PART 2

1713 Kata
“Aurora, jangan lupa nanti tanyakan ke Rendy tentang lowongan di tempatnya,” ujar sang mama yang masih kekeh untuk mengingatkan anak gadisnya ini untuk lebih berani dalam mengambil segala tindakan. Aurora yang baru saja selesai menyelesaikan acara sarapannya pun menjadi tak bersemangat lagi. “Ma, aku nggak enak bilangnya sama Mas Rendy. Lagi pula aku dan dia nggak sedekat yang Mama pikir. Kita jarang sekali ketemu karena Mas Rendy sendiri pulangnya jam lima kadang juga lembur, itu kata Bu Diah,” jelas Aurora mencoba memberi pengertian kepada sang mama yang masih berharap dia mendapat pekerjaan yang layak. Siapa yang tidak ingin mendapat pekerjaan yang bagus? Tentu saja dia ingin. Akan tetapi, nasibnya saja yang kurang baik dari teman-teman kampus seangkatannya. Teman-teman kampusnya sepertinya memiliki nasib yang mujur sekali. Ada pula yang tidak perlu repot-repot bekerja karena memilih menjadi ibu rumah tangga. Oh tidak, lebih tepatnya ibu muda sosialita. Itulah yang sering sekali ditunjukkan oleh teman-teman gadis ini yang sudah menikah, tentunya dengan pria yang sangat mapan. Menikah? Memikirkannya saja Aurora enggan. Dia masih belum memiliki keinginan untuk ke sana. Lagi pula dia pun tak tahu harus menikah dengan siapa. Hidupnya saja masih serba kekurangan. Bisa makan saja sudah cukup baginya. Jika menikah, modalnya tak cukup hanya sejuta dua juta. Perlu berpuluh juta mungkin. Terkadang juga dia merasa kehidupan teman-temannnya kenapa sebagus itu. Bahkan suami-suami mereka kebanyakan memiliki pangkat. Entah sebagai polisi, tentara, DPR, atau pemilik perusahaan. Tentu saja para pria itu memiliki wanita yang setara dengan mereka. Cantk, putih, bersih, dan tentunya kaya. Itu sudah menjadi kodrat dunia, dan Aurora sendiri pun tidak bisa menampiknya. “Aurora berangkat dulu, Ma,” pamit gadis itu sambil menenteng tas kecil yang selalu ia bawa sebagai tempat ponsel dan dompet. Tidak banyak yang gadis itu bawa karena dia pun tidak begitu suka mengoleksi make up. Mungkin hanya bedak, liptint dan lipstik, itu pun dia letakkan di dalam kamarnya. Gadis sederhana yang jarang sekali ditemui di jaman yang sekarang. Gadis itu berjalan kaki ke rumah Bu Diah karena memang letaknya sangat dekat sekali. Pagi-pagi seperti ini akan banyak beberapa orang yang akan berpapasan dengannya. Seperti seorang wanita tua yang selalu rajin menyirami bunga-bunganya yang berada di depan rumah. “Selamat pagi, Nek,” sapa gadis itu yang membuat si wanita tua pun menoleh kepadanya dan tersenyum hangat. “Selamat pagi, Aurora,” jawab wanita yang dipanggil nenek oleh gadis ini. “Berangkat kerja, ya?” tanyanya yang diangguki oleh Aurora. “Iya, Nek.” Gadis itu berjalan lebih dekat ke halaman rumah wanita tua itu. Memperhatikan bunga-bunga indah yang bermekaran di sana. Sangat indah pikirnya. “Bunganya bagus, Nek,” ujar gadis ini. “Ini bunga tuli, kan, Nek? Aku baru lihat sekarang, apa Nenek baru saja membelinya?” tanya gadis itu sambil menunjuk ke sebuah bunga yang dia yakini adalah bunga tulip. “Iya. Cucu nenek yang membelikan kemarin. Dia baru pulang dari luar negeri,” jawab si nenek yang terus menyirami bunga-bunganya. “Indah sekali, Nek. Mata Aurora pasti segar kalau setiap hari melihat bunga-bunga Nenek pagi-pagi begini,” celetuk gadis itu yang membuat si nenek mengeluarkan gelak tawanya. “Silakan lihat sepuas kamu, Ra. Buat apa Nenek tanam di sini kalau nggak dilihat, bukan?” balas si nenek yang membuat keduanya menjadi tertawa bersama. Sedetik kemudian gadis itu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan hampir pukul setengah delapan pagi. “Nek, Aurora berangkat dulu, ya, sudah mau setengah delapan,” pamit gadis itu yang diangguki oleh si nenek. Gadis ini pun berjalan dengan santai. Oke, hari ini kegiatannya mungkin seperti biasa. Menyuapi Aril sarapan selagi Bu Diah berbelanja ke pasar. Untuk mandi, bocah kecil itu selalu dalam keadaan telah selesai mandi ketika gadis ini datang. Mungkin Bu Diah yang memandikannya. Cukup singkat perjalanannya hingga dia pun telah sampai di depan pintu rumah berwarna hitam. Dengan sigap gadis itu mengetuk pintu tersebut seiring dengan suara dari dalam sana yang ia yakini adalah si pemilik rumah. “Aurora silakan masuk. Ibu ribet banget sekarang. Itu si Rendy pagi-pagi sudah buat Ibu pusing. Kamu langsung ke ruang keluarga saja. Aril lagi main di sana. Oh iya, sarapan dia sudah Ibu siapin di meja. Tolong bantuannya ya, Nak.” Gadis itu pun hanya mengangguk patuh. Dia pun juga tak tahu apa yang menyebabkan wanita paruh baya itu kelimpungan seperti ini. Ketika beliau menyebutkan nama pemuda yang merupakan anaknya, Aurora bisa menyimpulkan jika pemuda itu belum berangkat bekerja. Gadis itu dengan segera menuju ke tempat bocah yang tadi diberitahu oleh Bu Diah. Sesampainya di sana, dia sudah disuguhkan oleh mainan yang berserakan. Astaga ini masih pagi dan Aril sudah bisa membuatnya berolahraga. Gadis itu pun terkekeh ketika pemikiran anehnya itu muncul. “Aril, kita makan dulu, yuk, Sayang,” ucap Aurora dengan telaten membuat anak itu mau menelan makanannya. Aril tipe anak yang malas makan jika sudah banyak mainan terpampang di depannya. Mungkin tidak hanya Aril saja, kebanyakan bocah juga begitu, bukan? Pagi itu dimulailah pekerjaan Aurora yang sedikit membuatnya riweh juga. Oke, tidak apa-apa. Anggap saja dia sedang berlartih menjadi seorang ibu. Ibu? Astaga, gadis itu ingin tertawa saja mmikirkan pikiran gilanya. Dia belum ingin menikah jika kondisi ekonominya belum stabil. “Maaf, ya, Aurora, soal tadi,” ujar Bu Diah yang baru saja muncul. Sepertinya wanita itu baru saja selesai mengurus anak pertamanya. “Nggak apa-apa, kok, Bu,” jawab gadis itu memakluminya. “Rendy itu nggak pernah bisa rapi,” kata Bu Diah yang menyebut nama anak pertamanya. “Kayak begini sudah sering banget Ibu lakukan tiap pagi sepertinya,” lanjutnya yang masih menceritakan perihal sang anak pertamanya itu. Aurora memilih untuk menyimak kareana dia pun tak tahu harus merespon apa. “Masalah kaos kaki, dasi, sampai file kerjanya saja dia sampai lupa taruh.” Aurora pun tertawa melihat nada bicara Bu Diah yang lucu menurutnya. “Maklum saja, Bu. Mungkin Mas Rendy banyak pikiran ditambah pekerjaan dia yang banyak jadinya lupa,” balasnya. “Tapi ini terlalu sering, Nak. Ibu nggak tau lagi harus kasih tau Rendy seperti apa lagi. Sepertinya dia harus segera menikah biar ada yang urus. Ibu susah ngurus dua anak. Yang satu sudah besar tapi belum bisa mengatur dirinya sendiri. Nah, yang ini masih kecil banget.” “Sabar, Bu. Pernikahan bukanlah solusi dari segalanya. Mas Rendy juga pasti menikah tapi tidak untuk sekarang mungkin,” respon gadis ini alakadarnya. “Kamu benar. Nikah itu nggak bisa bruu-buru. Perlu persiapan yang matang. Ibu nggak akan bisa bayangin jika Rendy menikah karena sebuah keterpaksaan. Dia pasti nantinya tidak akan bahagia.” “Bababa baba bababa.” Celotehan Aril membuat keduanya menjadi tertawa. Sepertinya bocah laki-laki ini ingin ikut nimbrung dengan pembicaraan keduanya. “Tuh, sampai Aril aja mau turun tangan. Iya, kan, Sayang?” tanya Bu Diah yang hanya dijawab celotehan khas anak kecil dari mulut mungil bocah itu. Setelah acara sarapan selesai, Aurora membawa Aril bermain sembari menunggu Bu Diah yang sedang belanja. Beginilah kegiatannya setiap hari. Ya, meskipun Bu Diah sendiri biasanya hanya tiga atau dua hari sekali ke pasar, namun gadis ini cukup kelimpungan juga jika menjaga bocah segesit Aril ini. Lihat saja, bocah itu sekarang malah dengan senangnya mencabuti daun sintetik yang dijadikan hiasan yang merambat di sekitar meja dekat sofa. Astaga, menambah pekerjaannya saja bukan? “Aril jangan dicabutin, Sayang. Kak Aurora capek bersihinnya,” kata Rora dengan nada memelas yang hanya dijawab gelak tawa oleh bocah laki-laki ini. Aurora bodoh, bocah sekecil ini mana tau yang dia bicarakan. Dasar gadis aneh. *** Hari ini Rora pulang sedikit terlambat sekitar pukul setengah empat. Berjalan kaki sudah menjadi rutinitasnya. Tentunya itu menyehatkan bagi dirinya. Ah iya, tidak ketinggalan pula beberapa makanan yang sempat dibeli oleh Bu Diah pun ia bawa atas perintah beliau juga tentunya. Awalnya gadis ini menolak, namun wanita paruh baya itu terus memaksanya karena tak enak hati ketika gadis ini terpaksa pulang telat sedikit. Faktor keterlambatan gadis itu karena Bu Diah meminta ditemani memasak. Dan juga beliau sedikit kerepotan dengan adanya Aril. Karena tidak tega, maka gadis itu pun membantu Bu Diah. Sang mama pun sempat heran, namun gadis ini pun segere menjelaskan perihal keterlambatannya. Namun, baru saja gadis itu ingin memasuki biliknya, sang mama malah memanggilnya. Lebih tepatnya memintanya membukakan pintu depan karena sepertinya ada tamu. Dengan sisa-sisa tenaganya, gadis itu pun berjalan gontai ke pintu. Membuka knop pintu secara perlahan yang menampilkan visual pemuda yang ia kenal sebagai anak dari Bu Diah. “Mas Rendy?” Sang pemilik nama pun tersenyum. Pemuda itu segere menyerahkan sebuah bingkisan entah apa yang Aurora tidak tahu isinya apa. “Ini disuruh Bunda kasih ke kamu,” ujar Rendy. Gadis itu pun menerimanya sedikit canggung. “Merepotkan saja, Mas. Bilangin ke Bu Diah terima kasih banyak,” jawab Aurora yang masih canggung. “Sama-sama.” “Ya sudah aku balik dulu, Ra. Baru pulang kerja jadi harus segera bersih-bersih,” jelas Rendy yang tidak enak hati. Dia pun juga tidak enak bertamu di rumah orang dalam keadaan yang kucel. Aurora pun memakluminya. Dia pun mempersilakan pemuda itu untuk pulang. Namun, ketika dia berbalik untuk masuk ke dalam rumahnya, dia ingat untuk menanyakan sesuatu kepada pemuda itu. “Mas Rendy,” panggilnya yang membuat si pemuda berhenti melangkah dan kembali ke tempat si gadis itu berdiri. Aurora pun jadi tak enak hati sendiri. Kalau bukan karena perintah sang mama, dia pun tidak akan menanyakan hal ini. Ditambah dia pun jarann berinteraksi dengan Rendy. “Ada apa, Ra?” “Maaf sebelumnya kalau tiba-tiba dan mengganggu waktu Mas Rendy. Begini, aku mau tanya di tempat Mas Rendy bekerja ada lowongan apa tidak? Aku sebenarnya lagi mau cari kerjaan, tapi belum ada info. Mungkin di tempat Mas Rendy ada,” ungkap gadis itu yang menocba lebih berani. Jika dia tidak bertanya mana mungkin dia mendapat info pekerjaan, bukan? “Lowongan, ya? Untuk sekarang belum ada, Ra. Next time kalau ada info aku kasih tau kamu. Oh iya, sedikit info saja kalau perusahaan tempatku itu hampir pekerjnya adalah laki-laki. Yang perempuan biasanya hanya sekretaris atau bagian resepsionis. Sudah peraturan dari atasan yang memang memusatkan pekerja laki-lak di internal mereka,” jelas Rendy yang membuat gadis itu mengangguk mengerti. Jadi pilihannya sekretari dan resepsionis? Tidak terlalu buruk, pikir Aurora. “Oke, Mas. Kalau ada info kasih tau aku.” Rendy pun mengangguk. Pemuda itu kembali berpamitan dan Aurora pun segera masuk kembali ke rumahnya. Sepertinya dia juga harus mencari info pekerjaan di perusahaan lain. Dia tidak boleh hanya mengandalkan perusahaan di tempat Rendy, bukan? Dengan semangat yang dia punya, gadis itu pun segera membersihkan diri dan mencoba mencari di internet lowongan pekerjaan. Mungkin dia mempunyai keberuntungan hari ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN