12

1734 Kata
Mata biru lautnya sontak melebar. Dia menoleh pada Panglima Sai. Menatap pria itu seakan ingin membunuhnya setelah semua ini selesai. Panglima Sai menipiskan bibir, menggeleng kuat-kuat sebagai bentuk membela diri atas tuduhan dari Letnan Edsel padanya. "Kau tidak bisa membohongiku dan melempar tuduhanmu pada Panglima Sai sekarang karena kalian ada di lokasi kejadian ketika Ariana melarikan diri dari kejaran militer kita." Letnan Edsel menipiskan bibirnya. Kepalanya semakin tertunduk dalam. "Organisasi Partai Merah dan Distrik Sopa bertolak belakang. Tapi, untuk urusan menggulingkan kekuasaan demi kerjasama yang menggiurkan, itu bisa menjadi alasan mereka ingin menghancurkanku." Kepala Sang Jenderal memutar, menatap Panglima Sai dan Letnan Edsel bergantian. Saat Sang Jenderal tiba-tiba berbicara sesuatu yang mengejutkan. Membuat Letnan Edsel dan Panglima Sai mengernyitkan kening mereka. "Aku akan mencari Sara. Dia akan mati di tanganku sekarang juga." Athena dihempaskan kasar masuk ke dalam penjara bawah tanah yang pengap dan kotor. Dia tidak melihat ada tawanan lain selain dirinya. Entah karena penjara ini khusus atau ada hal lain yang menantinya? "Aku tidak mau mati karena tuduhan tak berdasar kalian. Dasar militer tidak tahu diri!" Militer Dallas mengambil kunci dan membawanya ke kantung seragam mereka. Kemudian pergi meninggalkan Athena yang meraung-raung meminta tolong agar dia dilepaskan. Suasana yang pengap dan kekurangan pasokan udara membuat Athena terengah-engah. Dadanya mulai sesak. Satu-satunya cahaya yang membias ada pada tiga lubang berukuran sedang di atas tembok beton. Bahkan, oksigen yang masuk hanya melalui celah kecil itu. Benar-benar mereka akan membunuhnya di sini. Green Ariana menyeringai lebar, menemukan anggota militer Dallas yang memborbardir ke kawasan hutan pinus dengan senjata jarak jauh mereka. Serangan senjata mereka berantakan. Tetapi, Ariana tidak bisa meremehkan kekuatan tempur jarak dekat militer Dallas yang mengerikan. Immanuel Gildan melempar sinyal pada anggotanya untuk maju. Di tengah gentingnya situasi, dia hanya berharap bisa melihat Athena sebentar saja untuk memastikan kondisi gadisnya baik-baik saja. Jika pun dia berhasil membawa Athena lari, dia sangat yakin kalau Organisasi Partai Merah akan benar-benar punah karena serangan militer Dallas dibawah arahan Sang Jenderal jauh lebih mengerikan dibanding Letnan Edsel maupun Panglima Sai. Karena pernikahan di Dalla tidak bisa diputus begitu saja tanpa alasan yang benar-benar jelas dan disetujui oleh kedua belah pihak. Maka, hanya kematian yang mampu memisahkan mereka. Immanuel Gildan akan lakukan apa pun agar Felice Athena lepas dari jerat Sang Jenderal. "Gildan, lempar pengendalinya padaku." Immanuel Gildan melempar alat hitam berbentuk pipih pada Green Ariana yang bersembunyi di balik semak, menekannya cukup dalam dan sekali lagi, ledakan itu kembali terjadi. Dia tersenyum lebar. Dokter Sara mengembuskan napas panjang. Dia tidak bisa berlama-lama karena alarm berbahaya dibunyikan nyaring. Pintu-pintu darurat dibuka sebentar lagi dan pintu utama akan tertutup sempurna. Dia memakai tas ranselnya dan bersiap pergi ketika satu peluru meletus menembus dinding beton di depan tubuhnya. "Berhenti di sana, Sara." Dokter Sara menoleh dengan wajah pucat dan kaget. Dia menatap manik kelam Sang Jenderal yang pekat, sangat pekat. Bahkan, terlalu pekat. Dokter Sara tidak bisa bernapas dengan baik. Sudut bibir Sang Jenderal tertarik dingin. "Apa kau percaya dengan ucapan kalau aku membiarkanmu bebas tanpa mengawasimu sedikit pun?" Mata Sara membelalak tak percaya. "Kau bisa membodohi Panglima Sai, kau bisa mengalihkan perhatian Letnan Edsel. Tapi tidak padaku." Langkah kaki Sang Jenderal mendekat, memangkas jarak di antara mereka yang semakin dekat. "Aku memang mengumpankan Athena, istriku sendiri agar Immanuel Gildan keluar. Dan ternyata, aku tidak perlu melakukannya sejauh itu karena kau berhasil memancingnya lepas dari persembunyian." "Jenderal—" Sara tercekat. Napasnya tertahan di tenggorokan. "—ini bukan seperti yang kau lihat. Aku—" "Menyelundupkan pangan besar-besaran untuk para Organisasi Partai Merah? Atau pemberontak dari Distrik Sopa. Katakan, berapa lama kau dan Green Ariana saling mengenal?" Sang Jenderal merapikan seragam tempurnya. Dia menatap Sara tanpa kedip. Sorot matanya mendingin tatkala melihat lelehan air mata di gadis itu. "Ini tidak seperti yang kau pikirkan!" Dokter Sara berteriak untuk membela diri dari sorot dingin Sang Jenderal. "Pembicaraan selesai." Sang Jenderal menarik kerah kemejanya. Dokter Sara terpelanting ke atas lantai dengan keras. Bunyi kaki patah memekakkan telinga. "Seharusnya, aku tidak mempercayakan Green Ariana padamu. Dia seharusnya mati lima tahun yang lalu. Dan bukan berubah menjadi mimpi buruk bagi Letnan Edsel." Sara merintih pelan. Tanpa kenal belas kasihan, Sang Jenderal menarik tubuh Sara dengan menyeretnya kasar ke lantai tertinggi di atas Benteng Dallas. Saat para pasukan militernya bertempur habis-habisan dan sebagian dari mereka menyisir lokasi peledak, Sang Jenderal melempar tubuh Sara di hadapan para militer yang membeku, menahan senjata mereka. "Keluar kau, Immanuel Gildan." Green Ariana terlonjak bingung. Dia menyipit, guna melihat jelas siapa yang menjadi umpan Immanuel Gildan kali ini dari Sang Jenderal yang suaranya bergema memenuhi Benteng Dallas dengan keras. Benteng Dallas memiliki pengeras suara yang lantang agar para militer yang bergerak mampu mendengar perintah langsung Sang Jenderal ketika kondisi darurat. Immanuel Gildan membeku hebat. Menatap Dokter Sara yang berlutut menahan sakit teramat sangat pada kaki kanannya yang patah. Sara menunduk, menangis tersedu-sedu. Panglima Sai mendesis. Menatap Sara dengan sorot mencemooh yang kentara. "Sialan, kau benar-benar pengkhianat?" Letnan Edsel tidak lagi terkejut. Dia hanya melirik Sara sekilas. Sorot mata gadis itu meminta bantuan padanya dan Letnan Edsel mendecih, membuang muka dan bersikap acuh. Immanuel Gildan belum menunjukkan dirinya di mana pun. Oniks pekat Sang Jenderal memindai hutan pinus dengan seksama. Dia mendengus tajam. Immanuel Gildan mungkin keluar jika dia menggunakan Athena sebagai pancingan. "Ariana, pergi dari sini." Green Ariana menggeleng lirih. "Sara, Sara sahabatku. Dia yang menyelamatkanku. Aku tidak akan meninggalkannya." "Jangan gila, Green!" Gildan membentak marah. Dia memerintahkan anggotanya untuk melindungi mereka dari segala sisi. "Sara tahu konsekuensinya kalau dia tetap bertahan di dalam benteng. Letnan Edsel sudah membencinya sangat lama. Dan ini adalah waktunya, waktu dimana kau akan kehilangan Sara." Mata perak gadis itu berkaca-kaca. Green Ariana meremas daun berduri di depannya hingga telapak tangannya berdarah. Immanuel Gildan berdecak pelan, menarik tangan gadis itu dan mendorongnya menjauh sampai tubuh mereka terguling ke dalam hutan dan terbentur batang pohon pinus cukup keras. Letnan Edsel mendengus pelan. Nyatanya, Immanuel Gildan memilih mundur dan menghentikan serangan mereka secara total. Mata birunya melirik Sang Jenderal yang bersiap menarik pelatuk di belakang kepala gadis itu. "Sayang sekali, Sara. Nyawamu tidak seberharga itu bagi teman-temanmu." Panglima Sai meringis menahan senyum kala suara letusan pistol menggema di dalam Benteng Dallas yang sunyi. Tubuh Sara ambruk dan jatuh dari ketinggian Benteng Dallas dan membentur tanah. Dia tewas seketika. Para militer yang mengerti bersiap memandu mayat sang dokter untuk mereka bakar dan abunya akan mereka sebar sebagai penghormatan yang tidak layak. Ini adalah hukuman yang mengerikan bagi pemberontak menengah ke bawah. Tatapan biru Letnan Edsel turun mengamati mayat Dokter Sara. Dia menghela napas lelah, memalingkan wajah ke sisi lain, manapun asal tidak menatap sepasang mata yang membelalak ketakutan itu. "Bawa mundur pasukan. Obati mereka yang terluka. Senja akan tiba sebentar lagi. Kita tidak bisa menunggu lebih lama untuk serangan malam hari." Kepala Letnan Edsel dan Panglima Sai serentak mengangguk. *** Panglima Sai dan Letnan Edsel menundukkan kepala. Menatap foto dan keterangan yang dia dapatkan dari anak buahnya di Departemen Pangan. Kesalahan laporan tentang istri dari Sang Jenderal yang melakukan penyelundupan pangan besar-besaran bagi anggota Partai Merah. "Kau lihat jam ini, saat peristiwa itu terjadi," tunjuk Sang Jenderal pada keduanya yang terpaku diam. "Ini adalah jam saat matahari sedang terik. Athena kembali dari Departemen Pangan ke kamar untuk membersihkan diri. Dia bersamaku di kamar cadangan dalam Benteng Dallas.” Letnan Edsel memejamkan mata menahan kesal. "Sudah kuduga." Sang Jenderal menipiskan bibir. "Langkahmu boleh juga, Letnan Edsel. Menyembunyikan fakta dariku maupun Panglima Sai kalau Sara adalah tangan dari Organisasi Partai Merah?" "Tidak seperti itu, Jenderal." Sang Jenderal bersandar pada kursinya. Menatap Letnan Edsel dengan pandangan menyapu dingin. "Aku akan membunuhmu nanti." Letnan Edsel menghela napas lelah. "Ya, Jenderal." "Menemukan fakta kalau Sara melakukan penelitian selama lima tahun ini menggunakan laboratorium Dalla untuk ramuan ilegalnya. Dia bahkan sudah melakukannya pada dua orang militer. Dan hasilnya? Diluar dugaanku." "Aku tidak tahu bagian ini." Alis Sang Jenderal menekuk tajam. "Aku sudah mendapat sampelnya. Pihak laboratorium akan menelitinya lebih jauh untuk membuat penawar. Karena aku yakin, penelitian berbahaya itu sudah sampai ke tangan Immanuel Gildan sekarang." Letnan Edsel membuka mulutnya untuk bicara. "Aku akan menyisir orang-orang di laboratorium yang bersekutu dengan Sara agar mendapat hukuman." Kepala Sang Jenderal mengangguk pelan. "Lakukan. Bawa mereka ke ruang eksekusi. Pastikan mereka memberikan informasi akurat sebelum kematian menjemput.” Letnan Edsel membungkuk dan beranjak keluar dari ruangan Sang Jenderal lengkap dengan seragam militernya yang telah berganti seperti sedia kala. Panglima Sai mendesah panjang. Dia menatap Sang Jenderal yang berdiri, membawa mantel hitam bulunya. "Aku sudah membawa Athena ke dalam kamarnya." Sang Jenderal tidak mengatakan apa-apa saat dia beranjak pergi, meninggalkan Panglima Sai yang menunduk, kemudian berjalan pergi meninggalkan ruangan Sang Jenderal yang otomatis padam ketika kosong. Samar-samar ketika Sang Jenderal masuk ke dalam kamar, dia mencium aroma wewangian yang berasal dari kamar mandi. Matanya menelisik teliti dan jatuh pada sosok rapuh yang meringkuk di dalam selimut, tengah beristirahat dalam damai. Lampu yang menjadi pencahayaan satu-satunya di kamar ini ada pada lampu tidur di samping ranjang. Masih menyala. Siluet Felice Athena yang tertidur memunggunginya tergambar jelas. Sang Jenderal menggantung mantelnya dalam diam. Melepas sepatunya dalam gerakan tanpa menimbulkan suara, dia melipat seragam militernya dan berganti menjadi pakaian hitam lengan panjang bersama celana kain hitam sebagai perpaduan dari warna yang mati. Dia tidak bergabung bersama istrinya di atas ranjang. Hanya menatapnya, dan kemudian menundukkan kepala, mencium aroma bunga yang keluar dari rambut dan tubuhnya. Sang Jenderal kembali menegakkan tubuhnya. Mundur tiga langkah ke belakang dan dia bersandar pada jendela yang tertutup sempurna, tetapi tirainya masih menggantung di ujung. Dia masih bisa menikmati pemandangan dari dalam Benteng Dallas di malam hari. Para militer sedang berpatroli. Berkeliling di sekitar benteng dengan senjata dan alat-alat yang hanya aktif di malam hari. Sebagai pembantu kerja mereka kalau-kalau penyusup masuk ke dalam benteng saat mereka lengah. Mata Sang Jenderal terpejam. Dalla akan selalu menjadi prioritasnya. Sampai dia mati pun, Dalla akan selalu menjadi prioritas utama yang dia lindungi. Apa pun yang Jenderal lakukan, demi kepentingan orang banyak. Demi kepentingan rakyat yang bergantung pada pemimpin mereka. Kepalanya menggeleng samar. Fokusnya tidak akan pernah terbagi. Sang Jenderal tidak akan memecah prioritasnya hanya untuk seorang gadis yang membangun kenangan di dalam dirinya kembali menggeliat bangun untuk menyapa masa depannya. Antara Dalla dan Athena. Dia akan memilih Dalla. Negara yang dia cintai. Warisan leluhur dari keluarganya. Dari Jenderal Akram yang dia hormati dan banggakan. Meski dia harus membunuhnya sekali pun. Dia akan menempuh segalanya agar prioritasnya tidak terpecah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN