8

2863 Kata
Letnan Edsel turun dari tank militer yang dikendarainya. Melompat ke atas tumpukan salju yang menggumpal ketika sepatu boot militernya berjalan, membelah salju dengan langkah tegas dan dingin. Distrik Sopa dikejutkan dengan kedatangan anggota militer Dallas yang memakai seragam tempur mereka. Ketakutan merajalela. Mereka mulai bersembunyi di dalam rumah saat mobil-mobil militer berjalan memantau kawasan penduduk yang perlahan sepi karena penduduk mulai bersembunyi di dalam rumah-rumah mereka. Panglima Sai melangkah maju, mulai menyisiri Distrik Sopa yang terkenal dengan kecintaannya terhadap bulan di musim semi. Dia melangkah yakin, menatap pemukiman yang bangunannya sama rata antara satu sama lain, sesuai yang diperintahkan Jenderal Dalla, tidak ada perbedaan manusia satu dan yang lainnya. Rakyat tetaplah rakyat. Wanita dan anak-anak pada dasarnya dilindungi Dalla. Karena mereka terlahir lemah dan butuh perlindungan, Dalla mengendurkan aturan mereka pada wanita dan anak-anak. Terutama para janda yang ditinggal suami mereka karena kematian, bukan perceraian. Hidup mereka dijamin Dalla penuh hingga ajalnya tiba. Tetapi terkadang, otak dibalik penyerangan terhadap negara ada pada wanita. Seperti beberapa tahun silam ... Lamunan Letnan Edsel pecah tatkala dia mendengar suara jeritan dan disusul ledakan berskala rendah ada di sudut permukiman. Asap hitap mengepul, Panglima Sai yang melihat ledakan itu segera berlari, menyusun strategi pada militer hitam agar sang pengacau tidak mampu melarikan diri ke hutan pinus. Tank-tank bergerak cepat membelah tumpukan salju. Membuat anak-anak menjerit tertahan karena besarnya ukuran tank itu bisa melindas mereka kapan saja, membuat tubuh mereka rata dengan tanah. Tidak lagi tersisa. Bunyi pistol meletus bergaung di tengah kesunyian. Letnan Edsel tersentak, dia memasang senjata laras panjangnya ketika militer hitam segera mengepung Distrik Sopa dari segala sisi. Pemberontak tetaplah pemberontak. Mereka tidak akan jera walau mendapat hukuman mati sekali pun. Darah itu akan terus mengalir sampai ke akar. Karena pada dasarnya, hukuman tidak akan membuat mereka jera. Melainkan kembali berkobar untuk menyalakan api peperangan sebelum jiwa keluar dari raga. Alis Letnan Edsel menekuk menemukan pria yang sehari-hari bekerja sebagai petani itu memegang senjata. Bagaimana bisa mereka mendapat senjata? Siapa yang mencurinya? Karena sebagian mata pencaharian rakyat di Distrik Sopa adalah petani. Maka tidak heran, tumpukan makanan sebagai persediaan pangan di musim mendatang selalu ada di dalam rumah mereka. Sebagian dari Departemen Pangan dan sebagian lagi dari hasil bumi mereka sendiri yang sudah diatur Dalla. "Tembak!" Panglima Sai memberi instruksi dan hujan peluru itu memekakkan telinga. Menimbulkan kengerian bagi penduduk yang mendengarnya. Tidak sanggup melihatnya karena salju yang seputih s**u itu akan berubah menjadi lautan darah sebentar lagi. Letnan Edsel memberikan perintah bagi tiga tank militer yang bersiap mengarahkan peledak mereka pada pemberontak yang bersembunyi di belakang tembok rumah warga. "Pastikan semua aman sebelum kalian melancarkan serangan.” Setelah mendapat informasi kalau rumah-rumah itu tidak ada siapa pun, serangan dilancarkan. Ledakan terjadi. Membuat jeritan warga terdengar sampai ke telinga Sang Letnan. Panglima Sai mengangkat senjatanya, membidik lawannya yang berusaha melarikan diri dengan kemampuan menembak jarak jauhnya. Dua sampai tiga peluru terbang bebas menembus d**a sang pemberontak hingga mereka tewas di tempat. Suasana yang tenang dan damai itu berubah mencekam. Memberikan kesan mengerikan yang absolut bagi warga Distrik Sopa yang mencintai kedamaian dan tidak mau ada peperangan antar saudara sebangsa. Namun apa daya, terkadang manusia-manusia itu lebih mencintai peperangan dibanding perdamaian. Panglima Sai menurunkan senapan laras panjang miliknya. Dia melirik Letnan Edsel yang mengetat dingin, memandang kengerian di depannya dengan sorot datar. Mereka selesai menghabisi pemberontak yang tersisa. Para anggota militer Dallas berlari menuju tempat lokasi, menemukan tidak ada satu pun dari mereka yang berlari ke arah hutan pohon pinus, semua pemberontak yang berasal dari Distrik Sopa resmi tewas. Letnan Edsel memberi kode bagi anak buahnya untuk kembali menyimpan senjata mereka. Serta menarik kembali tank-tank militer untuk mundur. Karena anggota lain bersiap membersihkan kekacauan dengan mengangkut mayat pemberontak di luar Benteng Dallas sebagai peringatan bagi rakyat Dalla untuk tidak memberontak. "Aku akan meminta Departemen Permukiman dan Penduduk untuk memperbaiki rumah-rumah yang rusak." Letnan Edsel mendekat ke arah Panglima Sai yang menyuruh anggotanya bergerak lebih cepat untuk menarik diri. "Baik, Letnan." Sebelum Letnan Edsel sempat memutar tubuh untuk pergi, dia melihat siluet seorang gadis berlari menuju hutan pohon pinus. Dua anggota militer Dallas yang melihatnya segera berlari, memberondong tembakan ke arahnya yang melesat menjauh dan melempar satu peledak ke arah mereka hingga anggota terlempar ke sembarang arah dan terluka ringan. Letnan Edsel segera menunduk, melindungi kepala serta tubuhnya ketika asap akibat ledakan dan bahan-bahan peledak yang mereka gunakan mendarat sempurna di atas tumpukan salju. Panglima Sai mendesis dingin. Matanya membakar penuh tekad menatap sosok itu. Sesosok gadis. Dugaannya benar, kalau ada wanita di balik otak pemberontakan terencana warga Distrik Sopa. Sosoknya hilang ditelan lebatnya hutan pohon pinus dan semak-semak belukar setinggi pinggang orang dewasa. Tangan Letnan Edsel terkepal, ketika tank-tank bersiap menembaki hutan dengan peledak berkekuatan sedang milik mereka, Letnan Edsel mengangkat tangan, menahan serangan mereka sebelum terlambat. "Tidak. Jangan lakukan apa pun." Dia berteriak, menoleh pada anggota militer yang memegang kendali di dalam tank untuk berhenti. "Kirimkan pasukan untuk menyusuri sepanjang hutan pohon pinus. Kita harus tangkap dia hidup-hidup." Perintah Letnan Edsel mutlak. Panglima Sai segera bergerak untuk mengumpulkan anggota, memberikan mereka strategi dan instruksi sebelum terjun ke dalam hutan yang kering. Setelah mereka masuk ke dalam hutan dengan persenjataan lengkap disusul dari beberapa mereka yang kembali ke benteng untuk menyiapkan persediaan, Panglima Sai menolehkan kepala. Alih-alih menemukan tatapan membakar marah khas Letnan Edsel yang sama besarnya dengan Sang Jenderal membenci pemberontak, sorot matanya tampak berbeda dan begitu rapuh. Apakah gadis itu ... Panglima Sai menipiskan bibir. Dia menatap langsung ke dalam mata Sang Letnan yang berpendar redup, seiring butiran salju yang turun membasahi seragam militer mereka terlihat pias di kedua matanya yang kosong. "Green Ariana." Panglima Sai tidak bisa bernapas dengan baik. Setelah nama itu disebut oleh Sang Letnan. Seakan ada perasaan lama yang menggumpal dalam benaknya menebak-nebak sesuatu yang sempat hilang. "Aku berpikir kalau kau sudah mati. Sudah sangat lama ..." Letnan Edsel mengepalkan tangan di kedua sisi tubuhnya. Bagai terkena hantaman meteor yang jatuh ke bumi, Panglima Sai berani bersumpah kalau dia melihat sepasang mata yang selalu tajam dan dingin itu berubah sendu, penuh kerinduan yang mendalam. *** "Aku?" Athena mengedarkan pandangannya bergantian antara tiga tetua dan Sang Jenderal yang duduk di sampingnya. "Jika ada dari kalian yang keberatan, silakan ungkapkan." Tiga tetua itu menipiskan bibir. Mereka saling berpandangan satu sama lain. Mencoba mencari tahu adakah yang berani menentang keputusan Sang Jenderal dalam memberikan wewenang penuh pada istrinya untuk mengurus departemen yang ada di Dalla. Setiap keputusan yang Jenderal umumkan, pastilah melewati pertimbangan yang matang. Jenderal satu ini tidak mungkin menetapkan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. "Tidak ada, Jenderal." Jenderal Levant mengangguk pelan dengan ekspresi puas. Dia berdiri, menunggu sang istri yang melamun, menatap ketiganya dengan sorot memohon untuk membela dirinya. Apa pun asalkan dia bisa dibebaskan dari tugas berat ini. Dia tidak bisa mengelola departemen yang benar-benar berpengaruh bagi kehidupan rakyat di Dalla. Dia bisa gila. Astaga, Athena ingin melarikan diri sekarang. "Berdiri, Athena." Athena berdiri dalam diam. Dia kembali menatap penuh memelas pada ketiga tetua yang membungkuk padanya. Karena bagaimana pun, posisi Jenderal tidak terkalahkan. Bahkan di mata tetua yang ikut andil dalam pembangunan skala besar Dalla di masa lampau. Langkahnya tenang mengikuti kemana Sang Jenderal pergi. Dia belum boleh pergi dari rumah sakit. Tetapi setelah diberikan obat, Athena dipersilakan menghirup udara bebas untuk sekadar melepas penat karena terkurung di dalam kamar tanpa bisa melakukan apa pun. "Karena jika kau bekerja, kau tidak akan punya waktu untuk berpikir bagaimana cara melarikan diri atau bagaimana cara membunuhku.” Senyum dingin tercetak di wajah tampan Sang Jenderal yang menunduk, memberikan kecupan ringan di sudut bibirnya dan ini tempat umum. Athena tidak bisa menahan malunya ketika dia mendorong d**a Sang Jenderal, memberikan tatapan peringatan terang-terangan. Namun, Jenderal berkeinginan lain. Dia memaksakan tubuh itu merapat ke dinding, memberikannya satu pagutan penuh damba yang berhasil menghabisi kehangatan di dalam mulut Athena ketika gadis itu terengah-engah dan Jenderal baru melepaskan diri. "Aku tidak akan melarikan diri." Alis Sang Jenderal terangkat sinis. Dia menghempaskan tubuhnya ke atas kursi kerjanya. Karena mereka saat ini ada di ruangan pribadi Sang Jenderal yang selalu tampak sepi. "Oh, apa yang bisa kupegang dari janjimu itu?" Sang Jenderal tersenyum tipis. "Apa yang bisa kau jamin?" Kali ini Athena yang dibuat membisu seribu bahasa. Dia berdiri gugup. Di hadapan meja besar Sang Jenderal yang berserakan gambar-gambar pemberontak Dalla. "Kau tentu mengenal pria yang satu ini, bukan?" Tangan Sang Jenderal meraih foto masa remaja Immanuel Gildan dengan senyum polosnya. Gildan terlihat tampan dengan seragam militer yang dia kenakan. Lengkap dengan topi militer khas Dallas menggantung di kepalanya. Senyum lebar Immanuel Gildan begitu berbanding terbalik dengan ekspresi dingin yang selalu dia tunjukkan sebagai raut permusuhan pada Dalla. Rasa rindu itu menyeruak tanpa permisi ke dalam d**a Athena. Membuatnya hampir limbung karena memikirkan Immanuel Gildan dan mencemaskannya sepanjang waktu. Karena tiap waktu begitu berharga bagi mereka, terutama untuk Gildan yang tengah berjuang menuntut haknya. Sudut bibir Sang Jenderal tertarik sinis. Dia melempar foto itu kembali ke atas meja dan menghamburkannya menjadi satu kesatuan. "Duduklah. Kau terlihat ingin pingsan di ruanganku." Athena mengerjap. Dia baru sadar kalau dia berdiri sejak dia datang. "Atau kau mau kupangku?" Dengusan pelan meluncur dari bibir tipisnya. Athena berbalik, menggeleng tidak percaya pada rayuan Sang Jenderal saat dia duduk pada sofa yang panjang dan nyaman, menatap Sang Jenderal dengan pandangan menyapu datar. "Aku tidak akan mencampuri urusan pemerintahanmu. Tidak sama sekali." Gerakan tangan Sang Jenderal menyusun foto-foto itu terhenti. Dia melirik Athena dan kembali membereskan meja kerjanya. "Ibu negara harus memiliki tanggung jawab sebagai contoh baik untuk rakyatnya. Kau secara tidak langsung akan menjadi panutan mereka, rakyat Dalla seperti mereka menjadikanku panutan dan contoh. Dan otomatis, itu juga harus menurun padamu.” Jenderal menjelaskan maksudnya menjadikan Athena pemimpin departemen yang ada di Dalla. Kepala merah muda itu menggeleng tegas. Rambut sebahuya bergoyang mengikuti gerakan kepalanya dengan manis. "Aku tidak akan melakukannya." "Biarkan semua orang tahu tentang kebaikanmu." "Jangan bercanda, Jenderal!" Athena mulai gemas. Suaranya tanpa sadar meninggi dan itu membuatnya terkejut. Dia membekap mulutnya sendiri, merutuki sifat kekanakkannya karena lepas kendali di hadapan pria yang memiliki pengendalian diri dengan baik layaknya Jenderal Levant. "Dimulai dari Departemen Pangan." Sang Jenderal mengacuhkan pelototan istrinya dari seberang mejanya. "Kau akan bekerja paruh waktu. Aku tidak akan membiarkanmu bekerja terlalu keras hingga melupakan kewajibanmu sebagai istri." "Aku tidak akan melakukannya." Bibir Sang Jenderal menipis ketat. Dia kembali berbicara tanpa memedulikan penolakan sang istri. "Lalu, Departemen Kesehatan. Ini sangat penting bagi rakyat Dalla." Athena berdiri tegak. Dengan kedua tangan bersidekap di depan d**a, dia menatap mata Sang Jenderal yang menyapunya datar dengan pelototan marah. "Aku tidak akan melakukannya. Kau masih paham apa yang kukatakan, kan? Atau aku harus bicara bahasa Kuvukiland pada suamiku sendiri?" "Jangan membantahku." Jenderal Levant mengendik pada sofa. "Duduk." "Jangan keras kepala. Aku ini pemalas. Aku tidak akan bekerja untuk pemerintahanmu. Aku tidak akan pernah mencampuri segala urusanmu! Kalau kau tidak paham apa yang kukatakan, aku akan menulisnya di papan besar-besar untukmu, Jenderal." Athena memutar badan, berjalan ke arah pintu keluar dengan langkah lebar tanpa Sang Jenderal mencegahnya pergi atau sekadar memanggil namanya untuk kembali. Yang tidak disangka sebelumnya adalah sang istri, membanting pintu ruangannya dengan keras. Hal yang tidak pernah dilakukan siapa pun di Dalla selama masa kepemimpinannya. "Dasar Jenderal tidak tahu diri," umpat Athena dengan bibir cemberut. "Kau buatku naik darah!" Dia memaki pada pintu yang tertutup. Tidak menampakkan wajah kaku Sang Jenderal yang membuatnya gemas terkadang ini meraup wajah itu dan mencakarnya hingga terluka atau berdarah jika itu diperlukan. "Aku akan masuk penjara di Dallas karena melukai suamiku sendiri." Athena mundur, merasakan kulitnya meremang sempurna kala dia memikirkan penjara yang gelap, pengap dan dingin. Dia akan mati membusuk tanpa ada satu pun yang peduli. Athena berani memaki dan mengeluarkan kata tak pantas karena Sang Jenderal tidak ada di hadapannya. Bagaimana kalau sang suami berdiri di sini? Athena akan menjadi gadis penurut. Dia masih mencintai Immanuel Gildan dan nyawanya sendiri. Karena sepanjang ilmu yang dia tahu dan pahami, tidak boleh siapa pun mengeluarkan kata makian pada satu sama lain. Kesopanan sangat dijunjung tinggi demi etika dan kehidupan antar manusia yang lebih baik. Terlebih pada suami atau anggota keluarga lain, karena etika kesopanan amat kental mengalir dalam tubuh rakyat Dalla, Athena mulai menyesalinya. Letnan Edsel dan Panglima Sai terdiam mengamati Athena yang berbicara sendiri di depan pintu masuk ruangan Sang Jenderal. Seolah gadis itu sedang sibuk dengan dunianya sendiri, bermonolog dengan ekspresi yang berubah-ubah. Terkadang kesal, jengkel, tiba-tiba berubah bingung dan kemudian sedih. "Kepalanya terluka karena hantaman batu. Aku rasa ada yang salah karena itu." Panglima Sai berbisik di samping Letnan Edsel yang menggeleng pelan sebagai reaksi. "Jaga bicaramu." "Apa tanggapan Dokter Sara tentang kondisinya?" "Tidak terlalu parah," balas Letnan Edsel singkat. Dia maju, mendekat ke arah ruangan Sang Jenderal kala Athena bergerak mundur, memberikan ruang untuk mereka masuk ke dalam. Panglima Sai meneliti penampilannya dan Felice Athena sama sekali tidak mencurigakan dengan pakaian hangat yang membungkus tubuh kurusnya. Rambut sebahunya terlihat sedikit berantakan. Dia terlihat lebih baik dari yang terakhir kali Panglima Sai lihat. Athena menekuk alisnya menatap pandangan Panglima Sai yang menyapunya seolah akan mengulitinya hidup-hidup dimana tidak akan dia lakukan karena seperti yang ingin Athena tolak keras-keras dalam hatinya, derajatnya sebagai istri Sang Jenderal membuatnya dihormati dan berubah menjadi prioritas dalam sekejap. Keselamatan dan nyawanya akan menjadi taruhan bagi para militer Dallas untuk melindunginya dengan nyawa mereka. Kedudukannya melesat setara dengan posisi Jenderal. Walau mungkin, dia tidak bisa memerintah para militer hitam berwajah kaku itu sesuka hati, tetapi mereka pastilah akan melakukan perintahnya atas tuntutan kedudukan dan posisi. Yang mana itu tidak akan berlaku bagi Sang Jenderal sendiri. Suaminya. Jikalau Athena terjebak di tengah samudera, Sang Jenderal akan membiarkannya berenang sampai ke tepi, dimana dia tidak akan bisa melakukannya dan memilih untuk menyerah lalu mati. "Menyedihkan sekali dirimu, Athena." Dia bergumam pelan, berjalan untuk kembali ke kamar inap rumah sakitnya. Dia lebih baik di sana, mengunci diri dari dunia luar dan tenggelam dalam khayalan tak nyata bernama mimpi. Itu lebih baik daripada dia harus terus-terusan berdiri tanpa tujuan di dalam Benteng Dallas. Lima belas menit Athena menghabiskan waktu untuk berdiri, memandangi salju yang turun deras di sore hari. Detik-detik pergantian musim akan tiba, dan Athena tidak sabar lagi menanti pohon-pohon kembali hidup dari kematian yang panjang. Para militer seakan tidak mengenal rasa dingin dan rasa lelah. Mereka berjaga sepanjang waktu demi keamanan Benteng Dallas. Berpatroli tanpa mengenal rasa kantuk dan lelah dengan senjata yang selalu melingkar di d**a mereka, sebagai bukti kalau mereka adalah prajurit militer terbaik yang Dalla miliki. Pintu kamarnya terbuka. Athena mengernyit samar menemukan Dokter Sara masuk dengan nampan berisi camilan dan buah. "Jenderal Levant memintaku untuk mengisi tubuhmu dengan nutrisi yang lebih banyak dan menyehatkan." Athena hanya mendesah pelan sebagai reaksi dari ucapan Dokter Sara. "Aku tidak akan berubah karena keinginannya." "Ini seperti pemberontakan kecil yang manis." Dokter Sara terkekeh pelan. Dia menaruh nampan itu di atas nakas, dan duduk di tepi ranjang tidur Athena. Mengamati gadis itu dalam diam dan bibir yang menipis sedang menahan sesuatu. "Bagaimana pendapatmu tentang Dalla?" Athena berpaling. Menatap ekspresi ramah Dokter Sara yang membius. "Kita dibesarkan di sini. Dilahirkan di tanah ini sampai sebesar ini. Tidakkah kau pernah berpikir kalau kau mencintai negara ini lebih dari dirimu?" "Aku tidak sejauh itu." Athena membalas singkat, kembali menoleh pada jendela di depannya. Karena hanya dengan menatap salju, mampu membuatnya lebih tenang. "Setiap manusia punya pendapat mereka masing-masing. Apa gunanya akal kalau mereka tidak menggunakannya dengan sebaik-baiknya?" Senyum Dokter Sara melebar misterius. "Ada yang mencintai perdamaian, ada pula yang mencintai peperangan. Sekarang, hanya tinggal dirimu. Dimana kau menempatkan dirimu saat ini." "Perdamaian adalah mimpi tertinggi dari keinginan setiap manusia yang terjebak dalam luka bernama peperangan. Kenapa harus ada perang kalau kita bisa menciptakan perdamaian?" Bibir Dokter Sara berkedut ke bawah mendengar jawaban Athena. Dia mendengus pelan, mengusap anak rambutnya yang jatuh menempel di dahinya. "Kau benar. Kenapa perang harus terjadi kalau kita bisa menciptakan perdamaian itu sendiri? Perdamaian yang diimpikan orang banyak.” "Tapi, kau tahu, tidak selamanya perdamaian tercipta karena keinginan manusia itu sendiri." Alis Athena menekuk mendengar kalimat selanjutnya dari Dokter Sara yang berdiri, memunggunginya dengan sorot mata lain. "Terkadang, perang itu perlu guna menyadarkan pihak yang berkuasa untuk mau mendengarkan hak dan mimpi orang lain tanpa berpikir tentang ego mereka masing-masing." "Tidak ada manusia yang sempurna, Dokter Sara. Kau paham itu." Dokter Sara tersenyum hangat padanya. Satu senyuman yang membuat Athena getir. Benaknya bertanya-tanya mengapa Dokter Sara terjebak di dalam benteng ini dan mengabdikan hidupnya pada Dalla kalau dia memiliki mimpi lain selain menolong pasien yang terluka atau sakit? "Kau, aku, bahkan Jenderal Levant pun tercipta penuh ketidaksempurnaan." Athena tersenyum samar. "Kau mengenal Sang Jenderal dengan baik." Dokter Sara melebarkan kepakan senyumnya hanya untuk menilai reaksi Athena. "Aku mengenalnya jauh lebih baik dari dirimu." Dan sayangnya, keinginan mendapati reaksi yang dia duga-duga dalam benaknya tidak ada. Istri dari Jenderal Dalla itu malah mengabaikannya, memalingkan muka seolah dia tidak bicara apa pun dan mengacuhkannya. Dokter Sara menggeram rendah. Menilai ekspresi Nyonya Dalla yang terlampau datar dan kosong. Mereka menikah bukan karena dasar cinta. Dan jelas, kepedulian Athena pada Sang Jenderal tidak ada. Tidak ada gunanya Dokter Sara memancing gadis itu. Mereka berdua menikah mungkin karena desakan lain. Yang jelas, tidak ada cinta. Dokter Sara berlalu sambil menyimpulkan hasil pengamatannya di dalam kepala.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN