PART 1

1669 Kata
“Aurora, ini gaji kamu bulan ini.” Gadis itu pun tersenyum. Ini adalah gaji ketiga kali pekerjaannya sebagai baby sitter. AURORA EVELLINA P, gadis berumur 24 tahun ini sangat suka dengan keju tetapi tidak suka cokelat. Gadis lulusan sebuah perguruan tinggi yang belum mendapatkan pekerjaan yang tetap. Gadis yang sudah pasrah akan nasib hidupnya. Gadis ini sudah setahun lamanya lulus kuliah, namun hingga sekarang dia belum bisa mendapatkan pekerjaan yang cocok untukknya. Tiga bulan yang lalu tetangganya menawarinya bekerja sebagai pengasuh anak. Awalnya gadis itu ingin menolak, namun karena desakan sang tetangga dan ada rasa simpati dalam diri gadis itu, maka dia pun menerima pekerjaan ini. Terhitung sudah tiga bulan lamanya dia bekerja. Tentu saja sang tetangga tidak membebani gadis ini. Mereka mempersilakan si gadis untuk mencari pekerjaan dan boleh berhenti sewaktu-waktu jika sudah mendapat pekerjaan yang layak. “Bagaimana perkembangan Aril?” tanya Bu Diah selaku tetangga gadis ini dan orang tua dari bocah yang sedang gadis itu asuh saat ini. “Alhamdulillah ada kemajuan, Bu. Kemarin Aril sedikit demi sedikit belajar merangkak,” jawab Aurora sambil dengan telaten dia menyuapi bocah laki-laki yang masih balita itu. Bu Diah pun dibuat tertawa dengan tingkah lucu sang anak bungsunya ini. Dia memang sudah lama mempekerjakan Aurora. Dengan kehadiran gadis ini benar-benar mempermudah segala pekerjaan rumahnya tertuma untuk mengurus sang putra keduanya. “Ibu berencana kalau Aril sudah besar mau masukin dia ke PAUD. Menurut kamu bagaimana, Nak?” tanya Bu Diah meminta pendapat dari gadis ini. Sejauh ini gadis ini adalah partner yang baik untuk diajak berdiskusi. Aurora pun tampak tersenyum bahagia ketika mendengar rencana dari tetangganya ini. “Bagus itu, Bu. Pendidikan anak sejak dini bagus untuk perkembangan mereka sebelum mereka memasuki dunia pendidikan yang sebenarnya,” jawabnya. “Ibu pikir sih begitu. Tapi, Rendy tidak setuju karena dia pikir Aril masih kecil dan dia khawatir Aril tidak bisa bersosialisasi dengan baik,” kata Bu Diah dengan raut wajah sedihnya mengingat ketidaksetujuan putra sulungnya itu. Gadis itu pun tersenyum dan memaklumi bagaimana selektifnya Rendy sebagai kakak. Rendy memang sangat manyayangi adik kecilnya itu. Mas Rendy, begitulah panggilan akrab yang Aurora keluarkan. Umur mereka hanya berjarak satu tahun, namun gadis itu sangat menghormati pemuda yang sudah ia anggap sebagai kakaknya sendiri itu. “Bukan tidak bisa, Bu, tetapi belum bisa. Lambat laun Aril pasti bisa, kok. Kita hanya harus beri dia kesempatan sedikit. Anak juga butuh kebebasan dan dia perlu berinteraksi dengan anak sebayanya,” pikir Aurora mengutarakan pendapatnya. “Kamu benar, tapi Rendy selalu menolak. Ibu bisa apa, semua keputusan ada sama dia setelah papa anak-anak tiada,” lirih Bu Diah yang langsung menunjukkan raut sendunya ketika membahas kepergian sang suami tercinta. Keluarga Bu Diah dan Aurora bernasib sama. Keduanya ditinggal pergi oleh sosok laki-laki terpenting di hidup mereka. Bedanya hanya di segi posisi. Aurora kini hanya tinggal berdua bersama mamanya, sedangkan Bu Diah masih bisa memiliki dua malaikat dalam hidupnya. Rumahnya tidak akan terasa sepi ditambah lagi jika ada si kecil Aril. Aurora sendiri sudah menganggap bocah laki-laki itu sebagai adiknya sendiri. “Kehilangan memang berat dan sulit untuk dijalani. Akan tetapi hidup harus terus berjalan meskipun semuanya terasa berat. Bu Diah nggak perlu khawatir, sebisa mungkin aku dan mama akan bantu Bu Diah jika butuh bantuan.” Perkataan gadis itu terdengar tulus dan Bu Diah pun tidak bisa untuk tidak tersenyum. Aurora sudah dianggap seperti anaknya sendiri, ditambah lagi beliau sangat ingin mempunyai anak perempuan. “Terima kasih, ya, Nak.” “Sama-sama, Bu,” balas gadis itu dengan lembut. “Bu Diah karena hari sudah mau sore, saya pamit pulang dulu. Sebentar lagi mau siapin makan malam di rumah,” ucap gadis itu tak enak hati dan malah membuat Bu Diah sendiri menjadi terkekeh dibuatnya. “Kamu ini seperti sama siapa saja. Ya sudah kamu boleh pulang. Salam buat mama kamu dan hati-hati di jalan.” Aurora pun tersenyum karena selalu mengingat perkataan Bu Diah yang tidak pernah berubah sejak ia bekerja di rumahnya ini. Wanita yang baik di mata Aurora sendiri. Aurora pun sudah menganggap Bu Diah seperti ibunya sendiri. Ya mungkin gadis itu memiliki dua ibu saat ini. “Iya, Bu, aku pamit dulu. Assalamualaikum.” “Waalaikumsalam.” Tidak lupa juga gadis itu mencium pipi bocah laki-laki yang bernama Aril itu. Tentu saja meskipun masih kecil, bocah itu ternyata sangat tidak suka dicium apalagi ketika pipinya dicubit gemas oleh orang lain. Dan sayangnya Aurora sangat suka sekali mencubit pipi gembul bocah itu. Langkah kaki gadis itu membawanya ke sebuah rumah minimalis berlantai dua. Tidak besar atau pun kecil, tapi cukup sebagai tempat bernaungnya bersama dengan sang mama. Jarak rumahnya dengan Bu Diah hanya lima rumah dan tentu saja mereka bertetangga. Bu Diah pun sudah mengenal dengan baik mama dari Aurora. “Assalamualaikum, Ma,” ucap Aurora sambil meletakkan sepatunya di tempat penyimpanan yang tersedia di rumahnya. “Waalaikumsalam.” Gadis itu melangkahkan kakinya ke sumber suara. Sudah dipastikan jika sang mama pasti tengah berada di dapur. Sudah menjadi kebiasaan beliau ketika menyiapkan makan malam untuk nanti. Gadis itu segera menyambar punggung tangan sang mama yang sudah berbau bawang itu. Ini sudah menjadi kebiasaannya sejak kecil untuk mencium punggung tangan orang tua ketika baru atau sudah sampai rumah. “Masak apa, Ma?” tanya gadis itu seperti biasa sambil sesekali melirik bahan makanan yang sedang dikerjakan oleh sang mama. “Tumis kangkung tempe kesukaan kamu,” jawab beliau yang membuat gadis itu memekik senang. Setelah seharian bekerja, akhirnya dia disuguhkan oleh salah satu makanan kesukaannya. Mamanya ini adalah mama terbaik. “Yeay! Tahu banget, sih, Mama kalau aku lagi pengen makan itu.” “Kamu bersih-bersih dulu sana, baru setelah itu kita makan bersama.” “Okey kapten!” Gadis itu pun bergegas membersihkan dirinya. Kamar yang di d******i warna biru dan putih sudah menjadi tempat bernaungnya selama bertahun-tahun. Gadis ini pun bersenandung ceria sambil membilas tubuhnya dengan air. Seketika badannya kembali segar dan dengan semangat dia pun segera turun ke bawah untuk menemui sang mama. Tentu saja gadis itu sudah memakai pakaian santainya ketika berada di rumah. Tanpa polesan make up dan hanya bedak tipis serta liptin di bibirnya merahnya itu. Gadis yang rambutnya dicepol itu pun mengerucut sebal karena sang mama telah selesai memasak. Padahal dia ingin membantu mamanya di dapur. Mungkin dia terlalu lama mandi tadi, “Itu mulutnya kebiasaan. Jelek, Sayang,” tegur sang mama yang malah menambah muka masam sang anak terlihat dengan jelas. Wanita paruh baya itu pun hanya tertawa menanggapi sifat anaknya yang kekanakan seperti ini. Padahal umurnya sudah dewasa dan tidak anak-anak lagi. “Malu sama umur,” cibir sang mama yang mengundang pelotot dari anaknya. “Ih, Mama ngeselin. Pokoknya besok-besok biar aku aja yang masak. Sekali-kali Mama harus biarin Aurora masak. Gini-gini aku jago masak loh, Ma,” kata gadsi itu sambil memasukkan sesuap sayur kangskung tempe kesukaannya. Saat makanan itu sudah berada di dalam mulutnya, dia pun memejamkan mata. Mencoba menikmati kelezatan dari setiap makanan yang dibuat langsung oleh sang mama. “Sepertinya kurang asin deh, Ma,” komentar gadis itu. Wanita paruh baya itu pun membenarkan. Dia sempar mengira bahwa masakannya terasa kurang asin. “Tapi, tetap enak kok. Kapan-kapan Mama harus cobain tumis kangkung tempe ala Aurora,” ujar gadis itu lagi yang membuat sang mama terkekeh geli. “Iya, iya. Mama pengen coba masakan kamu secara langsung. Hitung-hitung belajar buat jadi istri nanti. Anggap aja sebagai simulasi.” “Ih, Mama, nggak usah aneh-aneh!” protes Aurora yang membuat tawa sang mama semakin kencang. Dan semakin kesal juga gadis itu. “Aurora ngomong-ngomong, kamu sudah ada info pekerjaan, tidak? Dengar-dengar dari ibu-ibu komplek ada anaknya yang minta dijaga sama kamu. Mungkin mereka dapat info dari Bu Diah. Tapi, Mama sudah bilang kalau kamu sudah bekerja di rumah Bu Diah dan kamu akan semakin kelelahan jika menjaga anak-anak lainnya,” jelas sang mama. “Iya, Ma. Bilang gitu aja. Jujur, Aurora capek kalau jadi pengasuh anak terus. Aril sekarang sudah besar, Ma. Tingkahnya semakin gesit apalagi dia sudah belajar merangkak sekarang.” “Merangkak? Wah, anak yang pintar. Kamu harus ekstra jaga dia. Anak seusia itu lagi gesit-gesitnya mencari tahu segala hal.” Aurora pun menggangguk setuju membenarkan perkataan sang mama. Dulu, ia piki menjadi baby sitter tidak akan semelelahkan ini. Namun, menjaga bocah memang melelahkan sekali apalagi jika bocah itu sedang berada di masa pertumbuhan. “Oh iya, kenapa kamu tidak coba tanya ke Rendy? Siapa tahu di kantor dia ada lowongan pekerjaan.” “Mas Rendy, Ma? Nggak mau. Aku mau tanya ke dia dan nggak enak juga soalnya kan aku jadi pengasuh adiknya.” “Kenapa malu dan nggak enak gitu? Bu Diah sendiri yang beri kamu kebebasan untuk mencari pekerjaan,” sanggah sang mama. “Ingat, Nak, hidup itu harus berjalan dan tidak mungkin juga kita harus berdiam diri di tempat. Sebisa mungkin kita harus melangkah meskipun itu tertatih-tatih,” jelas wanita paruh baya yang merangkap sabagai mama dari Aurora. Gadis itu menimang betul perkataan sang mama. Memikirkan dan mencari jalan keluar atas kegelisahannya saat ini. Dia ingin mendapat pekerjaan yang layak. Yang sesuai dengan keahliannya tentunya. Aurora. Dalam bahasa yunani diibaratkan sebagai perwujudan dewi matahari terbit. Kedua orang tuanya memberi nama seperti ini mungkin sebagai doa agar kelak anaknya bisa menjadi pekerja keras, baik, lembut, penuh visi dan kreatis serta dapat menginspirasi banyak orang. Berani dan juga sedikt keras kepala juga ada pada diri gadis ini. Setelah makan malam, gadis itu memilih menuju ke dalam kamarnya. Selain karena sang mama yang sedang keluar, sepertinya gadis itu sedang kelelahan karena pekerjaannya sebagai pengasuh Aril. Bocah laki-laki itu benar-benar menguji kesabarannya akhir-akhir ini. Dan juga sepertinya Rora harus banyak-banyak olahraga. Gadis itu memijit sedikit telapak kakinya. Terasa nyeri di bagian sana. Kegiatan seperti ini sudah sering ia lakukan tiap malam mengingat besok pagi dia masih harus mengasuh bocah itu. Aurora menghembuskan napasnya, kemudian gadis itu merebahkan dirinya di kasur kesayangannya sambil menatap langit-langit kamarnya yang ia modifikasi dengan banyaknya tempelan bintang-bintanga. Gadis ini sangat menyukai benda langit sepertinya. Seketika dia teringat dengan ucapan sang mama. Mungkin dia bisa memikirkan untuk bekerja di tempat Rendy. Mungkin, jika Tuhan memberinya ijin untuk bekerja di sana. Meskipun tampaknya dia pun tidak begitu yakin akan diterima karena itu adalah perusahaan besar dan sangat terkenal. Kemungkinan akan sangat sulit untuk bekerja di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN