Tiga orang terlihat berjalan di koridor depan kelas. Dua laki-laki, dan seorang perempuan yang sedari tadi berusaha untuk menyamakan langkah dengan dua orang dihadapannya. Perempuan itu terlihat kesulitan berjalan, hingga dia akhirnya menghela napas lega setelah tiba tepat di depan pintu kelas.
"Tunggu di sini ya, bapak akan memanggil kalian masuk nanti," kata Pak Darwis, wali kelas XII.1.
Kedatangannya membuat suasana hening seketika, semua murid yang berseliweran kembali ke bangkunya masing-masing.
"Morning..."
"Morning sir..."
"Bagaimana liburan kalian?" tanyanya langsung membuat semua orang menampakkan ekspresi wajah yang berbeda-beda dengan jawaban yang berbeda pula, kelas kembali riuh-piuh sebelum pak Darwis mengambil alih kembali. "Semoga menyenangkan. Baiklah, hari ini bapak ingin menyampaikan bahwa kita kedatangan dua murid baru.”
Mendengar itu, kelas kembali berisik.
Pak Darwis menoleh ke pintu, memanggil dua orang yang sedari tadi menunggu namanya dipanggil. Mereka melangkah masuk bersamaan, tatapan semua murid tertuju pada mereka yang saat ini berdiri di depan papan tulis. Salah satu diantara dua murid baru, wajahnya tidak asing lagi di mata mereka. Dan satunya lagi, seorang laki-laki dengan tubuh proporsional. Edward dan Aeera tahu siapa dia.
"Perkenalkan diri kalian!" seru pak Darwis, membawa tubuhnya menepi.
Murid baru perempuan maju selangkah.
"Apa aku perlu memperkenalkan diri?" tanyanya dengan senyum miring.
Tak ada yang menyahut karena tak ada yang lupa siapa dia—Chasandra, yang dua tahun lalu mengikuti pertukaran pelajar ke Australia dan kembali lagi ke tempat dimana dia seharusnya.
Kedatangannya membuat dua sahabatnya bersorak di belakang sana, Anelka dan Romi. Dia merindukan sahabatnya itu—ya.. eh mungkin.
Chasandra duduk di bangku yang ditunjuk pak Darwis. Tepat di sebelah Arabelle.
“Kami merindukanmu Chas,” kata Romi pelan, memekik. “Kau sih tak aktif di media sosial. Instamu tak pernah update lagi, tak ada nomor yang bisa dihubungi.
Chasandra memukul pelan lengan Romi. “Ah maafkan aku… aku benar-benar sibuk belajar.”
“Lupakan tentang itu, yang penting kau di sini sekarang. Jadi kita akan kemana hari ini untuk merayakan kedatanganmu?” sambung Anelka antusias.
"Pilih saja tempat terbaik. Aku akan menceritakan kalian banyak hal," kata Chasandra membuat Romi dan Anelka bertepuk tangan kecil.
Sementara Arabelle tak tertarik sama sekali dengan keberadaan perempuan itu. Dia yang sebelumnya nyaman duduk sendiri kini merasa risih. Berusaha bersikap setidak peduli mungkin, tetapi desisan Romi dan Anelka yang terus memuji-muji membuatnya muak.
Bukan hanya Arabelle yang tak senang. Ada seorang perempuan juga yang duduk paling belakang menatap Chasandra cemas. Perempuan itu bernama Rein, anak pendiam yang tak suka berada di keramaian, hasil dari trauma yang didapatnya beberapa tahun silam. Hidupnya yang telah tenang dan berusaha sembuh dari anxiety akan terusik kembali. Tangannya jadi gemetaran, kakinya mendingin. Akan malang nasibnya.
Sial!
Matanya kini bertemu pandang dengan Chasandra.
"Baiklah, selanjutnya!" sambung pak Darwis setelah melihat Chasandra sudah menemukan tempatnya. Mempersilahkan murid baru berikutnya.
"Namaku Devan."
"Haii Devan..." teriak beberapa murid. Tidak—dua saja, Angela dan Debi yang terlihat seperti cacing kepanasan.
Beberapa perempuan di kelas itu saling senggol sikut, sikap normal remaja perempuan saat melihat lawan jenis berwajah tampan. Sejujurnya, tak ada satu pun di kelas itu yang buruk rupa menurut standar kerupawanan negeri ini. Hidung mancung, kulit putih dan sebagainya. Hanya saja orang baru kadangkala lebih menarik. Membuat Chasandra perlahan terlupakan, lagipun dia masih sibuk bercerita dengan kedua sahabatnya.
"Tampan juga Ra…" bisik Debi kepada Aeera.
Sedang Angela, menatap wajah Devan lamat-lamat sambil menopang dagu dengan mata berbinar-binar.
"Apa ada pertanyaan?" tanya Devan.
Hening.
Pak Darwis menyuruhnya duduk di sebelah Andi setelah melihat tidak ada yang ingin mengajukan pertanyaan.
Sedari tadi—Aeera tenggelam dalam lamunannya. Masih tidak percaya dengan keberadaan laki-laki yang baru saja dilihatnya. Sampai diam-diam mencubit dirinya sendiri. Wajah itu tidak asing baginya, hujan, memegang payung, menawarkan jaket. Ya—sang pangeran penunggang kuda putih malam itu.
****
Saat ini, jadilah kelas XII.1 dihuni oleh delapan belas orang murid, yang terdiri dari delapan siswa dan sepuluh siswi. Posisi bangku mereka enam kali tiga. Setiap murid duduk berdua, bukan karena sekolah ini miskin tetapi ini kebijakan pemerintah pusat. Baginya, kerjasama di era milenial itu penting yang dimulai dengan teman sebangku. Omong kosong.
Di sebelah kanan depan ada Aeera dan Debi, di barisan kedua ada Angela dan Juita, serta di barisan terakhir ada Rein dan Sinta. Di jajaran tengah, Arabelle dan Chasandra duduk paling depan, di tengah ada Anelka dan Romi serta paling belakang ada Septian dan Abian. Di sebelah kiri, duduk paling depan Edward dan Alex, di tengah Bimo dan Raka serta paling belakang Andi dan Devan. Hal itu juga sekaligus menandakan bahwa kelas XII.1 tidak dapat menerima murid baru lagi. Karena maksimal siswa per kelas di Cortex hanya delapan belas orang.
"Ketua kelas!” panggil pak Darwis membuat Edward spontan menoleh. “Bu Sarah tidak masuk hari ini, jadi tolong ambil perangkat belajar Biologi di mejanya. Bagikan ke teman-temanmu."
"Baik Pak," jawab Edward.
Setelah pak Darwis meninggalkan tempatnya setelah memberi pesan-pesan penutup. Kelas kembali riuh-piuh.
"Siapa namamu ha?" tanya Bimo kepada Devan yang saat ini tersenyum. Lalu menunjukkan papan namanya.
"Devan ya...Aku yakin keluargamu pasti punya perusaahan properti. Akhir-akhir ini orang mendadak kaya karena itu," tambah Raka membuat Edward dan Devan merasa tidak nyaman.
Edward menulis tugas dengan tidak beraturan seiring emosi yang dari tadi dipendamnya. Bukunya hampir saja robek. "Sudah lah, untuk apa kalian banyak bertanya. Dia baru saja duduk di tempatnya."
Mendengar itu, Alex, Bimo dan Raka terdiam menatapnya sambil bertanya-tanya dalam pikiran mereka.
"Ward, Bukannya kau biasanya antusias dengan murid baru," kata Alex.
"Hmm ya, itu dulu." Edward menatap ketiga temannya yang sedari tadi mengoceh. "Ayolah kita harusnya berpikir dewasa sekarang. Sebentar lagi ujian, aku yakin orang tua kalian hanya menyuruh kalian belajar dan terus belajar bukan?"
Raka mengangguk. "Benar sekali."
"Ya..." sambung Bimo, menelan ludah.
Dengan segera Edward meninggalkan tempat, memenuhi tanggung jawabnya sebagai ketua kelas dan menjalankan amanah yang diberikan pak Darwis; mengambil perangkat Biologi. Lagi pun, semakin lama dia tinggal maka akan semakin banyak hal yang akan mengungkap kecurigaan orang-orang terhadapnya tentang hubungannya dengan Devan.
Alex meraih buku dari dalam tasnya, kembali berkutat dengan buku latihan soal, begitu pun dengan Raka dan Bimo.
Sementara Devan yang sedari tadi melihat perbincangan mereka hanya bisa menggeleng pasrah. Baginya, yang paling penting sekarang adalah masa depan, hanya satu tahun dia harus menderita melihat lingkungan sekitarnya yang betul-betul berbeda. Dikelilingi oleh anak-anak yang terlahir beruntung yang akan mewarisi harta orang tua mereka.
Dia tidak ingin ikut campur dengan urusan apa pun.
Termasuk Edward.
Hingga tanpa ia sadari, Aeera masih memandanginya dari kejauhan.
Aeera membalikkan wajah. "Mengapa laki-laki itu ada di sini?" pikirnya. Sejujrunya dia senang tapi juga khawatir. Senang… karena malam itu bukan pertemuan terakhirnya tetapi khawatir kalau dia tidak bisa mengontrol sikapnya yang selalu salah tingkah.
"Ada apa Ra?" tanya Debi melihat tingkah sahabatnya itu. "Apa kau tidak ingin menghampiri Chasandra?" sambungnya berbisik sepelan mungkin.
Aeera menggeleng. "Kita akan menyapanya setelah ini."
Debi mengangguk, membalikkan badannya kembali. Dia selalu setuju dengan apa yang Aeera katakan, karena baginya Aeera adalah orang terbijak dalam mengambil keputusan di bumi ini, layaknya Angela Markel saat menarik keluar ekonomi terbesar Eropa dari krisis keuangan atau Christina Lagarde wanita pertama yang menjadi kepala Bank Sentral Eropa (ECB) yang lihai dalam mengambil keputusan.
Semua orang tahu kalau sikap Chasandra membuat beberapa orang tidak menyukainya. Hanya Anelka dan Romi yang selalu memujanya. Itu pun, karena dulu Chasandra selalu mentraktir mereka, membawa mereka berdua jalan-jalan dan dia menanggung segalanya. Anelka dan Romi hanya perlu membawa diri saja, dengan tanpa uang sepeser pun yang keluar dari dompet mereka.
Sementara Aeera, Debi, Angela dan Juita tak ingin melakukannya.
Buat apa? Tak ada ketulusan dalam pertemanan seperti itu.
Saat ini sulit membedakan mana yang benar-benar teman dan mana yang hanya memanfaatkan. Ditambah lagi, ada orang yang memang secara sengaja membeli manusia untuk dijadikan teman baik secara langsung atau tidak. Tujuannya agar terlihat bahagia, dirasakannya seperti ratu yang memiliki dayang-dayang.
Arabelle beda lagi, dia merasa harga dirinya jatuh kalau saja Chasandra memberinya barang atau mentraktirnya. Dia menjaga dirinya untuk tidak berhubungan lagi dengan perempuan itu seperti apa yang dilakukannya di masa lalu. Seisi kelas tahu mereka dulunya cukup dekat—sebelum benar-benar berubah. Tak ada satu pun yang tahu mengapa hubungan mereka jadi seperti sekarang. Rasanya sangat mustahil, orang yang dulu selalu membeli pakaian yang sama, sepatu yang sama, jalan bersama, tiba-tiba tak berbicara satu sama lain seperti orang yang tak saling kenal. Kejadiannya tepat dua bulan sebelum Chasandra pindah ke Australia dan sebulan sebelum Chasandra membeli Anelka dan Romi untuk dijadikan kaki-tangan agar ia tidak kesepian.