3

2888 Kata
Para tetua memandang Sang Jenderal dengan sorot bingung dan tajam secara bersamaan. Dengan tidak sopannya, pria terakhir keturunan Amante itu memerintahkan mereka untuk datang ke ruang rapat, dan meminta mereka untuk mendengarkan dirinya berbicara. "Aku memikirkan usulan kalian tentang keturunan dan menikah.” Jenderal mulai berbicara gamblang, tanpa berbasa-basi. Letnan Edsel mengernyit. Tetapi dia diam. Para tetua mulai berisik, terkejut dengan ucapan spontan Sang Jenderal yang mendadak dan mengejutkan itu. Kemarin, dia begitu menentang keputusan untuk menikah dan memiliki keturunan. Lalu, sekarang berubah. Apa yang ada di benak Sang Jenderal sebenarnya? Manik kelam itu melirik Letnan Edsel datar. "Karena aku adalah keturunan terakhir yang pantas menyandang nama Amante, aku berpikir tidak selamanya aku bisa berdiri tegak memimpin Dalla. Usia tidak akan bisa berbohong walau berbagai pengobatan canggih bisa menahan diriku menua lebih cepat." Para tetua diam mendengarkan. "Apa kalian sudah punya calon untukku?" Salah satunya berdiri. Memandang Sang Jenderal dengan sorot berapi-api. "Ada. Dia bernama Karin, putri tunggal kepala pimpinan Departemen Pangan yang ada di Dallas." Alis Sang Jenderal menekuk mendengar nama gadis asing yang baru pertama kali dia dengar. Saat tetua itu duduk dengan senyum mengembang, ekspresi Jenderal Dalla semakin gelap. "Aku menolaknya," ucapnya mutlak. Para tetua yang mendengar terkesiap, menahan napas menatap Sang Jenderal yang tersenyum dingin. "Aku punya calon yang pantas." Alis Letnan Edsel menekuk. Dia melirik Jenderal muda itu sekali lagi dan sosok dingin itu benar-benar memasang raut datar, tatapan tajam dan bibir yang menipis dingin. Sangat sulit tertebak. "Siapa dia, Jenderal?" Sang Jenderal tersenyum samar kali ini. "Aku akan segera mengumumkan pernikahan setelah semua selesai. Ini akan menjadi urusanku. Kalian hanya harus duduk diam dan melihat. Jangan campuri kehidupanku lagi." Para tetua bergeming. Mereka membeku di tempat duduknya saat Jenderal berdiri, meninggalkan ruang rapat dalam keheningan yang membentang nyata. Letnan Edsel ikut membungkuk, beranjak pergi dan para tetua yang tertinggal di dalam, hanya sanggup menghela napas panjang dan memasang ekspresi lelah. "Jenderal." Jenderal menghentikan langkahnya. "Ini akan jadi masalah serius.” Letnan Edsel bergerak mendekatinya, berdiri di hadapannya dengan pandangan mengabur cemas. "Gadis itu adalah kekasih dari Immanuel Gildan, pemberontak kelas satu yang menjadi incaran kita." "Kau mencemaskan hal itu? Di saat aku memiliki segalanya untuk menahan langkah Immanuel Gildan mendekati Benteng Dallas?" Letnan Edsel menggeleng pelan. Dia menghela napas gusar. "Tidak. Jika dia tahu, seseorang yang dia cintai menjadi tawanan dan bahkan akan dipersunting Jenderal sepertimu, itu akan memancing dirinya menjadi lebih brutal dan ganas. Rakitan bomnya bukan main-main. Immanuel Gildan pria cerdas. Dia punya segala cara untuk menembus benteng demi mendapatkan kekasih hatinya kembali." Sang Jenderal terdiam. Tidak terlalu lama. Dengusan halus meluncur dari bibirnya. "Kau tahu benar tentang diriku di masa lalu dan saat ini. Aku memisahkannya dari anak-anak di yayasan karena sesuatu yang lain selain memancing Immanuel Gildan keluar hidup-hidup." Sang Jenderal mendekat, menatap Letnan Edsel dengan sorot mata tajam. "Dan pengendalian diriku, ada di tangannya. Aku akan mencari tahu sejauh mana aku bisa bertahan untuk tidak melenyapkannya." Nada suara Sang Jenderal berupa ancaman dan janji yang nyata. Letnan Edsel menatap kepergiannya dengan sorot mata kosong dan menunduk, menghela napas panjang. Sang Jenderal turun dari mobil militer yang keempat rodanya mampu menembus tumpukan salju dengan mudah dan tanpa hambatan. Dia menatap bangunan minimalis dua lantai yang menjadi rumah pribadi miliknya. Rumah yang dia tempati sejak dirinya menjabat sebagai Jenderal tertinggi di Dalla. Saat dia masuk ke dalam, anggota militer hitam menyambut kepulangannya dengan kepala menunduk. Mereka sudah terbiasa berjaga di sekitar rumah. Saat Jenderal membutuhkan waktu sendiri, para militer akan berjaga di sekitar rumah dan mengosongkan rumah karena Sang Jenderal butuh ruang untuk dirinya sendiri beristirahat. "Bagaimana dengan Gildan?" Athena menunduk, berjalan cemas mengitari isi kamar yang luas dengan telapak tangan saling mengait satu sama lain. Dia mengernyit, menghela napas gusar dan kembali duduk di bawah ranjang, dimana alas karpet beludru tebal hitam menghiasi lantai kayu yang dingin. Dia menahan napas saat pintu kamar terbuka lebar. Athena mengernyit, menemukan Sang Jenderal berdiri di depannya dengan mantel yang dia lepas, dia lemparkan ke atas ranjang besar. Tubuh Sang Jenderal yang kokoh dan menjulang kini berjongkok di hadapannya, tangannya yang kuat terjulur, menyentuh pipi hingga ujung dagunya. "Kenapa kau duduk di karpet saat ada sofa yang membuatmu nyaman?" Athena melirik pada sofa berwarna cokelat tua, yang mencolok di ruangan ini selain seprai ranjang berwarna putih s**u yang terlihat rapi dan beraroma pinus yang harum. Athena kembali menatap sepasang manik kelam Sang Jenderal yang begitu intens memandangnya tanpa makna. "Jelaskan apa maksudnya ini, Jenderal. Aku tidak mengerti," bisiknya pelan. Dia terlihat putus asa dan menyedihkan. Tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan. Saat dia berlutut di hadapan Letnan Edsel untuk melepasnya pergi, Sang Letnan malah bersikap acuh padanya dan mengurungnya di dalam kamar besar ini seorang diri tanpa memberikan penjelasan. "Ini akan menjadi kamarmu.” Jemari kokoh Jenderal membelai pipi ranum Athena dengan lembut dan penuh kehati-hatian. "Kamar kita." Manik sehijau hutan di musim gugur itu membelalak. Sudut bibir Sang Jenderal tertarik, menikmati ekspresi panik dan bingung gadisnya. Sekaligus terkejut yang jelas-jelas tergambar di dirinya. "Kita?" "Kau tahu siapa namaku?" Kepala merah muda itu terangguk pelan. "Kau belum menyebut namaku sejak tadi. Dan aku menantikannya," dia berbisik lirih, mengeluarkan aroma maskulin khas dan campuran aroma kayu yang basah. Athena menahan napas, mulai terguncang karena kehadiran Sang Jenderal di dekatnya. "Tidak pantas, Jenderal. Aku hanya tawanan," dia berlutut, membungkuk di hadapannya dan Jenderal mendengus pelan, membawa kepala itu naik dan dia menggenggam helaian rambut merah muda itu di tangannya penuh kehati-hatian. "Tawanan itu akan selamanya berlaku untukmu.” Jenderal melepas rambut merah muda itu dari tangannya. Ekspresinya berubah kaku dan dingin. "Tetapi statusmu akan berubah sebentar lagi. Kau hanya perlu menunggu kejutan itu dariku." "Aku semakin tidak mengerti." "Lepaskan semua yang kau genggam sebelumnya.” Jenderal kembali mengulurkan kedua telapak tangannya, menangkup pipi gadis di depannya. "Cinta dan kesetiaan. Karena kesetiaan akan berlaku hanya untukku nanti. Untukku seorang." Athena termenung, mencerna ucapan Sang Jenderal dengan hati-hati. Dan saat dia menemukan maksudnya, mata Athena berkaca-kaca secara spontan, membuat tubuh Sang Jenderal membeku hebat mendapat pemandangan rapuh di hadapannya. Dia terkesiap, mencoba menghapus sudut matanya dengan kasar dan tak sabaran. Athena menunduk, meremas rok cokelat usangnya dan dirinya dikejutkan dengan jemari kokoh yang sekali lagi mencoba mengangkat dagunya agak tinggi, memberikan ciuman halus di bibirnya yang dingin. Sang Jenderal harus membungkuk guna mencium bibir manis di bawahnya dengan hati-hati. Mata senada warna hutan itu membelalak, dan kemudian terpejam. Entah karena takut atau menikmati. Tetapi tubuhnya yang bergetar tidak bisa berbohong. Ketika Sang Jenderal melepas ciuman mereka, Athena mendapati suasana di sekitarnya kosong. Dia menatap sosok penguasa itu dalam pandangan mengabur, ketika Sang Jenderal berdiri dan mengambil mantel hitamnya. Dia memberikan perintah untuknya. "Pergilah untuk membersihkan diri. Saat kau di dalam, asisten rumah tangga akan masuk dan memberikanmu pakaian baru yang lebih layak. Kau mengerti?" "Baik, Jenderal." Sang Jenderal berjalan memutar, menjauhi kamar dengan dahi mengernyit. Dia menutup pintu, membeku selama beberapa saat. Pandangannya bertemu dengan pandangan lain ketika dia menoleh, menemukan Letnan Edsel datang dengan air muka datar, membungkuk padanya. "Ini pakaian untuknya yang pantas." Sang Jenderal mengangguk pelan. Dia memberikan akses Letnan Edsel untuk masuk ke dalam kamarnya. Dan setelah Letnan Edsel masuk, dia tidak menemukan Athena di mana pun selain kekosongan kamar yang terasa menyakitkan dan begitu menyimpan banyak duka di dalamnya. Kepalanya tertoleh, memandang pintu kayu kamar mandi yang tertutup sempurna. Tidak lama, terdengar suara guyuran air dari dalam, Letnan Edsel berangsur-angsur mulai membaik. Dari perasaan cemasnya hingga kepalanya yang kembali dingin. Athena kembali dari kamar mandi setelah membersihkan tubuh dengan air hangat dari pancuran air. Dia mengerjap, menemukan lemari kayu dua pintu yang besar dan pakaian musim dinginnya ada di sana. Berwarna putih dan cokelat. Hanya ada dua warna yang dominan di dalam sana. Athena tidak punya pilihan lain selain memilih salah satunya, memasangnya ke tubuhnya. Dia berjalan, berdiri di hadapan kaca besar yang memantulkan bayangan dirinya memakai pakaian lengan panjang yang lembut dan hangat, sesuai udara di dalam ruangan yang tidak sama sekali terasa dingin. Pemanas yang dinyalakan tinggi benar-benar membuatnya nyaman dan tidak lagi menggigil karena harus menahan dingin. Tetapi bagaimana dengan Cassandra dan anak-anak lainnya? Athena menipiskan bibir. Menggigit kuku dengan cemas. Dia menghela napas, menaruh handuk dan melipat pakaian kotornya, membawanya ke d**a. Dia membuka pintu. Terkejut menemukan dua anggota militer yang berjaga di depan pintu kamar dengan wajah kaku. Tidak berekspresi sama sekali. Perlahan dia menuruni tangga. Beralaskan kaus kaki cokelat yang kembali dia kenakan, lantai yang dingin bercampur udara yang hangat membuat perpaduan rasa itu menjadi semakin nyaman untuknya. Athena bergeming, menemukan Letnan Edsel berbicara dengan Panglima Sai di depan pintu masuk rumah dan keduanya tampak serius. Dia mengendap-endap, karena dia yakin kemampuan mendengar anggota militer sangat baik, walau suara sehalus atau sesamar yang bisa dia redam, akan ketahuan pada akhirnya. "Bagaimana dengan anak-anak dan gadis itu? Jenderal memerintahkanmu untuk membakar rumah mereka, bukan?" Panglima Sai mengangguk dengan senyum samar. "Sudah kulakukan. Rumah itu berbaur dengan tumpukan salju sekarang." Letnan Edsel mengangguk pelan. Dia melirik Athena yang bersembunyi di balik meja besar televisi. "Itu bagus. Sisir hutan sekali lagi. Kita harus menemukan organisasi Partai Merah untuk menghukum mereka dengan hukuman yang lebih berat." Panglima Sai mengangguk kecil. Dia menghormati Letnan Edsel sebagai atasan yang dapat dipercaya dan begitu tangguh. Walau Sang Jenderal jauh lebih tangguh dan berbahaya, tetapi Letnan Edsel begitu ditakuti di kelasnya. "Dengan persiapan pernikahan, bagaimana?" Letnan Edsel mengangguk pelan. "Dihadiri tetua dan mereka akan menikah. Jenderal sudah siap untuk menikah hari ini." Panglima Sai sekali lagi tersenyum dingin. "Ini bukan hal main-main lagi. Sekali mereka menikah, perceraian akan menjadi hal yang mustahil bagi keduanya. Jenderal sudah memikirkannya?" Letnan Edsel mengangguk pelan. "Dia seorang Jenderal, semua peraturan sekecil apa pun, dia memahaminya. Tidak perlu menjelaskannya lagi." "Sekarang, bawa gadis itu turun dari kamarnya." Perintah Letnan Edsel pada Panglima Sai yang segera beranjak dari tempatnya dan Athena keluar secara tiba-tiba dari tempat persembunyiannya, membuat alis Panglima Sai dan Letnan Edsel terangkat bersamaan. "Tunggu, apa maksudnya dengan menikah?" Panglima Sai mengamati penampilan gadis di hadapannya dengan pandangan menilai. Saat dia menemukan kesempurnaan tanpa celah, sudut bibirnya tertarik keji. "Kau terlihat lebih baik, Nona Athena." "Aku tidak akan menikah!" Athena mengabaikan pujian Panglima Sai untuknya. Dia melotot, menatap Letnan Edsel marah. "Aku sudah memiliki kekasih. Aku tidak akan berkhianat." "Tidakkah kau seharusnya berpikir mengapa Jenderal membawamu masuk ke dalam rumahnya? Ke dalam wilayah sentral yang sangat privasi dan tertutup bagi orang luar?" Panglima Sai menyela ucapan Athena dengan bentakan. "Dia akan menikahimu. Dan kau seharusnya berbangga hati karena Jenderal, pemimpin Dalla akan mempersuntingmu." "Tidak, aku tidak mau!" Athena memeluk pakaian kotornya dengan erat. Letnan Edsel mendekat, dia mengambil paksa pakaian usang Athena dan membawanya ke dalam api pemanas di dalam ruang tengah. Membakar pakaian itu hingga api semakin besar dan tampak kepulan asap hitam membumbung tinggi di angkasa keluar melalui cerobong asap. "Bawa dia pergi." Panglima Sai mengangguk patuh saat dia menyeret Athena pergi keluar dari rumah Sang Jenderal. "Immanuel Gildan hanyalah sampah," bisik Letnan Edsel dingin. Menatap tajam pada api yang membakar habis pakaian kotor milik Athena dengan ganas. Pias cahaya keemasan terpantul di iris biru lautnya, terlihat mengerikan. *** "Lepas!" Salah satu anggota militer menarik Athena secara paksa. Terkadang menyeret gadis itu saat mereka di bawah komando Panglima Sai untuk memaksanya membawa pergi ke dalam Benteng Dallas dan akan menikahkan dirinya di dalam sana. Disaksiksan oleh para tetua Dalla, mereka akan menikah. Yang Athena tahu dan pahami, pernikahan benar-benar sakral dan tidak bisa digugat dengan mudah oleh salah satu pasangan sampai maut memisahkan. Athena mendengus marah. Dia mencoba memberontak sekali lagi dan menendang-nendang udara kemana pun asalkan para militer melepasnya pergi karena cengkraman tangan mereka begitu kuat dan terasa menyakitkan. Ketika tubuhnya lemas dan tidak lagi bertenaga, Athena mencoba menggigit telapak tangan salah satu dari mereka dan Panglima Sai yang melihatnya, segera menghentikannya. Mendorong Athena hingga gadis itu terjatuh. Panglima Sai mendekatinya dengan ekspresi muram. Dia menarik paksa tangan gadis itu masuk ke dalam ruangan yang tidak Athena ketahui. Mendorong paksa Athena hingga dia terjatuh ke atas lantai yang dingin. Athena dikejutkan dengan alat pemancar yang otomatis bergerak mengarah ke dirinya. Tubuhnya bergetar hebat, menemukan alat-alat asing di luar nalar kini mulai menyala, memancarkan sinar kebiruan yang membakar dirinya. Tidak terlihat, tetapi sangat terasa hingga Athena seperti mati rasa. Panglima Sai menatap pemandangan itu dengan pandangan datar. Sekali-kali, pemberontak kecil harus diberi pelajaran agar dia tahu siapa yang berkuasa di sini. Agar dia belajar untuk mentaati peraturan dan mematuhi setiap perkataan Jenderal di masa depan nanti. Athena memejamkan mata, merasakan sakit yang amat sangat membakar kulitnya. Bahkan pakaian yang dia kenakan tidak bisa melindunginya dari sinar aneh yang merasuk ke dalam kulit, menyakiti dirinya seolah dia sedang berjemur di bawah sinar matahari yang terik. Pintu mendadak terbuka. Athena menjerit tertahan saat tubuhnya limbung dan menekuk bagai janin dalam kandungan di atas lantai. Saat Letnan Edsel mengangkat tangannya, alat pemancar itu seketika berhenti. "Apa yang kaulakukan?" Panglima Sai hanya diam. Dia menatap Letnan Edsel yang memandang jauh ke arah Athena yang lemah, meringkuk dengan memeluk dirinya sendiri. Sinar ultraviolet itu pasti membuat tubuhnya mati rasa untuk sementara waktu. "Aku melakukannya agar dia patuh dan tidak lagi memberontak. Terutama menyerang anggota militer," kata Panglima Sai, menjelaskan maksud mengapa dia menghukum Athena di dalam ruangan ini. "Dia akan menjadi istri dari pemimpin kita. Dia akan menjadi ibu negara Dalla setelah ini. Berhenti lakukan apa pun tanpa izin dari Jenderal," gertak Letnan Edsel dan Panglima Sai menunduk, menganggukkan kepala dalam diam. Athena mencoba bangun. Membuat sepasang mata berbeda warna itu waspada. Mengingat gadis itu benar-benar memiliki tekad tinggi untuk hidup. Letnan Edsel berjalan menghampirinya, mencoba membantu Athena bangun. Letnan Edsel memapahnya masuk ke dalam ruangan milik Sang Jenderal. Dimana mereka sudah menunggu. Ekspresi Jenderal terlihat muram menatap Athena yang lemas di bawah Letnan Edsel dan Panglima Sai yang masuk dengan kepala tertunduk. Tatapan tajam Sang Jenderal meninggali keduanya dengan sungguh-sungguh. Athena dibantu duduk oleh Letnan Edsel. Dia membungkuk, setelah Athena bisa mengendalikan diri dan tetap bertahan, dia menatap ketiga tetua asing yang duduk di hadapannya dengan ekspresi gamang. "Dia gadis biasa dan tidak istimewa," kata Jenderal membuka suara. "Tapi bagiku, dia istimewa. Jangan memancingku dengan menolak keinginanku." Para tetua terdiam. Mendapat ancaman tersirat dari Sang Jenderal di hadapannya dan tiba-tiba Athena menggeleng, menentang pernikahan dengan sorot mata keras dan dingin. "Aku tidak akan menikah." Letnan Edsel dan Panglima Sai yang berdiri di belakang mereka terkejut dengan ucapan spontan Athena yang amat berani di saat penting seperti ini. Sikap keras kepala gadis itu mengejutkan tiga tetua di depannya. Jenderal Levant mendengus pelan. Alisnya terangkat penuh antisipasi saat dia menolehkan kepala, menatap Athena dari sisi wajahnya. "Kau yakin?" "Sangat yakin, Jenderal." Para tetua itu memandangi Sang Jenderal dengan tatapan bingung. Mereka tetap diam, tidak berani bersuara ketika ekspresi wajah Sang Jenderal semakin gelap. "Ledakkan persembunyian gudang bawah tanah Immanuel Gildan sekarang juga. Bawa anggota Partai Merah yang tersisa di hadapanku. Aku akan memberikan hukuman mereka langsung di depan rakyat Dalla hari ini." Perintah Jenderal mutlak. Dan Athena bergetar mendengar ancaman Jenderal itu padanya secara terang-terangan. Dia menunduk, mencoba menguatkan hati saat kepalanya tidak sanggup bergerak untuk memberi jawaban dan Sang Jenderal semakin tidak sabar. Dia menggeleng pada Letnan Edsel dan pria itu segera mengangguk, bersiap pergi. "Jangan! Berhenti!" Athena mulai terisak pelan. Menarik rambutnya sendiri dengan isakan lirih. Dia begitu tak berdaya. Di hadapan kekuasaan Jenderal Dalla yang memiliki segalanya, dia layaknya butiran salju yang turun ke tanah dan menghilang, tidak memiliki kuasa untuk bertahan atau menolak. "Aku akan melakukannya. Aku akan menikah denganmu." Jenderal melirik Letnan Edsel dan dia mengangguk, Sang Letnan kembali diam di tempatnya. Saat Athena selesai menandatangani dokumen sah yang disaksikan tiga tetua dan dua tangan kanan terbaik Sang Jenderal, pernikahan itu sah adanya. Jenderal melempar sesuatu dari balik seragam militernya, di hadapan Athena yang melamun. "Pakai cincin itu." Sang Jenderal mengulurkan salah satu jemarinya yang berlapis cincin perak polos di jari tengahnya. "Aku memakai salah satunya. Sesuai peraturan yang ada di Dalla, setiap pasangan yang sudah menikah, mereka harus memakai cincin untuk menimalisir adanya perselingkuhan atau pihak lain yang ingin menghancurkan rumah tangga mereka." Athena terdiam, memandang kotak itu dengan pandangan nanar. Di bawah tatapan mengintimidasi dari para tetua dan suaminya sendiri, dia mengulurkan tangannya, mengambil kotak itu dan membuka isinya. Cincin perak berlapis berlian itu ada di tangannya sekarang. Athena merasakan kepalanya berdentam hebat, tidak menyenangkan dan terasa sakit. Terutama di dalam hatinya. Dia menunduk, mengambil cincin itu dan memasangkannya ke jemarinya sendiri dengan tangan bergetar. Senyum puas Sang Jenderal mengembang samar. Dia berdiri, meninggalkan tetua tanpa salam dan beranjak keluar diikuti Panglima Sai dan Letnan Edsel di belakangnya. Saat pintu tertutup, tatapan tajam Sang Jenderal segera menyerbu Panglima Sai, dia menarik seragam militer Sang Panglima dengan ekspresi tajam. "Kau tidak perlu mengancamnya terlalu keras. Kau paham?" Panglima Sai mengangguk pelan dan Letnan Edsel mengulum senyum dingin. Karena bawahan nakal macam Panglima Sai ini sekali-kali membelot dan melakukan apa pun yang dia mau tanpa berpikir hukuman apa yang menantinya dari Jenderal. "Dia bisa mati jika kau terlalu lama mengurungnya di dalam ruangan sinar ultraviolet," sahut Jenderal dingin. Melepas cengkraman seragam militer Panglima Sai dan Sang Jenderal berjalan menjauhi mereka dengan langkah panjang. Pintu ruangan terbuka setelahnya. Sosok Athena keluar dari ruangan dengan tubuh lemas yang tidak bisa dia tahan lagi. Tangan gadis itu berpegangan pada dinding dan tatapannya mulai mengabur. Tidak lama, Athena jatuh ke atas lantai dengan benturan keras, lalu tidak sadarkan diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN