BAB 10 - Pertemuan tidak disengaja

1144 Kata
Sudah lebih dari dua minggu Renjana terpaksa tinggal di rumah ini, demi Saka. Wanita itu harus bersyukur karena Raka jarang sekali menampakan batang hidungnya di hadapannya lagi. Meskipun itu sama artinya dengan kesibukan Raka yang padat, laki-laki itu menunjukan keseriusannya untuk menikahi Renjana dalam waktu sebulan lagi. Dia banyak lembur hingga malam hari karena sibuk mempersiapkan pernikahan dan juga menyelesaikan banyak pekerjaan yang akan ia tinggalkan dalam beberapa hari saat pernikahan keduanya. Semakin hari Renjana semakin dirudung pilu. Berusaha memutar otak untuk menghindari pernikahan nyatanya Raka tidak sedikitpun memberikan celah kepada Renjana untuk menolak. “Hai, jangan melamun.” Suara yang sangat Renjana kenali menegurnya dari belakang. Dia yang sedang menyiapkan bekal menu makan siang untuk Saka terkejut hingga nyaris menjatuhkan tempat makan dalam genggamannya. “Apa aku mengejutkanmu?” tanya laki-laki itu. Raka berada di belakang tubuhnya dengan penampilan khas Raka yang menawan dan elegan. Laki-laki itu mendekat lalu tanpa izin mencuri sebuah kecupan singkat di pipi Renjana yang terbuka. Cup. “Kita harus membiasakan diri melakukan interaksi ini. Setelah menikah aku ingin berangkat kerja dengan sebuah ciuman singkat di bibir, untuk saat ini aku hanya bisa menentuh ini,” ucap Raka sambil mengelus pipi Renjana. “Kamu belum meminta izin kepada orangtuaku tentang pernikahan kita.” “Kita akan bersama-sama mengatakan kepada Bapak dan Ibu satu minggu sebelum pernikahan.” Laki-laki itu duduk di meja makan dengan Saka yang berada di sampingnya. Ia mencium pipi Saka dengan sayang lalu memilih untuk menyiapkan piringnya sendiri. Ini sudah jam tujuh pagi, cukup terlambat untuk Raka yang biasanya berangkat jam setengah 6 pagi. “Kedua orangtuaku belum tentu langsung menyetujui pernikahan kita.” “Persetujuan Bapak dan Ibu adalah urusanku, kamu tidak perlu mengkhawatirkan itu. Tugasmu hanya bersiap untuk pernikahan kita.” “Raka-.” “Tugas keduamu setiap pagi adalah menyiapkan sarapan untukku, lebih baik kamu mulai membiasakan hal itu dari sekarang.” Awal pernikahan keduanya dulu, Renjana selalu melakukan kebiasaan itu sebagai bukti baktinya kepada suami. Tetapi kebiasaan itu hanya berlangsung satu tahun karena setelahnya hubungan mereka berantakan. Raka menolak setiap bantuan dan pelayanan dari Renjana. “Renjanaa, aku malas untuk mengulangi titahku.” “Aku sedang menyiapkan bekal untuk Saka.” “Serahkan kepada Laila, itu adalah salah satu tugasnya sebagai baby sitter Saka.” Seperti itulah Raka, mantan suaminya yang pemaksa. Dengan malas Renjana menyerahkan tempat makan Saka dan meminta Laila untuk menyiapkan bekal Saka. Meskipun masih berusia lima tahun, Saka sudah mulai sekolah PAUD seperti beberapa anak pada umumnya. Renjana dengan senang hati selalu mengantar dan menjemput Saka saat pulang sekolah, tak lupa ia selalu menyiapkan bekal untuk anaknya. Renjana mengambilkan nasi di piring Raka lalu beberapa lauk yang laki-laki itu suka. Ayam goreng dan sambal yang banyak. Meskipun masih pagi, Raka yang dulu sangat menyukai sarapan dengan sambal. Hal yang sering Renjana keluhkan karena Raka memiliki riwayat penyakit lambung yang sering kumat. “Kamu masih ingat makanan kesukaanku, Yank.” Renjana menyesal! Seharusnya dia tadi memilih beberapa makanan yang tidak Raka sukai. “Mau kemana?” tanya Raka menghentikan langkah Renjana yang hendak menjauh dari meja makan. “Nyusul Laila, sebentar lagi aku harus mengantar-.” “Tugas utamamu adalah aku, calon suamimu. Anak nomor dua, aku tidak perlu menjelaskan ini berulang kali Renjana.” “Kita belum menikah,”jawab Renjana mulai jengah. “Oh oke, itu artinya setelah menikah kamu wajib mengikuti semua titahku. Ngerti?” “Raka-.” “Aku tidak ingin mendengar lagi. Lebih baik aku berangkat kerja, aku bisa sarapan di kantor kalau disini aku harus sarapan dengan semua penolakanmu.” Oke, salah lagi.Batin Renjana. Wanita itu membiarkan calon suaminya pergi begitu saja dengan wajah yang sangat tidak ramah. Renjana hanya bisa menghela nafas berat melihat tingkah Raka yang kembali seperti bocah. Tetapi Renjana tidak mau ambil pusing, wanita itu memilih untuk menyusul Laila. “Yaah anak Mama sudah siap.” Saka sudah siap dengan seragamnya, berdiri dengan tampan sambil menenteng tas punggung kecil yang hanya berisi air minum saja. “Seharusnya tadi Mama yang pakaiankan baju.” “Kata Mbak Laila Mama sedang cibuk,” jawab bocah kecil itu. “Iya, maaf. Lain kali Mama prioritaskan Saka.” Bocah kecil itu mengangguk senang. Dia menyamput tangan Renjana yang berniat menggendongnya dalam pelukannya. Seperti kebiasaan sebelum-sebelumnya, Renjana mengantar Saka ke sekolah. Mereka disopiri Pak Bani yang kali ini ditugaskan Raka mengantar kemanapun Renjana pergi. “Sudah sampai,” ucap Pak Bani setelah mobil mereka berhenti tepat di depan pintu gerbang sekolah. “Yeaay,” teriak Saka senang. “Saka cuka cekolah.” “Waah anak Mama pinter dong, sudah berani sekolah.” “Saka pintel?” tanya bocah itu dengan tatapan mata berbinar. “Anak Mama selalu pinter.” “Yeay, Saka pintel.” Renjana membukakan pintu untuk Saka dan mereka berdua bergandengan tangan memasuki sekolah. Seperti anak-anak lain yang diantar orangtuanya, Saka terlihat sangat senang ketika Renjana mengantarkannya sekolah. Dulu, anak kecil itu sering bertanya tentang keberadaan mamanya yang tidak berada disisinya. Sering merasa cemburu saat teman-teman yang lainnya diantar ke sekolah oleh mamanya tetapi Saka tidak. “Sudah sampai, sekarang Saka sekolah dulu nanti Mama jemput lagi.” “Ciap Mama, telimakacih.” Sebelum memasuki ruang kelas, Renjana mengecup puncak kepala Saka dengan sayang. “Bye, Mama.” “Bye, Saka.” “Renjana?” Suara memanggil namanya memaksa Renjana memutar tubuhnya kebelakang. Dia terkejut, di belakang tubuhnya berdiri seorang laki-laki yang sangat Renjana kenal. “Pak Abim?” “Bukankah kita sudah sepakat tentang nama panggilan, Na? Kamu seharusnya memanggilku Mas Abim.” “Maaf sudah terbiasa Pak eh Mas.” “Aku tidak mau terlihat tua dengan panggilan itu.” “Hahaha, Pak Abim masih terlihat muda.” “Naa,” panggil Abimanyu dengan geraman. “Maaf maksud saya Mas Abim.” Abimanyu mendekat ke arah Renjana yang terlihat, berbeda. Wanita itu terlihat lebih ceria dibanding terakhir pertemuan keduanya. “Kamu terlihat berbeda.” “Berbeda?” “Lebih ceria.” “Oh.” “Karena pasangan?” tanya laki-laki itu ingin tahu. Renjana menggeleng. “Karena Saka, anakku.” “Oh, bukankah kalian –mmm, maksudku, kamu dan suamimu...?” Kalimat Abimanyu menganntung, dia tidak mampu meneruskannya. Setahu Abim, Renjana tidak memiliki hubungan yang baik dengan mantan suaminya. Bahkan wanita itu harus mengendap-endap demi bertemu dengan anaknya. Jika sekarang ini wanita itu terlihat leluasa bertemu dengan anaknya, apakah artinya Renjana kembali dengan mantan suaminya? “Ceritanya panjang, aku--.” “Aku memiliki waktu yang luang jika kamu ingin berbagi.” Renjana kembali menggeleng. “Aku rasa Pak Abim adalah orang tersibuk yang saya kenal, jarang terlambat apalagi untuk urusan sepele seperti : masalah saya.” Ada senyuman tipis di akhir kalimat Renjana. “Mmmm, mungkin aku belum sempat mengatakan ini di saat terakhir pertemuan kita,” ucap Abimanyu semakin mengikis jarak. “Kamu bukan masalah sepele bagiku karena setelah pengajuan resign mu itu, aku menjadikanmu sebuah prioritas.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN