14

1398 Kata
Athena fokus pada tulisan tangannya untuk menyalin laporan minggu lalu dalam bentukan baru sebelum dia menyerahkannya pada Letnan Edsel dan kemudian Letnan akan memberikannya pada Jenderal. Memang siapa yang sudi mengirimkan laporan ini di depannya langsung? Dirinya. Tidak. Mata Athena mengintip Maru yang sibuk menata kardus dengan hati-hati. Walau dia masih muda, Maru terhitung gesit dan rajin. Dia berulang kali membantu pegawai lain yang kesulitan dan kepayahan karena usia mereka atau jika distribusi pangan datang dalam jumlah banyak, Maru akan senang hati membantu mereka tanpa mengeluh. "Nona Athena, ini data pengeluaran dari Departemen Pangan untuk Distrik Sopa. Jenderal memerintahkan untuk menambah bahan makanan karena kekacauan yang dibuat para pemberontak membuat anak-anak dan wanita kesulitan." Kepala merah muda Athena mengangguk pelan. Dia menatap gadis manis itu dengan mata tajam. "Bagaimana dengan Departemen Kesehatan?" "Mereka sedang mengembangkan obat ramah lingkungan untuk anak-anak yang memiliki kelainan genetik pasca perang dunia kelima. Sampai saat ini belum selesai karena selalu menemukan kegagalan di setiap percobaan. Departemen Kesehatan sedang menelitinya lagi.” Athena lagi-lagi mengangguk. Dia menatap tulisan itu dan memberikan instruksi agar dia pergi. Meninggalkan Athena lagi-lagi dengan Maru. Mata hijaunya berpendar meneliti seluruh ruangan. Ini mencurigakan. Karena siapa pun jarang masuk ke ruangannya untuk menyusun kardus bahan makanan dan beberapa lainnya membantu Maru. Kalau pun ada, hanya seseorang dan itu tidak bertahan lama dalam kunjungan tertentu. Dia diawasi. Jelas. Athena berdeham. Maru menolehkan kepala pada kekasih Sang Kapten. "Maru." Maru mendekat tanpa bicara. Dengan kardus di pelukannya, anak laki-laki itu menatap Athena. Dan dia sedikit tidak mengerti maksud Athena yang menginginkannya agar lebih dekat dan mereka bisa bicara secara bisik-bisik. Kepala Maru mengangguk pelan. Dia tersenyum penuh arti dan Athena mengedipkan mata untuknya. Maru kembali ke pekerjaannya, menyusun kembali kardus-kardus yang datang dari para petani untuk Departemen Pangan. Sang Jenderal menipiskan bibir. Alisnya menekuk tajam melihat bagaimana sepasang mata yang selalu menantangnya tengah mencari-cari di seluruh ruangan dan tidak menemukan apa-apa. Dia menghela napas, bersandar pada kursinya saat Letnan Edsel ikut menatap layar itu dengan pandangan datar. "Dia curiga pada kita." "Biarkan saja," balas Sang Jenderal pelan. Letnan Edsel mengangkat alis ketika melihat Maru mendekat ke arah kamera CCTV yang menyala. Dengan kardus terakhir di tangannya, anak itu menyusun kardus lama dan baru di dalam rak, menggesernya secara serampangan dan tanpa sadar menimbulkan kegaduhan di dalam ruangan Athena. Athena tersenyum lebar menatap aksi Maru yang berhasil membuat ruangannya berantakan. Anak laki-laki itu tersenyum gigi pada Athena dan menginjak-injak apa pun yang jatuh di atas lantai, karena dia masih belum menemukan dimana CCTV itu terpasang. Sesuai dugaan Athena karena mereka diawasi. "Maru, hentikan. Apa yang coba kaulakukan?" Maru terus tersenyum sembari melakukan aksi gilanya menginjak-injak bahan makanan dari petani dan Athena bergegas mendekat, merapikan bahan-bahan yang tercecer di atas lantai dengan hati-hati. Matanya terus awas menelisik kalau-kalau dia menemukan barang yang dia cari dan dia akan menghancurkannya. Maru menunduk mengamati Athena dan bibirnya menipis ketat tanpa sadar. Dia selama ini diawasi dan dia tidak boleh gegabah dalam mengambil tindakan demi kepentingan Organisasi Partai Merah yang menjadi bagian dari dirinya. "Periksa ruangan istri Jenderal sekarang!" Letnan Edsel memerintahkan militer hitam yang berjaga di sekitar Departemen Pangan untuk menerobos masuk ruangan Athena secepatnya dan segera memberi laporan pada mereka. Sang Jenderal hanya mengangkat alis, menatap layar yang sepenuhnya menghitam sempurna karena ulah Maru yang menginjak-injak bahan makanan dan kakinya yang besar mampu merusak alat kecil itu dengan mudah. "Unsur kesengajaan jelas saja." Sang Jenderal tersenyum dingin pada Letnan Edsel. "Athena terang-terangan menyatakan perang padaku." "Dia belum melakukannya." "Awasi Maru dan aku akan mengawasi istriku sendiri." Letnan Edsel mengangguk pelan pada perintah Sang Jenderal. Athena menoleh kaget pada pintu yang terbuka lebar dan tiga anggota militer hitam Dallas merangsek maju. Berkeliling di sepanjang ruangan dan memeriksa seluruhnya secara detail. Mereka juga membawa alat yang tidak Athena mengerti untuk mendeteksi barang bawaan musuh ke dalam ruangan. "Mau apa kalian?" Athena berdiri marah karena militer itu masuk tanpa izin darinya. Secara tiba-tiba. "Ini perintah dari Letnan Edsel, Nona Athena." Mata Athena mengerjap. Dia melirik Maru yang menunduk ketakutan. Meremas kardusnya dengan tangan bergetar dan sukses akting anak itu memukau Athena. "Letnan Edsel?" Dia benar, dia diawasi. "Semua aman." Militer itu bergerak mundur dan membantu Athena merapikan kardus yang berserakan. Athena mundur beberapa langkah ke belakang, bersedekap di depan d**a mengamati gerakan gesit para militer yang dengan cepat dan tanggap membereskan kekacauan tanpa perlu menunggu lama. Mereka seperti sudah sangat ahli menutupi lubang. Begitu kata kiasan yang sempurna bagi militer hitam Dallas dari Athena. "Kalian boleh pergi." Ketiga militer Dallas itu membungkuk pada Athena dan menutup pintu. Tidak lama, Maru menghela napas lelah. Menjadi pura-pura sangat tidak menyenangkan. Athena memijit pelipisnya. Dia duduk di kursinya, menggeram menahan jengkel yang amat sangat pada Jenderal Dalla satu ini. Seorang pria paruh baya tergopoh-gopoh masuk ke dalam ruangan. Athena berdiri, meraih pundak pria itu dengan tangan kaku ketika mata mereka bertemu. "Dari Jenderal?" Pria itu menatap ekspresi dingin Athena dan dia menelan ludahnya dengan gugup. Memberikan sebuah amplop pada Athena dengan tangan bergetar hebat. "Undangan untuk Nona Athena." Athena mengambil amplop putih itu dan pria itu segera bergegas keluar ruangan tanpa kata. Dia terlihat ketakutan entah karena apa dan Athena terlalu lelah memikirkan kejahatan suaminya sendiri pada dirinya. "Pesta?" Maru mengangkat alis mendengar gumaman Athena. "Departemen Pangan selalu mengadakan pesta setiap musim semi sebagai perayaan pergantian musim baik." "Apa Jenderal tahu?" Kepala Maru mengangguk. "Apa pun yang kami, rakyat Dalla lakukan Sang Jenderal tahu. Tidak terkecuali pesta ini. Mereka mengadakan pesta, pastilah Jenderal mengetahuinya dan ini sudah berlangsung lama sejak era Jenderal Akram menjabat.” Athena menunduk, menatap alas kakinya dan berpikir sejenak. Apakah Sang Jenderal akan mengizinkannya untuk datang ke pesta itu? *** Sang Jenderal menatap mata Panglima Sai dan beralih pada Letnan Edsel dengan tajam. Kepalanya bersandar pada kursi hitam besar dimana dia biasa berpikir dan mengomandokan seluruh militer hitam disini. "Pesta Departemen Pangan," kening Sang Jenderal mengernyit. "Kau sudah kirim undangan itu pada istriku?" Panglima Sai mengangguk. Dia mengulas senyum bangga. "Akan diadakan lusa dan kita akan melaksanakan pesta itu seperti biasa bersama departemen lain." Mata elang Sang Jenderal melirik Letnan Edsel yang membisu. "Lusa, aku dan Letnan Edsel akan pergi menyusuri Distrik Sopa. Seperti yang kita tahu, kita akan memberantas semuanya yang berani menentang kuasaku." "Tidak terkecuali dia yang menjadi bagian masa lalumu, Letnan Edsel." Letnan Edsel mengembuskan napas panjang. Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menuruti semua kata Jenderal Dalla. "Baik, Jenderal." Sang Jenderal mengangguk pelan. Dia menatap mata biru laut Edsel yang menunduk lemah. "Cinta membuat manusia terkuat pun lemah." Panglima Sai berpaling pada Sang Letnan yang mengerjap. Mencoba mengembalikan kewarasannya yang merosot turun dan mengangkat kepala. Menatap mata Sang Jenderal putus asa. "Maafkan aku." "Kalian boleh pergi." Jenderal memutuskan untuk menghentikan perdebatan di antara mereka. Letnan dan Panglima segera membungkuk dan bersamaan pergi meninggalkan ruangan Sang Jenderal sendirian kala mereka tertegun, menatap kedatangan sosok yang tidak terduga yang sama dihormatinya di Benteng Dallas. Athena. Langkah Athena terhenti. Gadis itu menipiskan bibir menatap dua tangan kanan Sang Jenderal yang berjalan melaluinya. "Sebentar." Keduanya berhenti. Menatap bersamaan, kemudian menoleh. Athena menarik napas, membuangnya pelan. Dia harus bertanya sebelum rasa penasaran ini semakin membunuhnya. "Tentang malam itu, dimana aku menangkap kalian di ruangan yang sama dengan Jenderal, di malam hari." Letnan Edsel benci pembicaraan ini. Dia menatap tajam Athena yang tak gentar membalas tatapannya datar. "Ini sama sekali—" "—bukan urusanku?" Panglima Sai mendengus. Diam-diam menahan senyum dengan pemberontakan kecil si manis yang bermetamorfosa menjadi istri Jenderal Dalla. Letnan Edsel mengembuskan napas kasar. "Aku yakin Jenderal yang kalian hormati memiliki kelainan parah," kata Athena. Menuding mereka dengan tatapan marah. "Atau ada sesuatu yang tersembunyi jauh di bawah tanah tentang Jenderal Dalla kita?" "Ini tidak ada kaitannya denganmu." Panglima Sai menyahut datar. Athena memutar mata. "Aku akan jadikan ini alasan untuk menghadiri pesta Departemen Pangan bersama yang lainnya. Jika kalian tidak mampu menjawab pertanyaanku." Panglima Sai mengerutkan bibir. Menatap lekat-lekat istri Jenderal yang berjalan melalui mereka dan kembali keluar tanpa memasuki ruangan Sang Jenderal dimana mereka yakini itu yang ingin Athena lakukan. "Dia mengancam kita." Letnan Edsel menghela napas lelah. "Aku pernah katakan. Dia bisa menjadi petaka bagi kita semua. Terutama Jenderal." Panglima Sai tersenyum tipis. Tapi aura membunuhnya benar-benar kental terasa. "Semua wanita pada dasarnya sama. Menjadi sumbu utama bagi para pria untuk meledak dan hancur berkeping-keping." Letnan Edsel terdiam membisu tidak menyahut ucapan Panglima Sai yang lekas berbalik dan meninggalkan dirinya seorang diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN