2. Berbagi Kebahagiaan

1072 Kata
Clara menghela napas, baru saja ia sampai di rumah dan tidak menemukan ayahnya, padahal hari sudah sore. Jam kantor ayahnya seharusnya sudah berakhir. Ia menemukan beberapa undangan acara amal yang tergeletak di meja kerja ayahnya. Clara Lissa membaca satu per satu dan meletakkan kembali ke tempat semula. Karena tidak menemukan orang yang dicarinya, Clara memutuskan untuk menuju ke kamarnya yang terletak di lantai dua. Perut Clara sudah lapar sekali, lebih baik ia segera mandi dan makan duluan. Ia akan makan lagi nanti ketika ayahnya pulang. Saat membuka kamarnya, ia bisa langsung melihat foto ibunya. Ada foto-foto berukuran kecil yang tertata cantik di nakas di mana gambar-gambar itu terlihat sangat penuh dengan kebahagiaan. Di dalam foto-foto itu mereka bertiga tersenyum sangat lebar. Clara masih kecil, ibu dan ayahnya juga masih terlihat muda. Clara jadi ingin kembali ke masa dulu di mana ibunya masih hidup. George Lavolta baru saja kembali dari kantor dan segera menemukan putri semata wayangnya yang sedang menonton televisi. Mendengar ada suara langkah yang mendekat, Clara langsung mencari tahu dan melihat kalau ayahnya sudah pulang. “Ayah. Kenapa pulang malam? Aku sendirian di rumah.” Seperti biasa, Clara akan bergelayut manja di sebelah ayahnya. Clara langsung membantu George membawakan tas laptopnya. “Cepat mandi, aku akan menyiapkan makanan untuk kita.” Clara selalu ceria jika bersama dengan ayahnya. “Biarkan pelayan yang melakukannya.” “Tidak. Aku sayang Ayah, aku akan melakukannya sendiri.” Clara cukup keras kepala. George melihat ke arah punggung anaknya yang akan menaruh tas ke ruang bekerjanya. Tidak mau membuat Clara menunggu pria paruh baya itu masuk ke kamarnya dan mulai membersihkan diri. Ketika George ke meja makan, sudah ada putrinya yang tersenyum lebar. Andai Diana masih hidup, pasti kebahagiaannya bertambah banyak. Sayangnya penyakit kanker merenggut istrinya beberapa tahun yang lalu. Itu merupakan pukulan bagi dirinya juga anaknya. “Ayah, setahun lagi aku lulus kuliah. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan setelahnya. Kira-kira kalau aku ingin bekerja magang, apa yang harus kulakukan untuk mendapatkannya?” “Hmn, kau ingin magang di mana? Dari wajahmu, putriku paling cocok bekerja di perpustakaan daripada di bank.” George sangat mengenal putrinya yang tidak suka melakukan kegiatan yang memusingkan. Meskipun kurang pandai, George sangat menyayangi Clara. Clara adalah anak yang penurut dan cantik. Selain itu sifatnya sangat perhatian dan baik hati. Hal itu selalu membuatnya teringat dengan mendiang Diana, ibu Clara Lissa. “Ayah, aku tidak begitu pandai membuat surat lamaran magang. Nanti aku akan membuatnya, tolong dikoreksi jika ada yang keliru. Meskipun itu akan kumasukkan setengah tahun lagi, tapi aku harus belajar membuatnya.” “Baik. Sekarang makanlah dulu. Itu masih sangat lama sekali.” “Iya, Ayah.” Dengan patuh Clara menuruti ayahnya. Mereka memulai makan malam ditemani dengan obrolan-obrolan ringan. Clara menceritakan kegiatannya di kampus dan George mendengarkannya sambil menanggapi. George juga bercerita tentang kegiatannya dan siapa saja yang ia temui kepada Clara. Mereka berdua memang sangat dekat. Bukankah anak perempuan selalu bisa dekat dengan ayahnya? Sayangnya, Clara Lissa sudah tidak memiliki ibu lagi, sehingga hanya ada ayahnya yang bisa ia jadikan tempat mengeluh dan berbagi kebahagiaan bersamanya. *** Pukul sepuluh Eros ke luar dari perpustakaan. Semua tugasnya sudah selesai dan besok ia bisa menyetorkan kepada dosen-dosennya. Berada di tahun terakhir, Eros jadi semakin rajin. Ada banyak bisnis ayahnya yang harus ia tangani selepas lulus dari kampusnya itu. Umur Eros sudah 25 tahun dan ia sedang merancang untuk tugas tesisnya. Judul sudah mendapatkan persetujuan. Kegiatan selanjutnya adalah pelan-pelan mencari bahan dan melakukan penelitian. Ketika Eros ke luar dari gerbang, sudah ada pengawalnya yang membukakan pintu mobil. Mereka memang kadang menjemput Eros ketika pria itu sangat lelah dan pusing. Selama di dalam mobil, mata Eros lebih banyak terpejam. Tidak ada banyak percakapan yang terjadi. Sopir Eros langsung mengantar majikannya ke rumah untuk beristirahat. Ketika sampai di rumah ia melihat ibunya yang sedang makan malam dengan ayahnya. Agak aneh ketika mereka makan di jam seperti ini. Eros langsung duduk di depan ibunya dan ikut makan. “Eros, cuci tanganmu dulu.” Ibunya langsung memberi peringatan. “Tanganku bersih.” Eros tampak tidak peduli. “Kau memang anakku … susah diatur.” Ayah Eros melirik tajam ke arah Eros. Sadar kalau ayahnya secara tidak langsung menyuruhnya untuk mematuhi ibunya, ia bergegas mencuci tangannya sebelum makan. Karena ibunya sangat perhatian kepada Eros, ketika ia kembali sudah ada makanan yang tersaji di piringnya. Mereka pun makan dalam keheningan. “Nak, ibu ingin melihat pacarmu. Kau itu sudah 25 tahun.” Topik yang sama yang sudah sangat dihapal Eros di luar kepala. Lagi-lagi ibunya menuntutnya untuk mencari kekasih. “Aku tidak punya pacar.” Kata Eros datar. “Ayahmu dulu memiliki banyak pacar saat seusiamu.” Tampang ayah Eros begitu mengerikan, istrinya seperti kembali mengorek masa lalunya yang malas ia ingat-ingat. Secara tidak langsung istrinya mengecapnya sebagai seorang player sejati. “Masalahnya aku sangat sibuk untuk mengurusi pacar atau memiliki kekasih, Bu. Selain itu aku memang belum menemukan orang yang kuinginkan.” Eros selalu memiliki alasan yang sama. “Apa kau tidak menyukai wanita?” Ibunya bertanya. Ada sorot kekhawatiran di sana. “Aku normal, Bu.” Eros tampak bosan sekali jika ditanyai soal itu. Apakah laki-laki yang tidak suka berpacaran bisa dikatagorikan sebagai pecinta sesama jenis. Ini terdengar menggelikan di mata Eros. “Tapi kau tidak punya pacar.” Ibunya kembali memutar-mutar kalimatnya yang intinya adalah sama, yaitu menuntut Eros untuk mencari anak gadis yang bisa dibawa ke depan orang tuanya. Ini terasa menyebalkan. Ia malah ingin pulang ke rumah pribadinya daripada datang ke rumah orang tuanya. Ibunya terlalu cerewet soal masalah kebersihan dan pasangan hidupnya. “Ingin ibu kenalkan dengan anak-anak teman Ibu?” “Tidak, terima kasih.” Jawab Eros cepat. melakukan kencan buta adalah hal yang sangat Eros hindari. Ia cukup mampu untuk mencari kekasihnya sendiri. Kadang ibunya selalu repot soal jodohnya, padahal jodoh ada di tangan Tuhan. Ayah Eros lebih banyak diam, tidak mau ikut campur. Menurut pendapatnya, Eros masih sangat muda. Masih banyak hal yang bisa dilakukan oleh putranya selain berpacaran atau menemukan calon istri. Ia tahu kalau istrinya begitu mencintai anaknya, sehingga kadang bertingkah menyebalkan. Sudah lama sekali mereka tidak berkumpul bersama di meja makan, karena Eros biasanya datang berkunjung ketika dirinya bekerja. Eros sudah seperti teman baik istrinya, bukan dirinya. Eros lebih banyak menghabiskan waktu dengan ibunya. Selebihnya Eros akan sibuk di kampus dan bekerja di waktu-waktu luangnya. Ayah Eros tidak bisa banyak mengeluh, karena dirinya terlalu sibuk dengan pekerjaan rutinnya yang menyita banyak waktu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN