PART 3

1025 Kata
Jam sudah menunjukkan pukul empat pagi. Zahra sendir harus pulang sekarang, meskipun jam shift malam berakhir jam lima nanti, dia tidak bisa menunggu barang semenit pun. Lagi pula dokter Alferd juga sudah kembali, jadi tidak ada masalah kalau mau pulang sekarang. Dengan cepat Zahra merapikan barang-barangnya dan mengambil tas, serta menyampirkan Snelli dipunggungnya. Tanpa memakainya, Zahra keluar ruangan dengan langkah lambat dan gontai. Saat berjalan melewati lorong, tanpa sadar kaki Zahra tersandung sepatunya sendiri. Alhasil membuat tubuhnya hampir terjatuh. Namun, belum sempat tubuh itu terjatuh, ada sepasang tangan kekar yang menahan tubuhnya. "Tolong, jalannya hati-hati dokter." suara itu membuat Zahra tersadar, dan langsung menegakkan tubuhnya. "Maaf. Maafkan saya." ucap Zahra dengan pandangan menunduk. Sedangkan orang yang didepannya memperhatikan dengan alis terangkat. "Anda dokter yang semalam kan?" tanya orang itu memastikan. Zahra yang mendengar suara itu, perlahan mengangkat kepalanya dan menatap orang didepannya. Betapa terkejutnya dia dipertemukan kembali dengan pasien semalam. Ya Allah "Anda lagi? Ah maaf ya." ucap Zahra sekali lagi. "Ya. Gapapa." "Saya pergi dulu. Assalamualaikum." pamit Zahra, meskipun yang dipamiti belum menjawab salamnya. Sedangkan Zen menatap kepergian Zahra dengan datar. Ini sudah kedua kalinya dia dan dokter perempuan itu bertemu. Tapi, Zen sama sekali belum mengetahui nama dokter itu. "Dokter itu baru pulang? Dia mengambil Shift malam." gumam Zen sendirian. Tak mau mengurusi urusan orang lain, Zen langsung melangkah menuju ke kamar inap nya. Sebenarnya tadi Zen keluar, hanya untuk mencari musholla. Untung saja rumah sakit ini dilengkapi dengan musholla yang bersih dan juga nyaman. ****** Sesampainya di parkiran, Zahra tak langsung masuk kedalam mobil. Melainkan mengamati sekitarnya. Zahra yakin pasti saat ini dia sedang dimata-matai. Sejak berjan menuju parkiran, Zahra merasakan ada yang mengikutinya dari belakang. Tapi, ketika Zahra menoleh, dibelakangnya tidak ada orang sama sekali. "Saya yakin kalian mengikuti saya. Keluarlah!" ucap Zahra dengan penuh penekanan. Ucapan Zahra tadi membuat tiga lelaki berpakaian polisi keluar dari sarang tempat bersembunyi nya. "Saya yakin jika Vade yang menyuruh kalian. Apakah benar?" Ya, Vade. Pria berusia 35 tahun yang berprofesi sebagai polisi, lebih tepatnya seorang inspektur. Vade juga orang yang akan dijodohkan dengan Zahra, dan orang yang kerapkali membatasi ruang gerak Zahra. Huft, apa-apaan itu. "Iya. Pak Vade yang menyuruh kami." jawab salah satunya. Zahra terkekeh pelan, "Apa untungnya kalian memata-matai saya?" "Untungnya? Banyak sekali. Pak Vade pasti akan memberikan uang yang banyak untuk kami." balas yang lainnya. "Apa kehidupan kalian hanya tentang uang?" "Tentu saja." dengan entengnya para polisi itu menjawab. Sumpah demi apapun itu, Zahra merasa mereka bertiga telah mempermalukan jabatan polisi yang diembannya. Hanya kerena uang. Betapa mudahnya sekarang ini, sampai-sampai manusia saja bisa dibeli dengan uang. "Berhentilah. Uang bisa dicari, tanpa perlu kalian memata-matai saya. Apa pekerjaan menjadi polisi masih kurang?" "Tentu saja kurang." "Jangan terlalu serakah, itu gak akan baik untuk kalian kedepannya." nasehat Zahra, sedikit emosi saat berhadapan dengan tiga orang suruhan Vade. Zahra sudah tidak bisa bicara lembut jika sedang berhadapan dengan polisi ini. "Anda gak perlu menasehati saya. Saya gak butuh ocehan Anda. Lagipula saya yang serakah, bukan Anda. Dan kami semua tegaskan, bahwa Anda jangan pernah berkomunikasi dengan dokter lelaki, ataupun pasien lelaki. Jika Anda tidak mau dokter atau pasien itu kami apa-apakan." Zahra mengepalkan kedua tangannya. Dia tak habis pikir dengan Vade. Bisa-bisanya menyuruh anak buahnya membatasi komunikasi nya, dengan dokter ataupun pasiennya sendiri. Ah, Zahra tidak habis pikir dengan isi pikiran Vade. Kenapa pria itu terkesan terobsesi padanya, menyebalkan sekali. "Jika kamu macam-macam maka akan saya laporkan polisi." ancam Zahra. Namun, ancaman Zahra hanya mengundang gelak tawa para polisi didepannya. "Kami juga polisi." "Kalian bukan polisi yang benar. Kalian hanya memanfaatkan status itu, sebenarnya kalian gak bisa apa-apa, sama seperti atasan mu itu." ejek Zahra. Dia sedikit meremehkan. Sebenarnya dia tak tega mengatakan itu, tapi bagaimana lagi. "Anda berani sekali. Cepat Anda pulang ke rumah, atau kami akan memukul Anda." geretak polisi berambut sedikit panjang. "Saya gak takut. Itukan yang Anda bisa, Anda bisanya hanya memukul perempuan tanpa berani memukul pria." "Nyonya Zahra Anda--." salah satu polisi maju dan langsung melayangkan tamparan ke pipi mulus Zahra. Plakkk "Jaga bicara Anda." desisnya lalu meninggalkan Zahra sendirian di parkiran. "Andai Umi dan Abi mau mendengarkan aku. Pasti mereka gak akan maksa aku menikah dengan Vade." kata Zahra pada diri sendiri. Dia membuka pintu mobil dan langsung masuk. Tangisnya pecah, Zahra sudah tidak tahan akan ini semua. Rasanya dia seperti hidup di dalam neraka. Zahra tidak terima ini, kenapa seolah-olah harga dirinya diinjak oleh Vade dan anak buahnya? Seolah-olah Zahra harus menuruti perintah yang ada, kenapa? Entah tekad dan keberanian apa yang membuat Zahra berencana kabur dihari pernikahannya. Yang jelas, Vade bukanlah imam yang tepat untuk dirinya, dan Vade adalah spesies pria yang harus Zahra hindari. "Aku akan pergi, ya aku akan pergi saat tanggal pernikahan udah ditentukan. Persetan dengan perasaan Abi dan Umi nantinya, yang jelas aku gak akan bisa menikah dengan Vade." Dengan derai air mata Zahra mengemudikan mobilnya. Hatinya benar-benar hancur, karena selama ini baik Abi dan Umi nya saja tidak pernah memukul Zahra. Tapi sekarang, pria yang bahkan belum memiliki ikatan apapun, sudah dengan beraninya memberikan tamparan dan memberi izin bawahannya untuk melakukan hal yang sama. "Bahkan Abi ku saja tidak pernah memukulku. Tapi, Vade dan bawahannya dengan seenaknya menamparku." Ya, Vade pernah menampar Zahra ketika Zahra menolak makan malam dengannya. Vede juga memberi izin bawahannya untuk memukul atau menampar Zahra, jika Zahra berkata tidak sopan atau sejenisnya. Ingin rasanya Zahra mengadukan hal tersebut kepada Abi dan Umi nya. Namun, kebaikan dan kesopanan serta kasih sayang yang ditunjukkan Vade di depan Abi dan Umi nya. Membuat mereka tidak mempercayai perkataan Zahra. Bukan hanya itu saja, pertolongan Vade waktu itu juga sangat berpengaruh pada kedua orang tuanya. Meskipun orang tuanya tahu siapa Vade sebenarnya, mungkin Abi dan Umi nya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Vade pasti mengungkit kejadian lima tahun silam, disaat Abi hampir kehilangan nyawanya. Dan Umi hampir saja bunuh diri. Membayangkan itupun Zahra tak mampu. Terlalu takut jika Abi dan Umi nya tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan Vade. Jika mereka tahu siapa Vade sebenarnya! Bacaan apapun, yang lebih utama adalah Al-Qur'an Follow i********: : alivinad
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN