PART 4

1051 Kata
08.50 Kamar inap Zen dipenuhi dengan canda tawa sahabatnya. Mereka semua tertawa dengan bebasnya, ketika Zen menceritakan kejadian dimana dirinya yang sedang tertidur disuntik dengan obat penenang. Zen menceritakannya dari awal sampai akhir tanpa terlewat sedikitpun. Niatnya hanya menceritakan saja, tapi tau-tau nya ceritanya mengundang gelak tawa para sahabatnya. Sontak saja hal itu membuat Zen kesal, dia menyesal telah menceritakan kejadian naas itu. Ya, naas untuk Zen karena sebenarnya Zen takut dengan suntikan. "Wah gila bro, gimana muka tuh dokter pas tau dia salah pasien?" tanya Fian masih dengan tawanya. "Parah, parah. Pasti muka lo lucu banget Zen, waktu kena suntikan." celetuk Daren sambil memakan buah apel yang dibawakan Zalen. Zen hanya memutar matanya malas. Ini membosankan, bukannya turut prihatin dengan apa yang terjadi. Malah tawa mengejek yang mereka semua berikan untuknya. "Zen gimana wajah tuh dokter. Cantik gak?" kini Dion ikut bertanya. "Cantik." jawabnya ogah-ogahan. "Astaghfirullah halazim, giliran gue tanya gak dijawab. Eh giliran Dion malah dijawab." sewot Fian, tangannya bergerak melempari Zen dengan kacang kulit yang dimakannya. "Kalian banyak omong, pergi sana." usir Zen tanpa memperdulikan perasaan sahabat. "Parah kita diusir. Eh tapi kalau para karyawan Zen tau tentang ini. Pasti Zen jadi tranding topik deh." celetuk Daren diikuti tawa pecah Fian dan Dion. "Udah udah. Kalian jangan ketawa terus, gak lihat apa muka anak tante udah nakutin kayak gitu" lerai Zalen yang melihat perubahan raut wajah anaknya. "Tapi ini lucu tan. Jarang-jarang tan, ya gak om?" "Iya dong." Mardentan ikut tertawa. Sekali-sekali kan membuat Zen marah. "Ya Allah." Zen menyebut untuk yang sekian kalinya. "Sekarang kalian pu--" "Assalamualaikum, permisi." salam wanita yang baru memasuki kamar rawat Zen. "Waalaikumsallam." jawab semuanya. "Ini saatnya mengecek kondisi tuan Zen. Tapi, maaf bukan saya yang akan mengeceknya karena saya harus menemani operasi anak saya. Mungkin dokter lain bisa menggantikan saya." "Ya, gapapa kok dok. Oh iya, anak saya kapan bisa pulang?" "Insyaallah besok atau lusa udah bisa pulang kok. Nanti cukup konsumsi vitamin sama jaga pola makan aja, biar gak drop lagi." Mata dokter yang menangani Zen, yang tidak lain adalah dokter Hilda. Menangkap seseorang yang melewati kamar inap pasiennya ini, dengan segera dokter Hilda memanggil orang tersebut. "Dokter Zahra." "Mungkin dokter itu yang akan memeriksa tuan Zen, sebentar ya." Dokter Hilda langsung keluar menghampiri Zahra yang berdiri tak jauh dari kamar inap pasiennya. "Iya dokter Hilda." Zahra tersenyum saat dokter Hilda berjalan mendekat. "Ada apa dokter?" "Bisa minta bantuan?" "Insyaallah bisa. Memangnya apa?" "Saya ada urusan mendadak, bisakah kamu menggantikan saya mengecek kondisi pasien saya di dalam?" Sebelum Zahra menjawab, Zahra melirik pintu yang tertera nomer 67. Saat itu juga jantung Zahra rasanya ingin melompat keluar. Bagaimana tidak, tiba-tiba kepala Zahra dipenuhi kejadian semalam. Ini kamar inap pria itu. Ah tidak! 'Ah gawat, mati aku kalau ketemu dia lagi.' ucap Zahra dalam hati. 'Apa aku tolak aja? Ah tapi gak enak.' "Dokter Zahra?" panggil dokter Hilda yang berhasil membuat lamunan Zahra terbuyar. "Gak bisa ya?" "Hm--bisa kok dok." "Terima kasih ya, nanti saya terakhir di kantin deh." "Iya dok." "Mari masuk." ayak dokter Hilda yang diangguki Zahra. Dengan langkah pelan dan mulut yang sedari tadi meramalkan doa-doa, Zahra perlahan masuk kedalam. Semua orang yang asik bercanda tawa, tiba-tiba terdiam. Apalagi ketika mata Zahra bertemu pandang dengan mata Zen. Huh, seharusnya Zahra dulu mengambil spesialis bedah atau kulit atau yang lainnya. Kenapa juga dia harus jadi dokter umum seperti ini. "Anda lagi." ucap Zen seraya membuang napas panjang. "Siapa Zen?" tanya Zalen. "Dokter yang tadi aku ceritakan ma." jawab Zen langsung, dan itu membuat Zahra terkejut. Jadi, Zen menceritakan kejadian semalam pada semua orang yang ada di ruangan ini? Gila! "Maksudnya?" tanya dokter Hilda, dia mungkin kurang paham apa yang sedang menjadi topik pembahasan. "Bukan apa-apa dok." jawab Zen dan jawaban itu menyelamatkan Zahra dari pertanyaan dokter Hilda. "Hm baiklah, ini dokter Zahra yang akan menggantikan saya. Saya permisi dulu, assalamualaikum." pamit dokter Hilda, yang segera meninggalkan kamar rawat Zen. "Oh jadi ini dokter yang nyuntik lo." "Cantik ya Zen." "Manis Zen." "Kok gue pingin ketawa ya Zen kalo lihat wajahnya." Mendengar berbagai tanggapan tentang dirinya, membuat Zahra menyesal telah mengiyakan permintaan tolong dari dokter Hilda. Seharusnya Zahra menolak saja, dari pada bertemu lagi, yang malah membuat dirinya sendiri malu. "Cantik ya Zen, cocok itu kalau jadi menantu mama." celetuk Zalen membuat Zen dan Zahra saling berpandangan. Sungguh, Zen rasanya ingin berbicara kasar sekarang ini. Tapi apa daya dirinya yang takut dengan sang mama. Tak ingin berlama-lama di ruangan ini, Zahra segera memeriksa Zen. Ia maju selangkah dan mengeluarkan Stetoskop dari saku Snelli nya. Zahra melakukan tugasnya dengan benar dan segera pamit undur diri. "Keadaan Anda baik-baik aja." kata Zahra menjelaskan. "Itu benar, dan gak perlu di suntuk obat penenang." entah kenapa Zen ingin mengucapkan kalimat itu. Tapi Zahra yang mendengarnya, seperti sebuah sindiran halus. "Hm saya pergi dulu assalamualaikum." "Waalaikumsallam." "Eh dokter Zahra." panggil Fian yang membuat Zahra menoleh. "Iya ada yang bisa saya bantu?" "Zen itu takut suntikan, jadi ya gitu." ucap Fian dengan entengnya. "Fian awas lo ya." geram Zen menahan amarahnya. Zen sungguh malu ketika dokter itu mengetahui jika dirinya takut suntikan. Mau ditaruh mana muka sangarnya waktu itu? "Assalamualaikum." ucap Zahra lagi dan segera pergi. Setelah kepergian Zahra, tawa sahabat dan kedua orang tuannya pecah. Mereka tertawa terpingkal-pingkal hingga merasakan perutnya sakit karena terlalu banyak tertawaan. "Kalian keterlaluan." ***** Disisi lain, di ruangannya Zahra tertawa geli. Jadi, sikap yang semalam dan tadi yang ditujukan Zen, itu karena Zen takut dengan suntikan. Ini menggelikan, pria seperti Zen takut suntikan. Semalam saja wajahnya sangat menyeramkan, tau-tau nya dia takut suntikan. "Jadi namanya Zen." "Tapi dia menyebalkan. Bikin orang malu aja." "Lagian kenapa juga dia harus menceritakan kejadian semalam ke sahabat juga orang tuanya. Gak ada gunanya banget, mempermalukan diri sendiri lagi. Berasa dia buka aib dihadapan semuanya." "Udah tau takut suntikan, pakai acara cerita-cerita segala. Apa namanya kalau bukan buka aib diri sendiri? Emang pasien gila." Zahra terus mengoceh tidak jelas karena Zen. Ini adalah pertama kalinya Zahra bertemu dengan orang yang menyebalkan, mungkin sedikit gila. Zahra berharap ini adalah terakhir kalinya dia bertemu dengan pria itu. Sudah cukup waktu kejadian malam itu, bertemu di lorong rumah sakit, dan terakhir saat menggantikan posisi dokter Hilda. ^•^•^•^•^ Bacaan apapun, yang lebih utama adalah Al-Qur'an Follow i********: : alivinad
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN