2

1032 Kata
Felice Athena. Athena. Kening Sang Jenderal mengernyit sempurna. Dia menampilkan ekspresi dingin yang amat jelas, membuat aura Sang Jenderal, pemimpin agung yang mereka hormati semakin mencekam, terasa mengerikan dan membuat mereka kesulitan bernapas saat ditatap mata setajam elang yang terasa membakar mereka jauh ke dalam d**a. Athena mencoba tegar, mencoba menahan diri untuk tidak lari dan bersembunyi di hutan pohon pinus. Karena semua percuma, sia-sia. Siapa yang mampu menandingi kekuatan Sang Jenderal di Dalla? Tangannya meremas rok panjang kain berbahan katun yang kusut, tampak usang dan terdapat beberapa titik-titik noda basah membekas akibat butiran salju. Suasana mendadak sepi dan sesenyap itu. Cassandra menunduk, meremas pundak anak kecil yang berlindung di bawah kakinya. Hanya ada dua orang dewasa di dekatnya, dia dan Athena. Dan Athena sedang tidak dalam kondisi mampu melindungi mereka dari militer Dallas yang mengerikan. "Bawa mereka pergi," titah Sang Jenderal. Letnan Edsel segera mengangguk bersama Panglima Sai yang membuat barisan agar anak-anak itu tidak kembali lari dengan memamerkan senapan laras panjang yang melingkar di d**a para militer untuk menakuti mereka. Athena menahan napas. Dia bahkan tidak berani menolehkan kepala untuk sekadar melihat kemana Cassandra dan yang lainnya pergi. Kemana Sang Jenderal memerintahkan anggotanya memboyong keluarga kecilnya pergi. "Ikut aku." Athena tidak bisa menolak sekali lagi. Dia mengintip dari celah poninya yang menjuntai, lupa menjepitnya dengan jepitan mungil yang biasa dia pakai untuk terlihat lebih rapi. Penampilannya sekarang sungguh berantakan dan Athena tidak bisa mengulur waktu meminta untuk berbenah diri. Langkah sepatu Sang Jenderal terdengar mengerikan. Sama halnya dengan penampilan mencolok pria itu yang terlihat jauh lebih berwibawa dan berkuasa. Athena mendadak berhenti, terpaku di depan pintu masuk baja besar Benteng Dallas, yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang tertentu dan sudah mendapat izin dari Jenderal. Kepala Sang Jenderal menoleh, memandang lurus dan tajam pada Athena yang membeku, mengamati koridor yang tiba-tiba terang sempurna ketika Sang Jenderal masuk. "Kenapa kau diam?" "Jangan salah sangka," cicit Athena pelan. Kedua tangannya saling meremas gugup. "Aku tidak seharusnya masuk ke dalam benteng karena aku bukan militer. Aku tawanan." Keheningan membentang luas terjadi di antara mereka. Dengan pintu Benteng Dallas yang masih terbuka lebar, dan dua anggota militer hitam berjaga di depan pintu, Athena masih bergeming, menunggu jawaban Sang Jenderal dengan antisipasi yang menyakitkan. "Tawanan ..." Jenderal bergumam pelan, mengulang kalimat akhir Athena dengan sorot dingin. "Kau memang tawanan. Ada sesuatu yang jauh lebih berat menantimu." Sang Jenderal berbalik tanpa menjelaskan arti kalimatnya. Athena terdiam, jantungnya bertalu-talu hebat mendengar ucapan Sang Jenderal yang penuh makna akan hukuman panjang yang menanti dirinya. Dirinya masuk ke dalam. Mencoba beradaptasi dengan hangatnya benteng yang benar-benar membuatnya terasa nyaman. Dia tidak lagi kedinginan seperti sebelumnya. Tubuhnya hangat, secara perlahan tapi pasti. Telapak tangannya tidak lagi pucat. Pipinya mulai memerah. Rasa hangat itu membanjiri sampai ke dalam dadanya. Tidak banyak Athena melihat para militer Dallas berlalu-lalang di sini. Di dalam benteng tampak sepi, tetapi segala kemewahan yang melingkupi isinya membuat Athena terpukau takjub sekaligus kagum. Rakyat rendahan macam dirinya mampu menginjakkan kaki di sini, di dalam benteng yang menjadi buah bibir warga sekitar. Meskipun mereka hanya menduga-duga, tetapi sungguh pemandangan yang Athena lihat jauh lebih memuaskan mata dan mengejutkan hati. Athena tersentak, ketika pintu berlapis perak terbuka otomatis saat Sang Jenderal berdiri dan mesin pemindai yang entah terletak dimana mengenali anggota tubuh Sang Jenderal, Athena bergeming. Menatap pintu itu terlalu lama sampai dia mendengar decakan halus dari sosok di hadapannya. "Masuk." Athena masuk, melangkahkan kaki dengan hati-hati ketika dia bergerak maju, dan pintu perak itu tertutup sempurna. Dia menoleh, menahan napasnya karena ruangan itu begitu besar, bahkan dua sampai tiga kali lipat lebih besar dari rumah yayasan miliknya, ada di depan matanya. Sang Jenderal melepas mantel hitam bulunya. Menggantungnya di tiang, bersamaan dia membersihkan titik-titik noda salju yang membekas di seragam militer Dallasnya. Athena menelan ludah gugup, dia berhadapan dengan pemimpin Dalla yang ditakuti. Salah melangkah, tamatlah riwayatnya. "Kenapa kau berdiri?" Jenderal menunjuk sofa yang nyaman dengan bantalan yang empuk dan besar di hadapannya dengan isyarat mata. "Duduk." Athena melangkah ragu, tetapi dia menuruti dalam diam. Jika dia menolak, Athena tidak bisa membayangkan bahaya yang mengintai dirinya seperti ditembak mati, atau kepala terpenggal sebagai ancaman pada rakyat Dalla untuk tidak memberontak pada kekuasaan Jenderal. Dia duduk, menunduk dalam dan tidak mampu menatap sepasang iris gelap yang memikat secara tak manusiawi di depannya. Athena terlalu takut. Dia tidak pernah memberontak pada Dalla, hanya saja dia memiliki kekasih yang menjadi incaran militer hitam Dallas untuk dihancurkan dan dibunuh. "Kau tahu apa kesalahanmu?" Athena mengangkat kepala. Menatap sepasang manik hitam itu lekat-lekat dan lidahnya terasa kelu untuk sekadar menjawab. "Jangan berakhir menyedihkan seperti yang anggotaku lakukan pada ibu pemilik panti itu," bisik Sang Jenderal, suaranya dalam dan serak. Menyembunyikan jutaan makna tersirat yang membuat kulit Athena meremang hanya dengan mendengar suaranya saja. "Aku tidak memberontak," balasnya, dia takut namun berusaha memberanikan diri. "Aku memegang teguh prinsip Dalla selama ini. Mentaati peraturan dan tidak pernah menjadi berbeda di antara yang lain." Sudut bibir Sang Jenderal tertarik. Dia memajukan tubuhnya hingga rasanya meja panjang yang membatasi di antara mereka berdua tidak lagi berguna. "Kau tidak berbohong?" Athena membelalak dengan napas tertahan. "Tidak, Jenderal." Hening terjadi lagi. Athena mencoba meraup oksigen sebanyak yang dia mau untuk mengisi paru-parunya yang terasa menipis dan kosong. Dia melirik Sang Jenderal, yang tengah melamun memandang dirinya dalam diam. "Kau tawananku, mulai sekarang." Itu adalah perintah dan Athena merasakan telapak tangannya berkeringat dingin. Ruangan ini hangat, terlalu hangat. Tetapi aura yang menguar dari dalam diri Sang Jenderal begitu mengintimidasinya. "Jika kau berbuat sesuatu yang membuatku kesulitan atau anggotaku kerepotan, kau tahu kalau keselamatan anak-anak dan temanmu bisa berakhir fatal," bisik Sang Jenderal. Nadanya santai, namun berbalut ancaman. "Semua ada di tanganmu." Athena termangu diam. Mencoba mencerna dengan baik apa maksud kalimat Jenderal di hadapannya. Dia memang tawanan, dan apakah Sang Jenderal tahu kalau dia berusaha membantu para pemberontak untuk lari? Athena dikejutkan dengan sosok tinggi menjulang yang berdiri di sampingnya. Letnan Edsel membungkuk pada Jenderal, melirik Athena dari sudut matanya dengan dingin. "Kau tahu harus membawa dia kemana, Letnan." Letnan Edsel bergerak tanpa bicara. Dia menatap Athena, dan gadis itu memahami isyarat mata Sang Letnan walau hanya sebentar. Dia berdiri, membungkuk sopan dan berlalu mengikuti Letnan Edsel berjalan menjauhi ruangan kerja miliknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN