Manusia-manusia modern adalah manusia tersibuk sepanjang sejarah. Mereka adalah makhluk hidup yang paling banyak memiliki masalah. Khawatir setiap hari, insecure sepanjang waktu. Padahal secara tidak langsung merekalah juga yang menciptakan sistem seperti itu di dalam kehidupan mereka. Mengubah dunia dengan banyak infrastruktur yang pada akhirnya merusak alam, menciptakan strata sosial dan standar hidup. Rupawan harus putih, memiliki hidung yang mancung, dan sebagainya.
Harta adalah salah satu hal yang penting. Semakin kaya kamu, semakin kamu dihormati. Maka jangan tanyakan mengapa mereka jadi super sibuk, membaca bertumpuk buku, bekerja mati-matian dan kurang berempati terhadap sesama. Mereka merasa harus melakukan itu agar bisa berada di strata lebih tinggi dan agar bisa dihormati daripada hanya sekedar untuk bertahan hidup.
Berita baiknya, tak semua manusia seperti itu, hanya manusia-manusia yang berpikir mereka bisa hidup lebih lama atau bahkan selamanya. Ada juga manusia-manusia baik yang percaya mereka hidup sementara di dunia, hidup untuk berbuat kebaikan demi kebaikan dan akan kembali ke yang Maha Kuasa suatu waktu nanti. Sayangnya, jarang diantara mereka yang dikenal dunia. Mereka kebanyakan bersembunyi, melindungi diri, bertahan dan menolong dalam diam. Sebagian yang lain speak-up tentang toleransi, standar kecantikan dan bagaimana menjadi manusia yang lebih berempati.
Sekolah adalah konsep mini dari kehidupan dunia. Ada murid yang baik, ada murid yang buruk, ada yang cerdas, tampan, cantik, populer, diam, duduk bertemankan novel dan earphone, pengamat, happy virus, dan yang dibully. Semua peran dimainkan di sana. Ada yang terang-terangan menunjukkan sifat aslinya dan adapula yang bersembunyi dibalik topeng, bahagia di sekolah pendiam di rumah atau sebaliknya. Ada yang menganggap sekolah seperti neraka atau seperti seolah sekolah dibangun untuknya, like I’m the only one yang lain hanyalah pemeran figuran, sang ratu dan b***k-budaknya.
Cortex High School adalah salah satu contohnya. Meskipun telah diisi oleh banyak anak-anak dari keluarga terpandang, namun itu bukan berarti bahwa sistem ini tidak berlaku.
Murid-murid di dalamnya juga menyimpan rahasia seperti orang-orang protagonis di luar sana yang merangkap jadi antagonis.
Spanduk raksasa di depan Cortex yang menggambarkan anak ceria memegang buku sambil tertawa hanyalah pencitraan. Pemberitaan di televisi tentang sekolah ini juga sama omong kosongnya.
Kembali lagi bahwa di dunia ini tetap ada orang-orang baik yang pandai berempati dan bekerjasama tanpa perlu saling menjatuhkan. Cortex pun begitu. Buktinya, lima orang siswi yang saat ini memegang es krim berjalan sambil saling merangkul. Aku jamin ketulusan persahabatan diantara mereka berlima—sampai saat ini.
Mereka berjalan keluar gerbang megah berukiran sayap burung garuda. Jangan bayangkan sekolah ini seperti sekolah pada umumnya. Ini adalah Cortex High School, sekolah elite terbaik di kota ini.
Arabelle, Angela dan Juita pamit pulang lebih dulu. Secara bergantian mobil jemputan mereka datang dan terparkir tepat di hadapan. Laki-laki berseragam hitam akan membukakan pintu mobil kepada nonanya sebelum kembali mengemudi.
Kini tersisa Debi dan Aeera yang saat ini berbincang tentang apa yang perlu mereka lakukan di hari libur. Hari ini mereka telah melihat hasil perjuangan mereka selama semester penuh. Gerombolan anak-anak di seberang mereka membahas tentang nilai rapor mereka.
“Matematikaku dapat delapan puluh lima. Orang tuaku pasti bangga,” kata anak berambut ikal kecokelatan antusias, memancing teman-temannya yang lain untuk bercerita.
Pandangan Aeera kosong setelah mendengar itu.
Delapan puluh lima?
Sejujurnya itu bukan nilai yang tinggi bagi sesosok Aeera, yang masuk peringkat lima umum seantero Cortex. Nilai itu malah termasuk rendah baginya. Jadi dia tidak akan iri dengan pencapaian itu—tetapi yang membuatnya iri adalah…
Orangtuaku pasti bangga
Kalimat itu menusuk batinnya.
“Ra, Aeera!”
Aeera terbangun dari lamunannya. Mendapati Debi yang menatapnya kebingungan. “Lagi ngelamunin apa sih? Itu jemputanmu sudah datang Ra.”
Aeera menoleh, mendapati supirnya yang membukakan pintu mobil. Dengan tersenyum kikuk sambil mengelus belakang lehernya Aeera berjalan.
“Jangan terlalu dipikirkan Ra, kau sudah berusaha keras.”
Aeera mengangguk lesu. “Terima kasih Deb.” Meski apapun yang diucapkan Debi hanya akan menenangkannya sesaat.
"Jangan lupa nikmati liburanmu," sambung Debi tersenyum tipis menatap sahabatnya khawatir karena dia tahu apa yang akan Aeera hadapi setelah ini.
"Kamu juga Deb..."
Di perjalanan, Aeera membuka tasnya yang terbuat dari kulit buaya asli. Tas yang dibeli mamanya waktu liburan ke Berlin. Dikeluarkannya rapor dari dalam. Entah untuk yang kesekian kali dia melihat benda persegi itu, tetap saja harap cemas terus dirasakannya sepanjang perjalanan.
Saat tiba di rumah, Aeera memperhatikan sekeliling dengan jeli kalau-kalau mamanya muncul tiba-tiba.
Ruang tamu terlihat kosong, di perhatikannya ke arah dapur sambil bersembunyi di balik tiang besar. Biasanya mamanya sibuk memasak di sana, kebetulan mamanya hobi memasak. Meski tidak jarang membuat makanan hangus karena kelamaan berbicara dengan klien lewat telepon, atau makanannya jadi asin sekali. Untungnya ada koki pribadi yang pandai menyulap makanan menjadi lebih menarik atau jika tidak ada harapan lagi, maka dibuatnya makanan lain dengan rasa hotel bintang lima.
Hening.
Aeera tersenyum. Mamanya tak ada di rumah. Dia mungkin sibuk di luar. Bekerja di bidang hukum—Serlin, nama yang terkenal seantero kota sebagai pengacara dengan gaji yang tidak main-main.
Aeera dengan santainya berjalan menaiki tangga spiral berlantai keramik, merencanakan hal-hal indah yang akan membuatnya bahagia. Seperti menonton film terbaru di kamarnya, melukis dengan sesuka hati atau menelepon salah satu dari keempat sahabatnya yang lain. Meski pada akhirnya dia juga kena marah jika mamanya tiba di rumah. Tetapi setidaknya mengulur waktu.
Sayangnya itu hanya mimpi belaka, diperhatikannya ruangan dengan pintu hitam berukiran timbangan terbuka lebar. Bibir Aeera menekuk ke bawah, ia menelan ludah berusaha berjalan senormal mungkin melewatinya. Namun…
"Aeera, sini!" Serlin mamanya memanggil. Aeera menghentikan langkahnya, berjalan memasuki ruangan yang sekelilingnya dipenuhi buku-buku tebal dan berjejer rapi. Ada buku 'The Book of The Law-Aleister', 'The Rule of Law-Tom Binhan', 'The Concept of Law-H.L.A.Hart' dan banyak lagi termasuk buku tentang hukum negara ini yang berisi pasal-pasal yang sebagian besar telah dihafal Serlin.
Serlin duduk di kursi hidrolik menatap tajam anaknya yang berdiri sambil menundukkan pandangan dan merapatkan kedua kakinya. "Mana rapormu?" tanyanya menjulurkan tangan tanda meminta.
Dengan ragu Aeera membuka tas dan mengambil rapornya, dikeluarkannya dengan perlahan seraya menelan ludah, kakinya bergetar hebat, bibirnya pucat, tangannya terasa basah. Rasanya dia ingin mati, sekarang!
Serlin membuka rapor itu, lalu menutupnya cepat.
"Apa ini?"
Keringat bercucuran dari pelipis Aeera. "Hmm.. a-aku akan belajar lebih giat lagi nanti," gumamnya menundukkan pandangannya lagi. Dia tidak bisa melihat wajah mamanya yang kini terlihat merah padam karena marah.
"APA INI HA? LIMA? PERINGKAT LIMA? KAU INGIN KULIAH DI LUAR NEGERI DENGAN NILAI SEPERTI INI? NILAI SEPERTI INI BAHKAN TIDAK CUKUP UNTUK UNIVERSITAS NEGERI STANDAR MENENGAH RA!" Serlin bangkit dari duduknya, menarik dagu anaknya ke atas.
Aeera rasa-rasanya ingin lenyap saja dari dunia, membayangkan dirinya sakit jantung atau paling tidak langsung berpindah ke dunia fantasi.
"Dan ingat satu hal Aeera, Mama tidak akan menyekolahkanmu jauh-jauh ke luar negeri hanya untuk belajar seni. Kau harus jadi dokter. Ingat itu!"
Aeera menelan ludah. "Aku tidak ingin—”
"Sssttt... jangan mengatakan hal konyol. Kembalilah ke kamarmu dan belajarlah."
"Tapi besok hari libur Ma."
"ITU HUKUMAN. TINGGAL SATU SEMESTER RA. TINGGAL SATU SEMESTER LAGI. APA KAU TIDAK BISA MASUK DI PERINGKAT TIGA BESAR KALI INI? INI KESEMPATAN TERAKHIRMU."
Setelah diomeli, Aeera berjalan pasrah keluar dari kamar mamanya yang lebih mirip ruang kerja presiden itu, air mata membasahi pipinya. Di kamar, dia meringkukkan badan dalam selimut. Kata-kata yang terlontar dari mulut mamanya seperti sambaran kilat yang menggores hati kecilnya. Dia bertanya-tanya, apa yang salah dengan menjadi pelukis. Apa dokter hanya satu-satunya profesi yang baik di dunia ini.
Aeera memang teramat ingin masuk di jurusan seni, menurutnya seni begitu menyenangkan. Selain daripada bekerja nanti, ia memastikan bahwa ia pasti bahagia karena menikmati perkejaannya. Namun, satu masalah besar adalah mamanya sendiri. Serlin ingin Aeera menjadi dokter. Sebuah cita-cita masa lalu yang tidak kesampaian hingga diturunkan kepada anaknya sendiri.
Berbeda dengan Aeera. Di balik rumah besar nan megah di kompleks perumahan pusat kota bernilai ratusan milyar rupiah. Edward, anak laki-laki satu-satunya mendapat sambutan hangat dari mamanya. Mamanya bahkan memasak banyak makanan kesukaannya, satu persatu perempuan bercelemek merah muda membawa makanan ke meja makan, seperti iga sapi, barbeque, rendang, sup, juga delapan makanan penutup.
"Selamat Nak, mama yakin kamu selalu melakukan yang terbaik," kata Christina mengecup kening putranya.
Edward tersenyum tipis. Menaruh tasnya lalu menggeser kursi, menatap beberapa makanan di meja. Diraihnya piring dihadapan, tetapi tangannya berhenti, suara hentakan sepatu terdengar. Ternyata papanya—Beltran, yang tiba dalam keadaan lusuh dengan dasi yang sedikit longgar.
"Lihat sayang, Edward dapat peringkat pertama lagi di kelasnya," ujar Christina, menghampiri suaminya dengan senyum simpul.
Beltran dengan ekspresi datarnya berkata, "terus? Bukankah memang harus seperti itu," katanya dingin melangkahkan kaki ke kamarnya.
Christina setengah mati mengejar, namun langkah suaminya terlalu cepat. Maka dia berhenti, memandangi Edward yang bangkit berdiri, menaruh piringnya kembali.
"Aku akan makan di kamar saja Ma."
"Ada apa Nak? Makanlah dulu, persoalan papa—mungkin dia kelelahan bekerja."
"Aku juga lelah. Aku akan makan nanti setelah istirahat," ngotot Edward yang kemudian berjalan ke kamarnya melewati para perempuan bercelemek yang sedari tadi menunduk, pura-pura tidak tahu dengan apa yang baru saja terjadi dihadapan mereka.
Edward melempar tasnya asal. Membaringkan badannya lantas melempar rapor setelah dipandangnya begitu lama.
Dia melakukan yang terbaik namun seolah tidak berarti apa-apa dimata papanya sendiri. Setiap waktu seperti itu, peringkat satu dan juara umum adalah hal yang biasa bagi Beltran jika Edward melakukannya. Itu malah jadi seperti sebuah kewajiban. Makanya, meski beberapa kalipun Edward mengikuti lomba, ia tidak pernah merasa bersemangat ingin melakukannya.
Oleh karena itu… mungkin saja saat Aeera menjadi seperti Edward, Serlin bisa jadi seperti Beltran. Atau dibalik, jika saja Edward mendapatkan hasil seperti Aeera, Beltran bisa berubah menjadi Serlin, bahkan lebih buruk. Ini hanya persoalan situasi dan kondisi dimana jika kamu mendapatkan yang terbaik, maka semuanya normal-normal saja, tetapi jika kamu mendapatkan hasil yang buruk kemarahan akan menimpamu. Kesimpulannya—tak ada apresiasi dan penghargaan.
Tak ada kebahagiaan.
Christina menghela napas berat, memijat pelipis sebelum akhirnya memutuskan untuk menyusul seuaminya ke kamar.
"Apa yang kau lakukan? Aku tahu kau lelah bekerja. Setidaknya berilah selamat kepada Edward sebelum beristirahat.”
Beltran tersenyum miring. "Dia setidaknya harus berusaha. Apa dia tidak tahu kalau ayahnya berjuang untuk—”
"Ssstt..." Christina mengarahkan jari telunjuk ke hidungnya. "Jangan sampai Edward mendengarnya," ujarnya pelan.
"Kalau begitu minggirlah! Biarkan aku pergi lagi. Aku lupa ada pertemuan penting hari ini dengan Thompson." Beltran mengelabui istrinya, berjalan keluar padahal dia baru saja tiba di rumah.
Dengan cemas, Christina menatap suaminya hingga menghilang dari balik pintu. Sepertinya sia-sia saja mengatakan apapun kepada laki-laki keras kepala itu. Kepala batu. Meski Christina tahu akan berakhir sama seperti beberapa tahun yang lalu —tapi kali ini, tanpa semua orang tahu dia sudah menyiapkan momen agar anaknya bahagia. Dia setidaknya sudah berusaha meski gagal lagi, sayangnya.
*
Di pusat kota, diantara g**g-g**g sempit yang berbau. Anak laki-laki menatap nanar keluar jendela dari rumahnya yang kumuh. Mengkhawatirkan kehidupannya beberapa tahun yang akan datang. Sekarang dia sudah kelas 12. Kurang dari setahun dia akan menginjak bangku kuliah. Rencananya dia ingin masuk kedokteran alasannya karena ia suka pelajaran Biologi, struktur tubuh, mengobati dan menolong orang lain. Tetapi sepertinya itu hanya mimpi belaka yang harus dikuburnya dalam-dalam. Otaknya sudah sangat mumpuni, tetapi itu belum cukup. Biaya yang dikeluarkan tidak sedikit. Kalaupun ia dapat beasiswa—dia harus membeli buku, dan kalaupun ia dapat biaya untuk buku, waktu pendidikan dokter bisa terbilang cukup lama. Sementara ibunya adalah wanita paruh baya, rasanya tidak sanggup lagi menunggu anaknya sukses hingga sepuluh tahun kemudian.
Laki-laki itu bernama Devan—yang saat ini beranjak dari tempatnya, memakai sendal dan menyusuri lorong-lorong yang dipenuh anak-anak bermain kejar-kejaran.
Sepanjang perjalanan, Devan sesekali memperhatikan kertas kecil di genggamannya. Di sana tertera alamat rumah yang membuatnya semakin melangkah jauh hingga memasuki kompleks perumahan megah. Beberapa kali ia mendecak takjub membayangkan bagaimana rasanya bermalam di rumah seperti ini barang sehari saja. Sebelum kembali terbangun dari lamunannya.
Devan tidak masuk lewat gerbang, jelas tidak akan diijinkan tanpa tanda pengenal atau kode rahasia. Maka dia memilih mencari celah hingga menemukan pagar rendah dan memanjatinya.
Berhasil.
Perjalanannya bermuara di teras rumah yang megah.
Di sana ada bapak-bapak bersuit hitam yang memandanginya kebingungan. "Siapa kau datang ke rumah orang sembarangan tanpa ijin masuk?" sergahnya.
Devan yang ditanya tersenyum getir. "Mohon maaf mengganggu waktu anda Tuan," katanya, sementara laki-laki dihadapannya hanya bisa mengangkat kedua alis tanda tidak mengerti. Seseorang dengan identitas entah berantah memasuki rumahnya begitu saja. Padahal, ia yakin ada security yang menjaga di gerbang.
Kalian tahu siapa laki-laki itu?
Ya, Beltran si kepala batu.
"Ada apa anak muda?"
"Bisakah anda membuat ibuku pulang lebih cepat? Dia selalu pulang larut malam."
Bingung.
Beltran tidak tahu akan berkata apa. Ketimbang berpikir tentang siapa ibu dari pemuda dihadapannya, ia lebih berpikir tentang mengapa anak muda dihadapannya bisa berbicara lancang kepadanya sedang semua orang menghormatinya di kota ini.
Devan menunggu jawaban. Tapi dari arah yang berlawanan, seseorang memanggilnya.
"De-van. Apa yang kamu lakukan disini Nak?"
Beltran ikut menoleh. "Apa dia anakmu bibi Tri?" tanyanya kepada bibi Tri, salah satu asisten rumah tangganya.
"Ya Tuan. Sebelumnya saya mohon maaf karena dia telah lancang masuk kesini," jawab bibi Tri cemas, berharap anaknya tidak berkata sembarangan. Dia ingat jelas akhir-akhir ini Devan sering mengeluh saat ia pulang ke rumah, tentang jam kerjanya yang terlalu larut.
Satu fakta yang perlu kalian ketahui, Devan tipe yang berontak jika merasa benar.
Beltran mengangguk, menatap wajah Devan seraya tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Dia benar, kami mempekerjakanmu terlalu malam."
"Ti-Tidak Tuan. Saya yang memilih bekerja disini, jadi saya harus melakukannya."
Devan tidak terima. "Ibu... Tolonglah, lebih baik ibu bekerja sampai sore saja, Devan juga akan mencari pekerjaan sampingan, ada minimarket yang baru buka tak jauh dari rumah.".
Bibi Tri menatap anaknya tajam, seolah memaksa Devan berbuat nekat.
"Bagaimana kalau kalian tinggal disini."
Kata Beltran tiba-tiba. Ide cemerlang terlintas di benaknya, menyela pembicaraan antara ibu dan anak itu.
"Ti-tinggal? Tidak perlu Tuan. Jangan membuat diri anda merasa bersalah. Biarkan saya berbicara dengan Devan. Lagi pun, sekolah Devan juga jauh dari sini."
"Oh namanya Devan ya? Nama yang bagus." Beltran tersenyum lagi. " Apa dia sudah SMA Bi?" tanyanya antusias.
Devan mengangguk. "Aku sudah masuk kelas tiga setelah libur."
"Kelas tiga?"
"Ya."
"Luar biasa. Kupikir dia anak yang berprestasi karena berpikir kritis, bukan begitu?"
"Hanya di bidang akademik. Aku sudah peringkat satu selama dua tahun berturut-turut di sekolah," timpal Devan.
"Baguslah, tinggallah disini dan pindahlah ke Cortex bersama Edward."
Bibi Tri langsung cemas. "Ti-tidak perlu Tuan. Sekolah disana..."
"Terlalu mahal?" sambung Beltran.
"Aku tidak akan bersekolah disana, dan kumohon jangan merendahkan ibuku karena uang Tuan.” Devan menyela. "Ibu akan mencari pekerjaan lain selain disini. Disini, manusia diperkerjakan tanpa hak asasi. Apa-apaan!."
"DEVAN JAGA MULUTMU!" Bentak bibi Tri, menegur anaknya lebih keras dari sebelumnya.
Senyum Beltran mengembang untuk yang kesekian kali. "Jangan memarahinya Bi. Begini saja Nak, persoalan biaya aku akan memberimu beasiswa, apalagi aku ketua komitenya. aku melakukan ini karena ibumu telah berjasa di rumah. Karena itu bersekolah lah di sana. Selain itu, kamu juga bisa membantu ibumu bekerja disini, agar dia tidak kelelahan dan kami bisa mempekerjakan dia dengan hak asasi seperti yang kamu katakan."Beltran meraih brosur Cortex High School dari dalam tasnya dan memberikannya kepada Devan. "Cortex menyediakan beasiswa agar kamu bisa kuliah di Jerman nanti, juga banyak beasiswa lainnya. Karena itu, pikirkanlah baik-baik."
Devan dan ibunya kini tinggal berdua. Beltran berjalan ke arah mobil hitam yang berhenti tepat di hadapannya, laki-laki itu melambaikan tangan setelah menatap arloji. Dia terlihat sibuk hingga tidak punya waktu lebih membahas beasiswa-beasiswa itu lebih lanjut. Namun, brosur yang dibaca Devan saat ini bisa menjelaskan segalanya membuat ia tersenyum tipis.
Mimpi apa aku semalam?
*
Matahari telah kembali ke peraduannya, cahaya jingga yang terpantul di awan bergumpal kini berganti jadi kegelapan. Edward dengan kantung matanya yang menghitam baru saja keluar dari kamarnya yang nyaman.
Edward tidak seperti anak seumurannya yang kebanyakan menghabiskan masa mudanya di luar rumah. Bukan berarti dia pemalu, bagaimana mungkin sedang dia memenangkan lomba debat bahasa Indonesia tingkat nasional, pidato bahasa Inggris tingkat nasional dan meraih banyak gelar duta. Hanya saja, tuntutan belajar lah yang membuatnya terus berkutat di depan meja belajar sepanjang hari. Namun, meski belajar adalah rutinitasnya. Dia sepatutnya tidak melakukannya saat ini, terlebih dia sudah menerima rapornya dengan hasil memuaskan.
Bukankah saat ini waktunya libur?
Perempuan ber-dres kembang menyambut kedatangannya hangat. "Syukurlah, apa kamu tidak peduli dengan mama yang sepanjang hari menunggumu keluar dari kamar dengan harapan kamu bisa menyendok sesuap nasi," ujar Christina, senyumnya begitu merekah melihat keberadaan anaknya.
Edward mengambil posisi duduk. "Maaf Ma. Aku betul-betul tidak selera makan tadi."
"Baiklah kalau begitu, makanlah sepuasmu sekarang. Mama tidak mau tahu, mama akan tersinggung kalau kau hanya makan sedikit." Christina menyentuh hidung anaknya lembut. "Papamu katanya akan makan bersama."
Speak of the Devil!
Orang yang baru saja dibicarakan muncul dihadapan mereka mengenakan piama biru tua.
Beltran duduk tepat di depan Edward. Menaruh sesendok irisan sapi guling di piring anaknya. "Makanlah yang banyak."
Edward mengangguk.
Senyum Christina seketika mengembang. Ia tahu betul, walau Beltran bersikap tegas kepada Edward, setidaknya, itu tetap didasarkan pada rasa cinta. Fakta bahwa tidak ada orang tua yang membenci anaknya. Niat mereka baik tapi tak sedikit menyayangi dengan cara yang salah.
"Bibi Tri… ngomong-ngomong mana Devan?" tanya Beltran kepada bibi Tri yang saat ini tengah menyiapkan makanan tambahan di meja makan bersama pembantu yang lain.
Devan?
Sebuah nama yang terdengar asing membuat Edward dan Christina berbalik. Laki-laki yang disebut namanya berdiri di dapur cukup lama sebelum memperlihatkan batang hidungnya.
Semua mata tertuju padanya sekarang.
"Duduklah di dekat Edward!" Beltran bergumam sembari tersenyum simpul.
"Siapa dia?" tanya Christina.
"Dia Devan, anaknya bibi Tri. Karena dia terus-terusan khawatir ibunya pulang malam, tidak ada salahnya dia tinggal disini bersama ibunya. Mulai besok dia akan sekelas dengan Edward."
"Benarkah?”tanya Christina antusias. “Baguslah kalau begitu,” katanya antusias. Dia baru tahu kalau bibi Tri punya anak yang seumuran dengan Edward. Matanya berbinar-binar melihat sosok Devan, Berharap Edward setidaknya bisa punya teman setelah sekian lama. Christina tak akan lupa jika anaknya punya masa kelam tentang persahabatan.
Edward menjabat uluran tangan Devan, sebelum makan dengan lahapnya. Ia tidak peduli dengan keberadaan Devan. Menurutnya tak ada yang akan berubah meski anak baru itu tinggal seatap dengannya—bahkan sekelas.
"Katanya, Devan murid berprestasi di sekolahnya. Dia selalu mendapatkan peringkat satu umum," ujar Beltran.
Edward seketika tersedak.
"Hati-hati makannya Nak...." Christina menggeleng pelan, memberikan segelas air kepada Edward sebelum berujar lagi. "Benarkah Devan sepintar itu? Baguslah. Kamu pasti bisa membanggakan ibumu suatu hari nanti."
"Terima kasih nyonya," jawab Devan merendahkan nada bicaranya. Tidak seperti saat dia berbicara dengan Beltran pertama kali.
Setelah makan malam itu, Edward memutuskan untuk mencari udara segar di luar. Angin malam mungkin bisa menjadi penenang pikirannya saat ini, keberadaan Devan membuatnya sedikit terganggu. Dia yakin ayahnya membawa Devan dengan maksud dan tujuan tertentu. Tujuan yang akan membebaninya.
"Apa kau menatap langit?"
Terdengar suara, membuat Edward spontan menoleh.
Devan juga sama, dia ingin mencari udara segar, berpikir tentang kehidupan barunya dan apa yang akan dilakukannya tentang esok dan esoknya lagi.
"Langit? Kamu sungguh ingin mengetahuinya?"
Kedua bahu Devan terangkat. Dia merasa hanya sekedar bertanya namun respon Edward seolah ingin menerkamnya.
"Aku tahu ayah mengutusmu untuk membuatku terus gila dengan buku-buku. Namun aku tidak peduli, karena itu jangan pernah berbicara denganku di sekolah. Bersikaplah seolah kita tidak saling kenal satu sama lain," sergah Edward meninggalkan Devan yang masih bingung atas apa yang saat ini terjadi. Namun, respon pertama yang bisa Devan lakukan hanyalah mengangguk, karena pikirnya buat apa marah? Dia hanya anak dari seorang pembantu.