9

1578 Kata
Malam harinya, ketika Athena terbangun karena rasa haus yang begitu hebat melanda tenggorokannya, membuatnya harus turun dari ranjang tempat tidurnya. Karena dia tidak lagi memakai selang infus atau alat lainnya selain rutin melakukan penyuntikan guna mengurangi rasa sakitnya akibat jahitan dan kotoran yang sudah dibersihkan dari luka robekan di belakang kepalanya. Langkahnya yang terbalut kaus kaki nyaman menelusuri lantai koridor rumah sakit yang sepi. Dia berbelok, bertemu militer yang berjaga dan Athena segera menepi, menyembunyikan diri dari tatapan mereka yang tajam. Dia berjinjit, guna menyamarkan langkah kakinya yang mungkin bergema karena dia percaya, insting tajam anggota militer Dalla dan kemampuan mereka mengenali suara langkah kaki lebih peka dari orang biasa macam dirinya. Athena menghela napas ketika kakinya sampai membawanya ke dapur yang sepi. Dia menuang air dalam gelas plastik, meminumnya dalam tiga kali tegukan dan kembali meminum air untuk mengatasi rasa haus berlebihnya. Samar-samar dia mendengar langkah kaki masuk melalui pintu dapur yang belum sempat dia tutup. Athena menahan napas, menggigit permukaan gelas plastiknya dan bersembunyi di kolong meja dapur dengan hati-hati saat dia merangkak masuk. "Kenapa Letnan Edsel tidak menutup pintunya?" Panglima Sai? Mengapa dia ada di dapur selarut ini? Apa dia sama seperti Athena? Pergi untuk mengatasi rasa hausnya? Tapi perlahan, Athena mendengarkan suara langkah sepatu itu menjauh. Panglima Sai jelas tidak ingin minum seperti dirinya. Athena mencoba merangkak keluar, merasakan atmosfir dapur yang berubah panas dan tenang, dia kembali berdiri. "Kenapa pintunya dikunci?" Athena sekuat tenaga menahan jeritan ketika dia mencoba membuka gagang pintu dapur dan gagal. Dia tidak mungkin menggedor pintu ini agar seseorang membukakan pintu ini untuknya. Atau dia akan ketahuan terjebak di dalam sini. Manik hutannya melebar tatkala dua anggota militer Dallas berlalu-lalang di depan pintu dapur. Athena menahan napas, menemukan lampu dapur yang mati secara mendadak dan meninggalkan sesuatu yang menyala dari ruangan lain yang misterius. "Aku tahu, makhluk gaib bernama iblis atau setan atau apa pun itu entahlah bernama apa pernah hidup di zaman sebelum perang dunia. Tapi tolong, aku tidak ingin terjebak lebih jauh di sini." Athena berlutut, bergetar menahan takut karena dia akan mendapat masalah jika keesokan paginya anggota militer menemukannya ada di lantai dapur dalam keadaan tertidur pulas. Tak lama suara rintihan terdengar. Manik senada hutan pinus itu melebar. Athena mengintip dari tepi meja dapur, dan menemukan lagi-lagi ruangan misterius itu mengundang tanya dalam kepalanya. Athena mencoba bangun dan berjalan. Mengendap-endap masuk lebih jauh ke dalam area tersembunyi dapur yang tidak pernah dia sangka sebelumnya akan seluas ini hanya untuk rumah sakit. Athena melebarkan mata, menatap interior ruangan tersembunyi yang ada di belakang kulkas besar. "Empat puluh sembilan ..." "Lima puluh." Disusul suara erangan tertahan yang menyakitkan. Athena ingin mundur dan melarikan diri agar dia tidak terlibat lebih jauh lagi. Tetapi rasa penasaran itu begitu menggelitiknya hingga ke akar. Ruangan itu seakan memanggilnya untuk masuk sekadar mengintip apa yang terjadi di dalam. "Sudah cukup, Letnan." Athena bergerak lebih dekat menuju pintu baja yang meninggalkan celah kecil terbuka. Mengundangnya untuk datang lebih dekat dan mengintip ke dalam apa yang terjadi. Karena dia dengan jelas mendengar suara Panglima Sai dari dalam ruangan misterius itu. Genggaman Athena pada gelas plastiknya menguat. Buku-buku tangannya memutih. Saling meremas satu sama lain tak sabar ketika dia berdiri di sisi celah yang terbuka dan mengintip hati-hati ke dalam. Letnan Edsel, Panglima Sai dan tunggu. Siapa pria yang berlutut dengan punggung telanjang penuh luka cambukan itu? "Sudah selesai, Jenderal." Jenderal? Sepasang giok hijaunya melebar penuh. Dia tidak bisa menutupi keterkejutannya menemukan Sang Jenderal berdiri dengan luka cambukan di punggungnya dengan sang pelaku utama, Letnan Edsel. Kenapa? Kenapa Letnan Edsel menyakiti Jenderal? Sang Jenderal bertelanjang d**a. Hanya memakai celana kain, yang pria itu gunakan ketika dia tidur. Dan jubah hitam yang tergeletak di atas meja, yang dia raih dan memasangkannya pada tubuh kokohnya. Menyembunyikan luka itu dari dunia luar. Gelas plastik yang dia genggam merosot jatuh membentur lantai dalam tiga kali ketukan ringan yang sayangnya membawa malapetaka bagi Athena. Dia menahan napas, karena mereka sedang dalam kebisuan yang tenang, suara gelas plastik itu jelas mengusik mereka. Athena memejamkan mata. Menyumpahi kebodohannya sendiri karena dia mencari kematiannya di dalam dapur ini. Dapur misterius ini. Dasar laknat. Insting anggota militer seragam hitam Dallas benar-benar mengerikan. Termasuk indera pendengaran mereka dan penciuman yang tajam dan amat peka dengan sekitar sama sekali tidak menguntungkan Athena. Apakah aku harus berpura-pura pingsan? Dia tidak punya waktu untuk melarikan diri. Karena pintu utama dapur terkunci, Panglima Sai dan Letnan Edsel akan menggempur dapur ini layaknya medan perang guna mencari siapa penyusup yang berhasil merekam kegiatan aneh mereka di dalam ruangan dapur yang tersembunyi. Athena berdiri, memunggungi mereka dalam remasan tangan yang kuat. Dia bersiap berteriak atau apa pun untuk memancing para militer masuk dan menolongnya keluar dari sini. Panglima Sai membuka pintu. Matanya tak kuasa membelalak terkejut ketika dia mendapati sosok Athena yang memunggungi dirinya dalam diam. "Aku yakin, kau mengunci pintunya. Tapi—" Suara Letnan Edsel terputus tatkala dia ikut berdiri, melihat siapa penyusup kecil yang memiliki keberanian tingkat tinggi masuk ke dalam sini. Dan napasnya terhenti. Begitu pula ucapannya. Yang tertahan di ujung lidah. Menatap sosok lemah yang berdiri memunggunginya. Athena mencoba memberanikan diri dengan tekad yang selalu dia rapal dalam hatinya untuk tidak mati sia-sia sebelum dia berhasil membuat pencapaian besar dalam hidupnya. Dan sekarang, mungkin itu tidak lagi berguna. Dia akan mati. "Bagaimana bisa—" Panglima Sai mengerjap. Dia sendiri tidak mampu berkomunikasi dengan baik. "—kau di dalam sini?" "Aku bisa jelaskan. Sungguh." Athena ingin berlutut memohon ampun, tetapi dia tidak melakukannya karena dia tidak bersalah. Dia tidak mencuri, tidak melanggar pasal di Dalla. Dan dia tidak melakukan tindak kriminal karena memergoki Panglima Sai dan Letnan Edsel mencambuk Jenderal Dalla. Athena berteriak pelan. Dia masuk, menerobos pintu dan secara tidak sengaja menabrak bahu Letnan Edsel yang membeku di ambang pintu. "Jenderal, aku bisa jelaskan." Sang Jenderal berbalik setelah mengikat tali jubah hitam pekatnya. Gerakan tangannya tertahan, memandangi tubuh istrinya yang bergetar di depan pintu dengan kedua alis menekuk tajam. Sang Jenderal sama terkejutnya dengan dua tangan kanan terbaiknya. "Kau—" manik kelam Sang Jenderal menatap tajam pada dua tangan kanan terbaiknya. "Bagaimana bisa kau masuk ke dalam sini?" "Aku bisa jelaskan." Athena bertahan untuk mengambil hati suaminya kala Sang Jenderal menarik pelatuk, bersiap menembak kepala Letnan Edsel. Lantas, dengan gerakan yang tak diduga, Athena merentangkan tangan, melindungi Letnan Edsel dari amukan Sang Jenderal. "Aku bisa jelaskan. Kau dengar aku!?" Athena berteriak keras dan satu peluru bergaung menembus ruang kedap suara yang menembus salah satu plafon hingga berlubang. "Jangan lakukan ini. Kau bisa mati di tangannya." Letnan Edsel menarik tangan kurus Athena untuk bergeser dan menyingkir dari amukan Sang Jenderal yang meledak-ledak tanpa sebab. Letnan Edsel bermaksud menolongnya, dan Athena sama sekali tidak gentar. Mencoba menahan dirinya untuk tidak lari dan berlindung. "Taruh senjata kalian. Sekarang!" Panglima Sai melempar senjatanya bersamaan dengan Letnan Edsel. Di sisi lain, Athena semakin pucat dan kepalanya berdentam hebat memikirkan pertumpahan darah antara Sang Jenderal dengan tangan kanan terbaiknya. Dan itu karena dirinya? Jangan bercanda. Athena tidak seberarti itu di kehidupan mereka. "Dasar gila!" Athena berteriak pada Sang Jenderal. Menendang senjata itu keluar ruangan dan dia mendorong bahu keras Letnan Edsel dari ambang pintu. Menutup rapat pintunya dengan satu putaran, dan pintu itu terkunci. "Sekarang, hanya ada kau dan aku." Athena maju dua langkah ke depan dengan hati penuh tekad. Jika dia harus mati di sini ... "Lakukan itu padaku." Moncong pistol itu bergeser ke pelipisnya. Menekannya cukup dalam. Tempias sinar lampu membuat ekspresi dingin Sang Jenderal semakin jelas terlihat di dalam matanya. "Jenderal. Dengarkan kami, jangan lakukan apa pun." Letnan Edsel terus menggedor pintu itu dengan sekuat tenaga. Dia mencemaskan Athena di dalam sana dan jelas usahanya sia-sia ketika Panglima Sai menariknya mundur untuk menyerah. Matanya menari-nari penuh hasrat. Athena tidak lagi bisa berpikir jernih selain kalimat mantera yang mampu menenangkannya. Mengutarakan cintanya pada Immanuel Gildan dalam hati dan merapalkan umur panjang bagi kekasih hatinya. Tatapan itu membakar Athena sampai menembus dadanya. Bibirnya menipis ketat, tidak mampu berkata satu kata pun selain desisan getir yang menyakitkan. "Apa yang kau tunggu?" Tanpa diduga-duga sebelumnya. Athena kehilangan napas kala Sang Jenderal melempar pistolnya ke sembarang arah, membawa kedua kakinya terangkat dari lantai dan Athena melingkarkan tangannya di leher kokoh Sang Jenderal untuk berpegangan agar dia tidak terjatuh. Tubuhnya terhempas jauh ke atas sofa besar yang bisa dijadikan alas untuk tidur. Athena merintih, merasakan denyutan samar di belakang kepalanya. Pada bekas lukanya yang belum sepenuhnya membaik. Ciuman kasar Sang Jenderal menuntunnya untuk membalas. Athena mengerang tak tahan. Dia mendorong kedua bahunya untuk menjauh, melempar pandangan tak bersahabat pada Jenderal yang terus memaksakan kehendak padanya. "Biar kupanggilkan dokter untuk mengobati lukamu." "Tidak." Bibirnya jatuh menggigit gemas leher dan telinganya. Meninggalkan jejak kemerahan yang basah. Panas menjadi teman mereka saat ini. Athena menggigil di bawah sentuhan kasar Sang Jenderal ketika dia lagi-lagi harus menang menghadapi logikanya sendiri. "Dengarkan aku, Jenderal. Kalau kau tidak ingin dokter mengobatinya. Aku akan melakukannya." "Apa?" "Mengobati lukamu." Tatapan Sang Jenderal turun ke bawah tubuhnya. Seolah menelanjanginya dengan tak pantas. Athena meremang di bawah tatapannya karena dia hanya memakai pakaian rumah sakit. Memakai pakaian pasien pada umumnya dan tidak ada niat apa pun untuk menggoda Sang Jenderal saat ini. "Tidak." Athena memiringkan kepala ketika mendapat jamahan di lehernya sekali lagi. Tempat dimana Sang Jenderal gemar menandai dirinya sebagai miliknya. Kedua mata bulatnya bersinar tak kenal takut membalas tatapan dingin Sang Jenderal hanya untuk menahan Jenderal itu agar mau menuruti ucapannya. "Aku tidak akan melayanimu sampai kau menuruti apa yang kuminta."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN