan seenaknya. Minimal apa yang dia bicarakan berbobot dan berkualitas. Cetus ku dalam hati.
“Gimana, kita lanjut makan dimana?” tanya Fani.
“Gue pulang dulu deh, badan gue capek semua nih. Sorry gue gak ikutan,” ucap Katty.
“Yaaahh.. Keith…” koor mereka bersamaan.
“Sorry..” ucapnya lalu merangkul satu-persatu teman-teman wanitanya. Tentu aku jadi yang terakhir untuk pamit kan? Dia juga tidak memelukku, hanya tersenyum sekilas ke arahku.
“Gue duluan.” Dia hanya mengucapkan itu padaku dan Nashby. Katty segera berbalik dan meninggalkan kami.
Setelah Katty pamit, kami pun pamit bergantian. Aku tidak tahu acara mereka untuk makan malam bersama jadi atau tidak. Tapi Nash sendiri memilih untuk tidak ikut acara makan malam itu. Sesampainya di dalam mobil Nash. Laki-laki itu tidak segera menyalakan mobilnya. Ia terdiam sejenak sebelum akhirnya menatapku dengan lekat.
“Mereka baik-baik aja kan? Gak ada yang jailin kamu? Katty?”
“Kenapa Bapak putus sama Katty?”
“Mas..”
Ck! Aku sudah cemberut menanggapinya. Dia kan tinggal menjawab. Harus banget ada peraturan aku memanggilnya Mas? Dia kan bosku! Oh iyaa.. dia kan bosku. Kenapa aku minta penjelasan kehidupan pribadinya? Seketika aku menunduk karena malu sudah kurang ajar.
“Kenapa, Sha? Mereka jahatin kamu? Hah? Kamu ngomong sama aku,” ucap Nashby dengan nada terdengar panik. Sesaat kemudian aku merasakan tangannya menyentuh pundakku.
Aku yang ditanya begitu malah berkaca-kaca. Rasanya aku lelah sekali. Kenapa aku harus terlibat semua ini? Aku kan hanya gadis biasa yang ingin bekerja dan menumpuk uang supaya bisa liburan keluar negeri. Aku ini bukan anak orang super kaya seperti mereka yang bisa setiap saat pergi kemanapun mereka mau.
“Alsha… Mereka bilang apa?” ucapnya sambil menopang daguku dengan tangannya supaya ia bisa melihat wajahku. “Bilang, jangan nangis. Ada apa?”
“Kenapa putus sama Mbak Katty sih, Pak.”
“Mereka jahatin kamu karena itu?”
“Kenapa Bapak libatin saya? Bapak kan bilangnya waktu itu urusan pekerjaan. Saya masih kecil Pak. Saya juga cuma anak biasa. Kenapa saya, Pak? Kedua orang tua saya bukan pengusaha kayak Bapak. Kenapa saya harus dilibatin?” ucapku sambil berkaca-kaca.
“Mereka bilang gitu sama kamu?!” tanya Nashby sambil melotot menatapku.
“Saya nanya aja,” jawabku dengan nyali menciut. Kalau salah omongan, bisa panjang ini urusannya.
“Siapa yang ngomong gitu ke kamu?!”
“Gak ada, Pak.” Aku harus segera memutus obrolan ini. “Apa saya harus ke Bali? Ke pestanya Mbak Tasya?”
“Kamu gak mau kesana?” tanya Nashby yang agak sedikit melembut.
“Saya rasa saya gak ada kewajiban kesana, Pak.”
“Ya udah. Kita gak perlu kesana.”
“Kok, kita? Bapak gimana?”
“Aku uda dateng ke acara nikahannya mereka. Acara di Bali itu gak wajib. Kalaupun aku dateng, itu karena Frans. Frans pasti bisa maklum.” Ucapnya sambil menyalakan mesin mobilnya.
“Tapi saya udah terlanjur dibelikan baju sama Mbak Tasya, Pak.”
“Ck! Kok bingung sih, Sha. Udah, dibahas besok aja. Aku capek soalnya.”
Aku yang mendengarnya hanya bisa terdiam dan menurut saja.
***
Keesokan paginya, rasanya duniaku sudah berbanding terbalik dengan kemarin. Kemarin aku menyambut pagi dengan ceria, rasanya ingin masuk kantor agar bisa cepat-cepat bertemu dengan Nashby. Kini aku merasa malas masuk ke kantor. Rasanya aku ingin rebahan saja karena lelah kembali mendera tubuhku.
Baru saja aku mendaratkan pantatku di atas kursi. Aku sudah didatangi oleh seorang lelaki di hadapanku. Ku tengok dari ujung kakinya menuju ke ujung kepala, ternyata Dimas sudah menyambut dengan senyuman sumringah pagi ini.
“Kamu beresin ruangan kamu sekarang ya, per hari ini kamu pindah ke ruangan atas,” ucap Dimas yang tidak ber-elo gue di depan semua rekan kerjaku.
“Baik Pak.” Hanya itu yang bisa aku ucapkan dengan tatapan kosong.
“Oke. Saya tunggu di lantai atas,” ucap Dimas yang setelahnya segera beranjak meninggalkan ruanganku.
Aku menyilangkan tanganku ke meja dan menenggelamkan wajahku disana. Aku tidak mau pindah dan terlibat lebih jauh lagi dengan Nashby. Pasti akan lebih banyak drama yang ku lalui jika aku harus pindah dekat dengan Nashby. Apa aku resign saja?
“Alsha,” suara laki-laki yang jelas ku dengar dari sebelahku membuatku mendongakkan kepalaku. Ternyata itu benar itu suara Pak Daniel. Aku segera menegakkan dudukku.
“Saya kemarin sudah diberitahu sama Pak Nashby kamu akan pindah jadi sekretaris beliau mulai hari ini. Selamat ya untuk promosi kamu. Maaf kalau selama di tim ini mungkin kamu menemui kekurangan dari segala aspek. Semoga bisa lebih baik lagi ya di posisi baru,” ucap Pak Daniel tulus.
“Terima kasih Pak,” Jawabku dengan senyuman yang tulus. Seandainya bisa memilih, saya ingin di pertahankan saja jadi anak buah Pak Daniel dan Rey. Sayangnya kata-kata itu tidak bisa kuucapkan.
“Ya sudah, kamu lanjut beberesnya,” ucap Pak Daniel yang kemudian berlalu menuju ke ruangannya.
“Yaaahh.. Alsha. Padahal gue masih pengen kembaran baju sama lo, biar di bilang couple of the year gitu. Gue masih belum puas ngeliatin wajah lo yang akhir-akhir ini di monopoli sama bos besar. Eh, malah sekarang di pindah,” celetuk Rey.
“Maass.. Gue bisa gak sih, ga perlu pindah,” mohonku dengan memelas.
“Eh, kenapa Sha?” ucap Rey yang tiba-tiba panik melihat raut mukaku.
Aku yakin kalau kujawab, aku tidak bisa untuk tidak menangis. Aku yang selalu rapuh ketika ditanya ‘kenapa?’, lebih baik tidak menjawab dan hanya menjawab dengan gelengan karena mataku yang sudah berkaca-kaca siap sekali untuk menangis.
***