Di sebuah rumah megah bergaya Eropa klasik dengan tiang-tiang besar, juga lampu gantung kristal menjuntai ke bawah membuat pencahayaan jadi glamour di rumah itu, terlihat seorang perempuan yang sibuk. Berjalan mondar-mandir memastikan segala halnya telah siap dengan sempurna. Aurelia, nama perempuan itu, perempuan kepala empat yang seumuran dengan Serlin, mengenakan dress hitam sebetis, dengan rambut bergelombang dan make-up tipis natural menandakan dia adalah tipe ibu-ibu sosialita berhumor tas Lous Vuitton atau Guci.
Perempuan itu menunjuk ke arah piring di atas meja panjang berbalut emas yang belum tertata rapi, membuat perempuan-perempuan lain yang mengenakan celemek hitam langsung memperbaikinya. Memastikan rasa kue-kue penutup yang ditawarkan kepadanya sudah pas.
Ia mengacungkan jempol.
"…jangan lupa pasang lilinnya juga putar musik klasik setelah semua tamu datang."
"Siap Nyonya."
Aurelia tidak ingin memarahi siapa pun yang melakukan kesalahan. Bagiamana mungkin jika hatinya berbunga-bunga. Keluarganya mendapatkan berita gembira. Leo, sang anak sulung diterima di Kedokteran Harvard.
Maka untuk melampiaskan kebahagiaannya itu, ia mengundang semua keluarga yang termasuk ke dalam komunitas Elite Student untuk makan malam itu. Dianggapnya perayaan kecil-kecilan. Tetapi biayanya tak kecil, kalau kalian ingin tahu—koki handal, pelayan pesanan, puluhan bodyguard, juga pemain musik. Semuanya dibayar dengan tidak murah meski sebagian besar adalah pekerjanya sendiri.
Aura tersenyum simpul, menyeka pakaiannya kemudian menghela napas ringan. “Beres.” Saat mendongak, ia melihat sosok dengan dress berwarna putih disertai jaket bulu berwarna kehitaman menuruni tangga. Senyumnya mengembang kembali.
"Wah... kau membuat mama bangga Nak."
"Benar kah?"
"Ya, mama secantik dirimu waktu masih muda."
"Ah, ada-ada saja. Arabelle tahu mama lebih cantik dulu," Arabelle tersipu malu.
"Ya, mama memang lebih cantik hahaha...” tawanya. “Oh iya, mana kakakmu?"
"Dia masih bersiap-siap."
Aurelia mengangguk. "Kalau begitu, panggil papa dan kakakmu, suruh mereka cepat turun. Mama akan menyambut tamu."
Arabelle mengangguk, melangkahkan kakinya dengan berat karena heels yang dipakainya. Perempuan itu beruntung telah lahir dari seorang ayah pemilik perusaahan properti, Thomson Wirakusuma. Sedangkan mamanya bernama Aurelia, merupakan mantan pemenang ajang kontes kecantikan di masanya. Telah pensiun cukup lama dari dunia modeling.
Tamu pertama yang hadir dalam pesta makan malam itu adalah Alex dan ayahnya. Keluarga mereka memiliki perusaahan pangan yang cabangnya sudah tersebar di setiap pulau.
"Selamat datang Pak," sapa Aurelia.
"Ya, terima kasih telah mengundang kami," balas papanya Alex. Sementara anaknya berusaha menunduk tanda hormat kepada Aurelia.
Ayah dan anak itu mengambil posisi duduk setelah dipersilahkan. Mereka bercengkrama di sana sambil tertawa-tawa di antara kursi kosong.
Tidak berselang lama, tamu kedua hadir. Keluarga yang satu ini memilih memakai pakaian dengan warna senada. Sang ayah memakai suit merah dengan kemeja putih, sang ibu dengan dress berwarna putih dengan sedikit hiasan berlian berwarna putih. Serta sang anak—Chasandra yang memakai dress berwarna merah polos.
"Selamat datang kembali Chas. Bagaimana hari-harimu di Australia?" Aurelia tersenyum sembari membelai rambut Chasandra dan tersenyum kepada orang tuanya
“Baik tante.”
"Baguslah kalau begitu, masuklah! yang lain sudah menunggu di dalam."
Berikutnya adalah Aeera dan mamanya. Kompak menggunakan dres berwarna biru navy. Hanya saja style mereka jelas berbeda. Aeera membuat rambutnya terurai bergelombang membuatnya betul-betul tampil cantik malam ini sementara mamanya punya rambut sebahu.
“Wah kau pasti lelah hari ini, tetapi anakmu di Harvard jadi tak perlu khawatir,” goda Serlin menepuk Aurelia lembut.
Aurelia tersenyum kikuk. “Ah ada-ada saja. Masuk lah, anakmu Aeera tak suka berdiri lama-lama.”
Aeera tersenyum simpul.
Tamu berikutnya adalah Beltran dan Christina bersama anak mereka satu-satunya Edward yang kini mengenakan suit putih. Mereka terlihat cukup akrab dengan keluarga Arabelle dibanding yang lain. Bagaimana tidak—Edward dan Arabelle telah dijodohkan bahkan sebelum mereka menginjak bangku SMA.
"Wah… calon menantuku tampan sekali malam ini. Apa kalian janjian pakai putih-putih?"
Edward tersenyum. "Sepertinya tante." Jawabannya itu membuat Aurelia tertawa kecil.
Beltran tersenyum bangga. Sementara Christina bertanya tentang keberadaan calon menantunya.
“Dia masih ada di atas, belum turun.”
“Aah begitu ya. Omong-omong besanku cantik sekali malam ini,” puji Christina.
“Ada-ada saja. Masuk lah, sudah ada yang lain di dalam. Kalian harus memperkenalkan diri kalian dihadapan mereka sebagai besanku. Bukan begitu Pak Beltran.”
“Tentu, tentu saja,” timpal Beltran. Membuat tawa terdengar diantara mereka.
Setelah keluarga Edward masuk, Aurelia mengamati jam yang menunjukkan waktunya makan malam. Saat dia tiba di dalam dan ingin mengatakan sepatah-dua patah kata tiba-tiba saja seseorang yang cukup menarik perhatian masuk.
Semua mata kini tertuju kepadanya. Aura kedatangannya berbeda dengan yang lain.
Andi dan Mamanya.
Perempuan yang berjalan tepat di sebelah Andi punya wajah dingin serta senyum yang terkesan terpaksa membuat semua orang canggung kepadanya. Dia cukup disegani. Saat ini, dia mengenakan pakaian yang hanya dibuat khusus untuk dirinya. Sedang Andi, penampilannya saat ini betul-betul berbeda ketimbang saat dia di sekolah. Dia saat ini mengenakan suit berwara cream disertai rambut yang disisir naik. Membuat semua teman kelasnya yang berada di sana ikut terpukau, karena dia tidak tahu kalau Andi ternyata setampan ini, rambutnya biasanya disisir ke bawah menutupi matanya mirip dengan Abian, makanya dia juga tidak begitu populer di sekolah.
Tidak ada siapa pun di negara ini yang tidak tahu siapa mereka. Masuk dalam jajaran dua puluh orang terkaya di negara ini, membuatnya begitu dikenal. Mereka memiliki banyak perusaahan dan saham yang tersebar di mana-mana.
"Mohon maaf papanya tidak bisa hadir, dia ada di Berlin sekarang," ujar perempuan itu sembari menaruh tas Louis Vuitton di atas meja.
"Oh... Ti... tidak masalah," jawab Aurelia kikuk.
Suasana canggung kembali.
Sebelum semua mata kembali tertuju pada tiga orang yang terlihat menuruni tangga.