Aku berjalan menuju rumah sakit dengan tubuh yang terus bergetar. Pikiranku tidak bisa tenang karena sampai sekarang belum mendapatkan biaya untuk operasi paman Jeff. Aku sudah mencoba untuk menghubungi teman-teman dan beberapa rekan kantor. Namun, semua gagal, tidak satupun dari mereka yang mau memberikan pinjaman kepadaku.
“Halo, apa kau bisa meminjamkan uang padaku? Aku akan mengembalikannya segera, aku membutuhkan biaya untuk—“ Ucapanku terhenti karena penolakan dari seberang telepon.
“Tidak-tidak, aku tidak bisa meminjamkan uang padamu. Aku tahu berapa gajimu menjadi seorang karyawan biasa. Jangan hubungi aku untuk meminjam uang, cari saja pada lainnya.” Kali ini adalah panggilan terakhir yang kulakukan untuk meminjam uang. Lagi-lagi pinjamanku ditolak karena pekerjaanku sebagai pekerja kantor biasa, dengan gaji yang tidak terlalu besar.
Aku semakin bingung untuk bisa menyelamatkan paman Jeff. Ini semua karena posisi pekerjaanku selalu dianggap paling rendah oleh teman dan rekanku.
Aku masih melangkah dengan perlahan, meski tubuhku terasa lemah aku tetap harus melihat keadaan paman Jeff di rumah sakit. Sampai aku tiba di penyeberangan jalan, aku berjalan begitu saja tanpa melihat tanda yang masih menyala merah. Itu membuat sebuah mobil hampir saja menabrakku.
Cahaya mobil begitu menyilaukan mata, suara klakson yang begitu kencang menyadarkanku dari pikiran yang kacau. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat, dan aku mengalami syok.
“Hei! Kenapa kau tidak memperhatikan jalan?!” Pengemudi itu berteriak padaku dan menyalahkanku.
“Maafkan aku, Tuan.” Aku membungkuk sekilas dan mengakui kesalahanku. Aku sangat terkejut hingga detak jantungku berdegup dua kali lebih cepat, dan membuat sekujur tubuhku merasa lemas.
Tiba-tiba saja pandangan mataku memburam, kepalaku berdenyut dan terasa sakit. Sebelum kesadaranku benar-benar menghilang, aku melihat ada seseorang yang baru saja keluar dari pintu belakang mobil itu dan mendekatiku. Aku bisa melihat kaki jenjangnya di antara pandanganku yang buram. Belum sempat aku melihat wajahnya, kesadaranku menghilang.
Aku tidak tahu sudah berapa lama tidak sadarkan diri. Saat kedua mataku kembali terbuka, pandanganku mengedar di ruangan asing saat ini. Aku tidak tahu ini di mana, tetapi di tanganku sudah terpasang selang infus. Hanya saja, aku tidak merasa ini ada di rumah sakit. Tempat ini seperti sebuah kamar pribadi.
Aku terbaring di sebuah tempat tidur besar, dengan meja kecil di setiap sisinya. Kamar ini memiliki jendela yang tertutup tirai, hingga aku tidak bisa melihat suasana di balik tirai itu. Tempat ini sangat berbeda dari rumah sakit, terlalu mewah jika aku berada di ruang VVIP. Hal lain yang membuatku terkejut adalah suara berat yang terdengar tidak asing. “Kau sudah bangun rupanya.”
Aku seperti mengenal suara itu, tiba-tiba saja tubuhku terasa membeku. Beberapa kali aku menelan ludah, berharap dia bukan yang saat ini ada di pikiranku. Namun, seketika mataku terbuka lebar, terlebih saat pandangan mata kami bertemu. Aku mengenalnya, dia adalah bosku—Tuan Devan. Sosok yang terkenal dengan sikapnya yang dingin dan kaku. Sampai banyak rumor yang mengatakan dia berdarah dingin, pembunuh, bahkan seorang penyuka sesama jenis. Itu semua bukan tanpa alasan, apalagi Tuan Devan tidak pernah terlihat menjalin hubungan dengan seorang wanita.
“Tuan Devan.” Suaraku begitu pelan saat menyebutkan namanya. Aku benar-benar takut untuk menyapanya apalagi bertatapan secara langsung seperti ini.
Sejujurnya, aku cukup kasihan pada Tuan Devan karena dia terlihat tidak bisa menikmati hidupnya dengan baik. semua terlihat jelas dari sikapnya dan perilaku saat di tempat kerja. Tuan Devan adalah pria penggila kerja, jika terjadi kesalahan sekecil apa pun, maka orang lain pun akan terkena imbasnya. Yang kutahu, selama bekerja di sana, Tuan Devan adalah orang terakhir yang keluar dari kantor, di saat semua orang sudah berada di rumah mereka. Meski begitu, tidak pernah ada yang tahu kebenaran mengenai perjalanan hidupnya.
“Katakan. Apa kau sengaja melakukan semua ini? Apa kau mencoba untuk menarik perhatianku?” Aku tercengang dengan pertanyaan yang diberikan Tuan Devan. Kali ini sikapnya menunjukkan bahwa, rumor itu sepertinya memiliki kebenaran.
Aku bisa melihatnya menatapku dengan penuh tanda tanya. Seperti menelisik dan mencari tahu apa yang sedang kulakukan. “Tentu saja aku tidak melakukannya, Tuan. Aku minta maaf jika kejadian ini membuatmu repot dengan kondisiku.” Dengan cepat aku menjawab pertanyaannya agar tidak menimbulkan rasa curiga yang semakin berlebih.
Sudah beberapa kali aku mendengar, Tuan Devan memiliki sikap yang menyimpang. Banyak yang berkata jika itu menjadi salah satu penyebab dia sampai saat ini masih sendiri.
Sayangnya, aku melihat ada perasaan tidak percaya dari Tuan Devan kepadaku. “Bagaimanapun aku sudah bertanggung jawab. Kau bisa pergi setelah kondisimu membaik.”
Tuan Devan masih saja terlihat acuh padaku, dia seperti tidak peduli dengan kondisiku dan hanya melihat bahwa, aku baik-baik saja. Itu sungguh membuatku tidak heran padanya yang memiliki sikap kaku dan dingin.
Aku cukup terkejut dengan ucapannya. Pria itu segera berdiri, tetapi setelah itu aku teringat dengan pamanku. Aku ingat saat sebelum kesadaranku menghilang. Aku sedang berjalan menuju rumah sakit untuk melihat keadaan paman. Tetapi, aku justru berakhir di tempat ini yang bahkan aku tidak ketahui di mana.
“Terima kasih, Tuan Devan. Jika boleh tahu, ini di mana?” Aku bertanya untuk memastikan keberadaanku. Aku juga ingin tahu apa alasan dia membawaku kemari.
Kulihat tubuhnya berbalik, dia kembali menatapku dengan tajam lalu berkata, “Di rumahku. Aku tidak ingin membuat keributan dengan membawamu ke rumah sakit. Cukup merepotkan saat tahu kau yang saat itu tidak sadarkan diri di depan mobilku.”
Pantas saja, tempat ini terlihat begitu mewah dan berbeda dari apartemen maupun rumah sakit. Tidak heran jika dia membawaku kemari, rupanya itu adalah alasannya. Hanya saja, entah mengapa pikiranku begitu kacau saat ini. Aku tidak bisa menahan perasaan cemas mengenai biaya rumah sakit paman Jeff.
“Kupikir ini adalah rumah sakit. Rupanya tempat ini adalah rumahmu, Tuan. Aku teringat jika sebelumnya aku berusaha untuk bisa sampai di rumah sakit. Tetapi, aku justru berada di sini.” Aku begitu bingung saat ini memikirkan bagaimana keadaan paman.
“Aku sudah memanggil dokter untukmu. Dokter itu berkata bahwa kau baik-baik saja. Jadi, kau tidak perlu ke rumah sakit lagi setelah ini.” Tuan Devan sepertinya salah paham dengan ucapanku. Tatapan matanya begitu curiga padaku, sehingga membuatku merasa takut.
“Tidak, Tuan. Bukan seperti itu. Aku harus ke rumah sakit untuk menemui pamanku, dia sedang sakit dan di rawat di sana.” Saat mengatakan kalimat ini, aku menatap wajah Tuan Devan. Terbesit dalam benakku untuk meminta bantuannya.
Tuan Devan adalah orang yang berkuasa di tempatku bekerja, melihat rumahnya yang mewah. aku yakin dia sangat kaya karena memiliki beberapa gedung dan seorang pelaku bisnis yang terkenal. Bahkan, aku merasa jika Tuan Devan bisa membantuku dan memberikan pinjaman agar paman Jeff bisa segera di operasi. Namun, aku masih takut untuk mengucapkan kalimatku. Bahkan, sudah beberapa kali aku menelan ludah untuk bisa tenang.
“Tentu saja urusan pamanmu, bukanlah urusanku. Aku tidak mau tahu mengenai hal itu. Tapi, kau tidak sadarkan diri di depan mobilku.” Tuan Devan seperti tidak peduli dengan ucapanku. Aku mengerti kenapa dia bersikap seperti itu, pria itu memang sangat dingin dan cenderung mengabaikan orang-orang di sekitarnya.
Aku mengangguk dan berusaha untuk tetap tenang, tetapi hatiku masih saja mendorong bibir untuk berkata dan memohon bantuannya. Beberapa kali aku mencoba untuk menatapnya, tetapi selalu saja aku ketakutan. Tuan Devan masih melihatku dengan tajam, ekspresinya begitu membuatku tidak nyaman.
“Kupikir kau sudah bisa pergi, kondisimu tidak seburuk dugaanmu.” Suara beratnya membuatku menelan ludah, aku mengangkat kepala dan memberanikan diri untuk melihatnya.
Kali ini, aku harus mengatakan maksudku, “Tuan Devan, apa aku bisa meminjam uang padamu? Pamanku membutuhkan biaya untuk operasinya, dan aku sudah berusaha sampai sejauh ini, tetapi tidak ada yang membantuku.” Aku menjeda ucapanku dan memikirkan apa yang bisa kulakukan agar Tuan Devan tidak menolak permohonanku ini.
Kedua matanya masih menatapku dengan tajam, aku tahu dia sedang menunggu kalimat selanjutnya dariku. “Aku akan melakukan apa pun yang kau inginkan, Tuan. Bahkan, aku siap menjadi budakmu.”
Aku tidak bisa berpikir dengan jernih, apa yang ada di kepalaku saat ini sudah kuucapkan. Dengan terpaksa aku mengatakan itu semua, demi biaya operasi paman Jeff. Kepalaku kembali tertunduk, aku benar-benar menunggu jawaban dari Tuan Devan.
Beberapa detik berlalu, Tuan Devan masih terdiam di tempatnya. Tidak ada pergerakan yang menunjukkan bahwa dia akan menjawab permohonanku ini. Hingga aku melihat dia menggerakkan kakinya untuk menuju pintu. Sontak aku pun memanggilnya, “Tuan Devan!”
Seperti mengacuhkan, Tuan Devan masih berjalan menuju pintu. Sampai dia menghentikan langkahnya, dan membalikkan tubuhnya untuk melihatku. Saat ini aku kembali menelan ludah, berusaha mengatur napas agar bisa menerima jawaban yang mungkin tidak sesuai dengan apa yang kupikirkan.
“Jadi, apa jawaban Tuan Devan mengenai permohonanku ini?”