Aku keluar lebih dulu dari dalam ruangan, entah dimana Raya karena sejak acara selesai dia sudah menghilang. Aku begitu jenuh di dalam sehingga memutuskan untuk keluar terlebih dulu. Ini hari kedua kami menjalani materi, kemaren tidak terlalu jenuh karena pengisi materi tidak terlalu serius. Namun entah kali ini begitu tegang dan bawaan nya pengen ngantuk.
Saat aku ingin berdiri aku mendengar seorang perempuan yang duduk agak jauh dariku sepertinya sedang menangis. Terdengar suara Isak tangis nya yang lirih.
''Dokter,'' ucapku lirih saat menoleh ke arah wanita yang kini sedang menunduk dengan tangan yang selalu menyapu mukanya.
Aku enggan sebenarnya untuk ikut campur urusan orang, namun entah kenapa hati kecil ini seolah menyuruhku untuk mendekat.
Akhirnya aku berdiri dan pura-pura duduk di dekatnya, aku meminum air di botol yang masih aku pegang tadi dari dalam ruangan untuk mencoba cuek dan masa bodoh.
Namun dokter di sebelahku masih sibuk dengan tangisnya, terlihat sedari tadi mencoba menghentikan cairan bening yang jatuh dari matanya.
Saat melihatku dokter itu menghentikan isak kan nya dan mengambil tisu dari dalam tasnya. Kulitnya yang putih bersih memperlihatkan wajah putihnya telah memerah dan matanya juga yang sedikit sembab.
''Maaf kalau saya telah mengganggumu,'' ucapnya sambil menoleh kepadaku.
Masalah apa yang di alami dokter cantik ini, ia begitu sempurna dari wajah dan penampilanya. Dari semua barang yang ia pakai semua terlihat mahal, walau ia tampil apa adanya namun tidak menutupi segala kesempurnaannya.
''Tidak apa-apa dok, santai saja. Kadang memang kita butuh menangis untuk menghilang segala beban yang kita pikirkan.''
Dokter itu hanya mengangguk dan tersenyum ke arahku.
''Kenalin saya Vanilla, kamu baru disini?''
''Saya Maira, iya dok! Saya hanya pelatihan disini dan dinas saya di Bali.''
Saat menyebutkan kota Bali wanita itu langsung melihatku, matanya kembali berkaca-kaca.
''Mendengar nama kota itu mengingatkan ku pada seseorang yang telah tugas di sana,'' ucap dokter itu dengan menundukkan kepalanya.
''Maaf kalau saya membuat dokter jadi teringat sama hal yang menyedihkan.''
''Tidak menyedihkan kok, mengingat semua tentangnya adalah kebahagiaan buatku. Seandainya kami bisa bersama,'' ucapnya kembali dengan senyum yang dipaksakan dari sudut bibirnya yang cantik.
Dokter tidak tahu saja masalahku lebih berat dari pada masalahmu dok. Mungkin kamu tidak bisa bersama orang yang kamu cintai, namun mungkin dokter akan mendapat orang yang menyayangi nya karena telah memiliki karir dan wajah yang memadai.
''Kenapa dokter tidak mencoba mengejarnya dan mempertahankannya?''
''Aku sudah menikah Mai, mungkin dia disana juga sudah menikah. Itu yang jadi penghalang kami untuk bisa bersama saat ini, dulu aku dijodohkan.''
''Apa dokter tidak bahagia dengan pernikahan dokter?'' tanyaku ambigu, kenapa aku bisa tanya sejauh ini. Nasibku tidak jauh beda dengannya, sama-sama dijodohkan.
Dokter itu menggeleng, namun belum menjawab pertanyaan ada seseorang yang turun dari mobil mendekat pada kami. Wajahnya yang mirip artis Korea itu tersenyum ke arah kami.
''Sayang, ayo kita pulang ,'' ucapnya sambil menurunkan tangannya di depan dokter Vanilla.
''Mai, saya pulang dulu ya!'' ucapnya menatapku sendu, seolah-olah langkah itu berat untuk mengikuti pria tampan yang telah menjemput nya.
Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya, aku tidak tahu masalah rumah tangga orang lain. Aku hanya bisa melihat dari sudut pandang mataku sendiri. Ya, jika dilihat dokter Vanilla dan suaminya adalah pasangan yang cocok dan serasi, namun entah mengapa tidak ada kebahagiaan yang kulihat dari dokter cantik itu.
***
Waktu sudah menjelang sore, tadi Raffelin menelpon akan kesini. Entahlah, aku terbiasa memanggil mbak, ya udahlah nanti juga terbiasa. Padahal aku yang seharusnya di panggil mbak kan ya.
Tadi saat aku mandi kata Raya ada yang mengantarkan makanan lagi, aku sudah bisa menebak siapa yang telah memesan makanan sebanyak itu. Jadi aku dan Raya tidak perlu lagi memasak jika nanti ada Ardham dan Raffelin kesini.
Aku bergegas ke dapur, disana sudah ada Raya yang menata makanan di meja makan. Ia sudah tahu kalau ada sepupu suamiku yang akan kesini, jadi ia membantuku untuk menyiapkan segala makanan atau cemilan.
Entah mau dimakan atau tidak, setidaknya kami sudah menyediakan. Karena kita tidak tahu apa kesukaan orang kaya sebenarnya.
Saat semua sudah siap bel apartemen berbunyi, aku segera melangkahkan kaki menuju pintu. Saat ku buka pintu muncul sosok wanita cantik yang tersenyum ramah padaku.
''Kak Maira, kita ketemu lagi,'' ucapnya bahagia sambil memeluk dan mencium pipi kanan dan kiri ku.
''Iyaa apa kabar Raffelin,'' jawabku masih canggung.
''Baik kak, Kak Maira juga sehat kan?''
Aku tersenyum dan mengangguk, aku celingukan mencari seseorang lagi. Namun tidak ada ...
''Mas Ardham lagi ada penerbangan ke luar negeri, jadi aku sendiri deh,'' ucapnya yang tau maksudku dan terlihat sedih.
''Ya udah ayo masuk Ra,'' ucapku sambil mengajaknya masuk.
''Ingat Mac deh kalau kesini,'' ucapnya terlihat seperti mengenang sesuatu saat ia mendudukkan tubuhnya di sofa.
''Iya Ra, kan dia lama ya tugas disini,'' jawabku sambil membawakan minum untuknya.
''Iyaa, eh! Katanya kak Mai bawa teman. Mana?'' tanya Raffelin seperti mengalihkan pembicaraan.
''Iya, itu ada di dapur Ra. Ayo sana, sekalian kita makan malam,'' ucapku sambil berjalan menuju dapur yang di ikuti oleh Raffelin.
Raffelin pun berkenalan dengan Raya, Raya yang terlihat canggung atau gimana intinya aku melihat ketidaknyamanannya.