Renjana duduk termenung di dalam kamar, sesekali ia membalas pesan dari keluarganya yang bertanya tentang keberadaan Renjana. Karena tidak mau melihat keluarganya khawatir, Renjana terpaksa berpura-pura datang kembali ke Jakarta untuk bekerja dan menemui Saka. Tidak sepenuhnya berbohong, karena jika di perbolehkan Renjana tetap ingin kembali bekerja. Ia tidak bisa membayangkah hidupnya yang runyam jika harus berada di dalam rumah Raka tanpa aktivitas apapun.
Tok … tok … tok
Suara pintu diketuk menarik perhatian Renjana. Wanita yang sebelumnya hanya tidur-tiduran saja kini berdiri dan membenahi pakaiannya. Dia mencoba menebak siapa tamunya siang ini, Raka masih bekerja dan Saka pun masih sekolah. Pasti Nyonya Rukma yang datang ke kamarnya.
Cekrek.
Bunyi pintu terbuka, Renjana sedikit terkejut karena orang yang menemui dia siang ini jauh dari perkiraannya.
“Tuan Haditya.”
“Sedang sibuk?”
Renjana menggeleng, tentu saja dia tidak sibuk, dia tidak memiliki aktivitas sedikitpun sekarang ini.
“Silahkan masuk.”
“Terima kasih,” jawab Tuan Haditya. Ia sengaja menutup pintu dari dalam karena tidak ingin orang lain mendengar percakapannya dengan Renjana.
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?”
“Panggil saya, Papa. Seperti kamu memanggilku dulu.”
“Aku rasa itu tidak benar.”
“Kamu akan kembali menikah dengan Raka, aku rasa kamu bisa memanggilku Papa, Renjana.”
“Pernikahan itu akan terjadi jika ingatan Raka tidak segera pulih, bukankah Raka bersedia melakukan terapi?” tanya Renjana.
“Dia mau, mulai minggu ini dia dijadwalkan terapi.”
“Renjana berharap semoga ingatan Raka segera kembali pulih.”
“Agar dia bisa melepasmu? Begitu maksudmu?”
“Tuan …”
“Papa.”
“Aku tidak bisa. Tuan Haditya benar-benar tahu bagaimana masa lalu Renjana dan Raka. Renjana pikir memang lebih baik untuk kita adalah perpisahan.”
“Kita hanya bisa menjalankan takdir, Renjana. Ingat, penulis takdir terindah adalah Tuhan.”
“Tuhan tidak pernah menuliskan takdir indah untukku.”
“Renjana, Papa tahu buruknya masa lalu kalian. Sebagai orangtua aku minta maaf dengan apa yang Raka lakukan kepadamu baik di masa lalu maupun di masa sekarang.” Tuan Haditya duduk di salah satu sofa yang berada di kamar Renjana, memusatkan perhatian kea rah mantan menantunya. “Papa tahu kamu wanita baik.”
“Terima kasih,” jawab Renjana. Terlalu percuma Renjana menanggapi kalimat Tuan Haditya. Meskipun disini jelas dia sadar bahwa apa yang dilakukan anak dan istrinya adalah salah, laki-laki itu tetap diam. Beralasan karena kasih sayang, Tuan Haditya akan selalu mendukung apa yang istri dan anaknya inginkan. Termasuk dengan memfitnah Renjana dengan sebuah issue perselingkuhan dan penelantaran anak.
“Apa maksud kedatangan Tuan Haditya kemari?”
“Pernikahan kalian berdua, Papa sudah mengurus pernikahan kalian berdua.”
“Bukankah itu tidak akan terjadi?” tanya Renjana. “Nyonya Rukma akan mengusahakan ingatan Raka agar segera pulih sebelum pernikahan kita.”
“Satu bulan, waktu yang disetujui Raka.”
“Tiga bulan.”
“Kamu bisa bernegosiasi dengan anak itu. Tetapi untuk saat ini, waktu yang diberikan Raka untuk mengurus perceraian Marina dan pernikahan kalian adalah satu bulan.”
“Aku akan berbicara dengan Raka langsung.”
“Silahkan.”
Setelah Tuah Haditya pamit dari kamar Renjana, wanita itu mulai menyusun rencana. Dalih apa yang akan ia berikan kepada Raka untuk menunda pernikahan? Atau apapun itu agar bisa menahan Raka menikahinya. Karena jika pernikahan itu benar terjadi, Renjana akan semakin sulit keluar dari jeratan Raka.
Malam harinya, Renjana memberanikan diri menemui Raka. Setelah makan malam yang dingin di meja makan karena kehadiran Renjana. Hanya ada celoteh Saka yang riang menceritakan sekolahnya kepada Renjana dan Raka. Selebihnya, semua orang menutup mulutnya rapat-rapat.
“Raka, bisa kita berbicara sebentar?” tanya Renjana meminta izin. Laki-laki itu sedang berada di taman belakang bersama Saka. Mereka sering bermain sebelum Saka tidur.
“Tentu saja, lama pun boleh.”
“Ini akan sebentar.”
“Oke, ada apa Renjana?”
“Aku ingin membicarakan terkait pernikahan.”
“Baguslah, aku juga ingin membahas itu denganmu.”
“Tiga bulan, aku ingin memberikan waktu kepadamu tiga bulan.”
Raka tersenyum meremehkan, merasa apa yang diucapkan Renjana baru saja adalah sebuah guyonan tak berdasar. “Kamu sedang menguji kesabaranku, begitu?”
“Iya, anggap saja begitu.”
“Satu bulan saja itu sudah terasa lama bagiku. Aku harus mempercepat perceraianku dengan Marina dan mendaftarkan pernikahan kita.”
“Aku ingin memberikan waktu kepada kita.”
“Waktu apa, Renjana? Ayolah,” ucap Raka meremehkan. “Kita sudah pacaran lebih dari tujuh tahun, apa itu waktu yang kurang?”
“Ada masa lalu yang tidak kamu ingat.”
“Dan aku tidak perduli tentang hal itu.”
“Aku ingin kita kembali belajar saling percaya, saling menghargai dan-.”
“Jangan membuat alasan! Satu bulan hanya itu waktu yang aku berikan untuk persiapan pernikahan. Kamu akan menikah denganku, dengan atau tanpa persetujuanmu.” Raka mulai tidak sabar, menunjukan tuntutan seperti khas seorang Raka. Laki-laki itu kini justru berniat menghindar dan pergi.
“Tapi, Raka.” Renjana menahan Raka untuk pergi. “Aku belum selesai bicara.”
“Jika itu berhubungan dengan penundaan pernikahan kita, aku sudah selesai.”
“Raka, tapi kita juga harus membicarakan hal ini dengan orangtuaku, kamu harus melamarku, pernikahan itu proses yang panjang.”
“Dan kita akan mulai dari sekarang, besok aku akan menemui orangtuamu.”
“Tidak, tidak, bukan begitu maksudku.”
“Lalu apa? Dengar Renjana, jangan terlalu banyak mencari alasan untuk menghindari pernikahan ini.”
“Aku tidak-.”
“Bohong!”
Renjana terdiam mendengar bentakan Raka, teringat kenangan dimana pertama kali laki-laki itu membentaknya.
Flashback.
“Aku tidak pernah berselingkuh.”
“Bohong! Ini buktinya, semua ada di dalam potret ini Renjana!” Raka menunjukan potret dirinya bersama Raja, salah satu teman Raka yang memintanya untuk datang ke hotel dengan beralasan Raka sedang sakit. Mau tidak mau, Renjana datang ke hotel itu, tetapi nyatanya itu semua hanyalah jebakan. Justru potret dirinya dengan Raja yang masuk ke kamar hotel dijadikan tuduhan perselingkuhan Renjana.
“Kamu sudah bertanya langsung kepada Raja?”
“Ya.”
“Apa jawabnya?”
“Tidak seperti yang kamu kira, Renjana. Dia mengakui semuanya, dia mengakui hubungan kalian yang terjalin bahkan semenjak kita belum menikah.”
“Itu tidak benar, Raka. Demi Tuhan itu-.”
“Jangan pernah membawa nama Tuhan, Renjana. Sumpah, kamu membuatku merasa jijik.”
Flashback End.
“Hey, ada apa?” tanya Raka. Kedua tangan laki-laki itu merangkum wajah Renjana yang tiba-tiba menegang. Raka khawatir. “Kamu sakit? Maaf aku membentakmu .. maaf-.”
“Sudah, cukup. Kamu sudah sering membentakku dan aku sudah terbiasa dengan hal itu.”
“Renjana, sayang aku mohon.”
“Lepasin aku, aku mau ke kamar.”
“Na …”
“Stop! Jangan ikuti aku.”
Renjana pergi dengan rasa takut yang kembali meliputi hatinya. Bayang-bayang menyakitkan yang dulu pernah terjadi kini kembali menghantui Renjana. Bisakah ia kuat menjalani ini semua?