apa cinta habis di orang lama

1043 Kata
Namun karena pembawaan Raffelin yang humble dan mudah untuk berbaur langsung terlihat akrab denganku dan juga Raya. Sehingga tadi kulihat ada kecanggungan dan rasa kurang nyaman pada dirinya, sekarang bisa terlihat seperti besti. Mungkin karena Raffelin pandai membawa diri atau seperti bisa membaca suasana sehingga ia bisa menjadi seorang teman dan sahabat pada kami. Akhirnya kami pun selesai makan, aku dan Raffelin pindah ke ruang tengah. Kali ini Raya memilih tinggal di dapur. Mungkin ia memberi kesempatan padaku dan juga Raffelin. Benar juga sih, memang ada banyak hal yang ingin kutanyakan pada Raffelin. Tapi entah kenapa diri ini merasa malu, masa iya saya mau bilang anu. Ah, sudah lah! ''Hei, kenapa? Masalah jangan terlalu di pikir, tapi coba jalani dengan ikhlas. Percaya sama tuhan, bahwa ini takdir terbaik,'' ucap Raffelin sambil senyum padaku. Karena sedari tadi aku sibuk dengan pikiranku sendiri. ''Kamu tahu ya masalah ku dengan Maxcel?'' Ia menggeleng dan tersenyum, ''Aku panggil Mai aja boleh, kayaknya kita seumuran,'' ujarnya entah mengalihkan pembicaraan atau apalah, aku hanya mengangguk saja. ''Aku tidak tau masalahmu dengan Mac, aku hanya bisa melihat dari gesture tubuh dan wajahmu bahwa ada beban yang sedang kau simpan,'' ujar Raffelin kembali sambil menatapku. ''Maaf ya Mai kalau saya lancang, udah nggak usah di pikirin ya! Oh ya, seneng nggak kamu di Jakarta?'' ujar Raffelin kembali. Entah kenapa tiba-tiba air mataku jatuh tanpa ku minta, padahal tidak ada hal sedih yang Raffelin ceritakan. Namun akibat ucapannya, entah kenapa menyentuh sekali di hati ini. Raffelin yang saat itu melihatku ia langsung memelukku dan mengusap-usap punggungku. Ia mencoba menenangkan ku dan membiarkan aku menangis sejadi-jadinya. Aku juga mendengar langkah Raya berlari ke arahku, namun aku merasakan gelengan kepala Raffelin seolah memberi kode pada Raya. Entah kenapa rasanya beban masalah yang ku pendam selama 6 bulan ini langsung keluar begitu saja saat bertemu dengan Raffelin. Ia seolah tahu masalahku, ia seolah mengerti apa yang telah ku pikirkan. Sesak di d**a ini begitu sakit, menahan semua sendiri ternyata sesakit itu. Aku melepaskan pelukannya dan menatapnya, ia melihatku sambil tersenyum manis dan mengangguk kan kepalanya. ''Pelan-pelan saja,'' ucapnya padaku. Lagi-lagi ia tahu apa yang ada dalam pikiranku, aku memang ingin mengutarakan semua isi hatiku namun bibir ini masih berat untuk membuka suara. Entah kenapa hati ini begitu yakin pada wanita yang duduk di depanku saat ini. Aku menarik nafas dalam sebelum bicara, ''Ra! Mungkin kamu tahu Maxcel tidak pernah mencintaiku, mungkin kamu juga tahu bahwa kami di jodohkan,'' ucapku kembali menarik nafas dalam, begitu berat rasanya untuk mengungkap ini semua. ''Aku kira cinta kami akan tumbuh seiring berjalannya waktu, maksudku bukan cinta kami, melainkan cintanya Mac padaku. Namun faktanya sampai detik ini tidak ada sedikit pun tumbuh rasa cinta itu padaku Ra,'' tutur ku kembali sambil menahan sesak di d**a. ''Setiap hari kami bagai orang asing, keluar masuk rumah tanpa ada sapaan. Mac lebih banyak diam, suka menyendiri dan tidak mau di ganggu. Parahnya lagi kami juga tidak satu kamar selama ini.'' Raffelin memegang kedua tanganku dan mengusap-usap punggung tanganku untuk menguatkan ku, ternyata aku serapuh ini. Aku tidaklah kuat, hanya keadaan yang mampu membuatku kuat. ''Mai, kamu tahu kan bahwa cinta itu tidak bisa kita paksakan. Aku tahu kamu dan Mac adalah orang asing yang menjalin rumah tangga tanpa adanya cinta di antara kalian. Walau kadang cinta itu tumbuh karena terbiasa, namun kadang juga ada cinta yang tidak bisa kita lupakan begitu saja dalam hati kita Mai dan itu semua di luar kuasa kita,'' tutur Raffelin yang aku tidak setuju dengan pendapatnya. ''Kenapa kita memaksakan cinta yang sudah nyata bukan milik kita Ra, kenapa kita harus menghabiskan cinta kita pada seseorang yang sudah nyata tidak menjadi milik kita? Sedangkan ada seseorang yang sudah memberikan seluruh hidup dan cintanya.'' Raffelin tersenyum sambil menggelengkan kepalanya, ''kita tidak tahu alasan setiap orang Mai, kadang juga mereka gagal jatuh cinta pada orang yang baru. Termasuk Mac saat ini, namun bukan berati dia tidak bisa mencintaimu Mai. Kamu perlu lebih lagi untuk mengambil hatinya, dan hilangkan juga sifat egois yang masih bersarang di hati ini. Kadang kita memang perlu sedikit merendah padanya untuk bisa mengambil hatinya. Gak papa sama suami, setiap sentuhan halal,'' bisik Raffelin di akhir kalimat. Walau sebenarnya aku tidak setuju namun Raffelin ada benarnya juga. Lagian sama suami sendiri, selama ini aku juga terlalu malu mengakui kalau aku mencintainya. *** Waktu sudah begitu larut namun mata ini belum juga bisa terpejam. Sedangkan Raya sudah terlihat pulas dengan sedikit dengkuran halus yang terdengar. Entah kenapa saat ini jiwa kepo ku kembali hadir, teringat akan pesan Maxcel aku belum memeriksa semua apartemen ini. Apakah jika aku melakukannya malah akan membuat sakit hatiku. Ah, masa bodoh dengan hati. Bukannya sudah sering kali merasakan sakit, kenapa mau di manja. Hati jangan kau manja, bukannya kau sudah terbiasa dengan rasa sakit. Jadi sekarang kau sudah kuat kan dengan apapun yang terjadi dan yang kamu lihat nanti. Dengan tekad yang kuat aku memasuki kamar suamiku, aku segera turun dari kasur dan keluar dari kamar ini. Aku segera menuju kamar Maxcel, saat ku buka pintu terlihat ruangan yang luas dengan nuansa modern. Cat tembok yang dominan putih membuat ruangan ini terlihat bersih dan begitu rapi. Wangi lavender yang masih tercium walau hanya terasa sedikit, mungkin bisa di bilang sudah mau hilang, namun masih bisa ku hirup aromanya. Pertama kali aku mendekat pada nakas yang dekat tempat tidur. Di sana aku membuka semua laci yang ada disana namun masih tidak kutemukan apapun. Aku beralih pada lemari pakaian, aku berjalan mendekat dan benar sesuai dugaanku bahwa lemari ini di kunci. Aku teringat saat tadi aku memeriksa nakas dan juga semua laci aku melihat kunci, semoga saja kunci lemari ini. Aku tak mau lama dan segera berlari untuk mengambil kunci. Sesuai dugaan ku setelah mencoba semua anak kunci ini akhirnya ada satu yang cocok. Namun saat sudah terbuka kunci aku masih belum bisa membuka lemari ini. ''Kenapa susah sekali buka lemari saja,'' gerutuku kesal karena sudah segala cara kucoba. Akhirnya aku duduk bersandar pada lemari itu karena sudah kehabisan tenaga. ''Hah,'' ucapku heran, siapa sangka hanya karena aku bersandar saja lemari sudah terbuka sendiri. Betapa kunonya diriku, ini lemari bukan ditarik melainkan di geser oh tuhan!. Pertama kali ku buka belum menemukan apapun, masih baju-baju suamiku yang kulihat. Saat beralih pada lemari satunya aku melihat ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN