13

1126 Kata
Dalam gelap yang menyakitkan, Athena merasakan hembusan napas seseorang jatuh pada belakang tengkuk dan merambat menuju pundak bagian bawah tubuhnya. Napasnya tercekat, merasa sesak tiba-tiba dan sesuatu yang berat terasa menahan punggungnya. Kedua tangannya dicengkram di atas ranjang. Dia salah karena tidur tengkurap dan memudahkan siapa pun untuk mengunci pergerakan tubuhnya. "Kau tahu, betapa menggodanya dirimu saat ini?" Suara ini. Athena mengerjap berulang kali. Dia mencoba berteman dengan kegelapan ketika lampu di atas nakas menyala dan Athena mampu melihat jelas siapa yang menindih punggungnya. "Lepas." Sang Jenderal hanya menyahut singkat dalam bentuk gumaman pelan. Tangannya terjulur menyingkap rambut sebahunya untuk mengecup sepanjang tengkuk dan bagian bawah bahunya. "Gaun tidurmu membuatku bergairah." Athena memejamkan mata. Merasa jijik dengan dirinya sendiri. Dia mencoba memberontak sekali lagi, namun Sang Jenderal tetap bergeming. "Lepas, Jenderal." Athena mencium aroma anggur yang kental dari napas sang suami di atasnya. Dia menoleh, menatap kedua mata yang terpejam menikmati kegiatan mengecup sepanjang tengkuk dan bahunya. "Kau mabuk?" Manik segelap malam itu membuka sempurna. Sorot matanya menajam ketika dia menatap Athena. "Aku tidak pernah mabuk." Apa pria ini berbohong? Kemudian, sepasang mata itu berubah sayu. Athena bergerak dan Sang Jenderal melepas cengkraman tangannya, membiarkan Athena terlentang di bawahnya dan ciumannya merambat dari pipi turun ke rahang dan ke sudut bibirnya. "Kau yakin kau tidak mabuk?" Alis Sang Jenderal menekuk tajam. "Aku tidak pernah mabuk," tanpa melepas bibirnya. Athena membuka mulut untuk bicara, tapi bibir Sang Jenderal lebih dulu memagutnya. Mengecapnya lembut tanpa terburu-buru. Tangan Athena beralih mencengkram pundak Sang Jenderal dimana dia bertelanjang d**a dan hanya memakai celana kain hitam, senada dengan rambutnya. Matanya membuka dan dia mendapati memar samar di lengan istrinya. Keningnya berkerut, menyentuh memar itu dengan usapan jemarinya. "Kau terluka?" "Tentu kau tahu siapa yang melakukannya," jawab Athena sarkatis. Matanya bergulir merambat naik memaku manik hijau itu. Athena menunduk, mengamati usapan jari Sang Jenderal di lengannya dengan hati-hati. Athena mencoba mendorong tubuh kokoh itu dari atasnya. Dia ingin kembali tidur dan besok dia akan bekerja. Namun sayang, tubuh Sang Jenderal bagai karang di lautan yang tak gentar pada ombak, dia tetap di atas tubuhnya tanpa ingin menyingkir. "Ini bukan masa suburku." Kepala Sang Jenderal tertoleh datar padanya. "Kalau kau melakukannya malam ini, kita tidak akan menghasilkan apa-apa." "Siapa bilang aku melakukannya hanya untuk anak?" Mata Athena melebar. "Apa?" "Kau istriku. Dan aku berhak atas apa pun yang ada di dirimu. Begitu pula sebaliknya. Kau berhak atas tubuhku. Kapan pun aku ingin menikmatimu, kau tidak bisa melarangku." Sang Jenderal menjawab datar seolah dia tahu penolakan-penolakan yang siap Athena lontarkan untuknya sudah tertata di dalam kepala mungilnya. "Kau benar," Athena mengangkat alis. "Kau berhak atas segalanya. Tapi tidak untuk hati dan pikiranku." Sudut bibir Sang Jenderal tertarik dingin. Dia menunduk, menatap tubuh molek itu dengan raut datar. "Karena hatimu milik Immanuel Gildan?" Athena menipiskan bibir. Dia tetap bungkam. "Kau mudah terbaca." Sang Jenderal bergerak untuk berguling di sisi sang istri dan tidak melanjutkan kegiatan panas mereka karena dia mendadak kehilangan minat untuk menggoda sang istri. "Aku menduga kalau kau akan mengalami tekanan hebat karena kematiannya." Athena mendesis dalam suaranya. Sang Jenderal melebarkan seringai puasnya. Dia selalu menang. Untuk urusan melemahkan lawannya, dia pasti menang. "Dan aku menantikan hal itu terjadi." Athena memalingkan muka. Kemana pun asal Sang Jenderal tidak menemukan kedua matanya yang berubah hancur. Memikirkan Gildan terluka sungguh membuatnya tak berdaya. Dia harus berbuat apa untuk melindunginya? "Jangan sentuh dia." "Kau sedang menawarkan kompromi padaku?" Athena berbalik, menatap mata Sang Jenderal yang menyala-nyala di bawah temaramnya lampu tidur. "Aku tidak akan pernah berkompromi padamu." Kepala Sang Jenderal terangguk. Walau begitu ekspresi kakunya tetap keluar sebagai pemenang. "Bagus." Athena bergerak untuk memunggunginya, memeluk dirinya sendiri dan mencoba untuk tidur di saat kepalanya sedang berputar keras memikirkan cara bagaimana dia bertemu Immanuel Gildan dan memintanya untuk sembunyi sejauh mungkin dari militer hitam Dallas. *** Immanuel Gildan melamun menatap api unggun yang membakar habis seluruh kayu dengan cepat. Matanya membias sendu kala Hyuuya Ariana bergabung di sisinya, mengulurkan kedua telapak tangannya. "Malam yang dingin. Musim telah berganti, tapi tidak mampu membawa hati yang mati untuk pergi." Menghela napas berat, Immanuel Gildan menoleh ke belakang persembunyian. Dimana anggotanya sedang tidur. "Kau seharusnya pergi dari sini." "Kau tidak lupa dengan kesepakatan kita berdua," gumam Ariana dingin. Dia menatap Gildan tajam. "Apa ini karena Sara?" "Kau jelas tahu apa yang terjadi." Ariana mendengus tak terima jawaban Gildan yang menurutnya tak masuk akal. Seolah kematian Sara bukanlah apa-apa dan itu membuatnya muak. "Berhentilah bicara omong kosong, Immanuel." "Kau marah karena aku mengabaikan perasaan sahabatmu?" Tangan Ariana terkepal di atas pangkuannya. Gadis manis berhelai perak itu hanya tersenyum, tetapi sorot matanya berkata lain. Immanuel Gildan sering mendapatkan tatapan itu dari orang lain dan dia tidak memedulikannya. "Diam." Immanuel Gildan menarik bibirnya untuk tersenyum. "Kita semua tahu, kalau Sara gadis berambisi. Mengesampingkan kalau dia mengkhianati Distrik Sopa hanya untukku, itu benar-benar mengejutkan. Dan dia tahu kalau aku tetap bersikap biasa padanya.” "Kau terlalu buta karena mencintai Felice Athena." Immanuel Gildan menoleh. Tersenyum dingin pada wajah kaku Green Ariana. Tangan gadis itu bergetar hendak memukul wajahnya dan terserah, Gildan tidak mau peduli. "Kau tahu apa?" Green Ariana terpaku diam. "Kau tahu apa?" Immanuel Gildan tahu, semua yang menentang hubungannya dengan Athena tidak akan pernah mengerti betapa berartinya Athena untuknya selama ini. Dan dia tidak perlu menjelaskan pada siapa pun dan bagaimana awal mula perasaan ini bercokol semakin dalam dan mengakar pada dirinya. Immanuel Gildan masih waras untuk membedakan mana cinta dan mana ambisi. Dia tidak bisa mengesampingkan Organisasi Partai Merah hanya untuk Felice Athena seorang. "Apa kau pernah membayangkan gadis yang kau cintai saat ini tidur bersama Sang Jenderal dan mereka memadu kasih? Mereka suami istri dan kau tentu paham aturan yang tertulis dalam Dalla tentang pernikahan." Immanuel Gildan mulai goyah dan Green Ariana tersenyum picik. Dia menghela napas, menatap bulan purnama yang bersinar terang di dinginnya malam. "Aku tidak mau membayangkannya. Begitu pula dirimu yang tidak mau memikirkan apa yang terjadi antara gadis yang kau cintai dengan orang yang paling kau benci." Api unggun yang menyala mulai padam. Immanuel Gildan berdiri untuk mengambil pasokan kayu dan melemparnya ke dalam bara api. Api kembali membesar. "Pasokan makanan kita berkurang. Sara hanya mampu menyelundupkan sepuluh dari tiga ratus boks yang ada." Green Ariana menoleh, memicingkan matanya pada sepuluh boks kardus dari Departemen Pangan untuk persediaan kebutuhan mereka. "Dia sudah membantu banyak." Immanuel Gildan mendengus pelan. "Sampel bakterinya sangat berguna. Aku menyimpannya. Dan aku akan memperbanyak cairan itu untuk melawan militer hitam." "Terima kasih untuk Panglima Sai karena dia mengacau." Mata cokelat Gildan melirik pada Green Ariana yang mengulurkan tangan, merasakan hangatnya api dari dekat. "Di antara Panglima Sai dan Letnan Edsel. Siapa yang paling ingin kau bunuh?" Ariana terdiam. Dan Immanuel Gildan tidak perlu berpikir keras siapa yang akan gadis itu jawab selanjutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN