Wisnu keluar dari kamar mandi dengan menggunakan kaus oblong putih. Butir-butir air masih menetes dari rambut cepaknya. Dia mengeringkan rambut menggunakan handuk kecil yang tersampir di bahu kekarnya.
Namun, ketika melihat punggung sang istri bergetar, dia pun menghentikan aktivitasnya dan menghampiri Pelita yang duduk membelakanginya. Lelaki jangkung itu duduk di tepi ranjang, tepatnya di samping Pelita. “Kamu nangis? Kenapa?” ujarnya khawatir sembari memegang kedua bahu Pelita yang bergetar karena menahan isak tangis.
“Apa maksudnya ini, Mas?”
Wisnu menatap nanar ponsel pintar yang disodorkan Pelita, kemudian beralih menatap mata sang istri yang sudah sembap. Dia menelan ludah dengan susah payah, takut jika istrinya itu mengetahui kebusukannya selama ini.
“Sejak kapan ponsel kamu dikunci? Apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?”
“Lita—” Wisnu menggenggam tangan Pelita. Namun, perempuan itu langsung menampik tangan suaminya.
“Jawab, Mas!” Untuk pertama kalinya selama lima tahun terakhir, Pelita membentak sang suami yang selalu dia jadikan imam dan pemimpin dalam keluarga kecilnya. Istri mana yang tak akan marah jika memergoki suaminya bermain api di luar sana dengan wanita lain?
“Sayang, kamu percaya sama aku, ‘kan? Aku—”
“Aku apa, Mas? Kamu mau mengelak di saat udah ada bukti yang kuat?! Siapa dia, Mas? Siapa My D itu, Mas? Jawab aku, Mas!” Pertahanan yang dibangun Pelita seketika roboh. Air mata yang berusaha ditahannya, kini luruh tanpa bisa dicegah. Dia memukul d**a bidang Wisnu bertubi-tubi, berusaha mengeluarkan amarah yang bergelegak di dalam hatinya.
“Sayang, aku enggak ada hubungan apa-apa sama dia. Dia itu Desti, rekan kerjaku. Kami udah terbiasa saling memanggil ‘sayang’. Dia juga sering memperlakukan lelaki lain seperti itu. Hubungan kami hanya sekadar rekan kerja, enggak lebih. Kamu percaya sama aku, ‘kan?”
“Lalu, kenapa kamu menamai nomor dia ‘My D’?”
Lelaki berkulit sawo matang itu terdiam sejenak, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu. “Dia yang menamai seperti itu. Aku ... aku belum sempat menggantinya. Hubungan aku sama Desti emang dekat, tapi cuma sebagai rekan kerja.” Wisnu meraih tangan sang istri dan menggenggamnya erat. Dia menatap lekat manik hitam Pelita. “Kamu percaya sama aku, ‘kan?” tanyanya seraya menyeka air mata Pelita menggunakan satu tangan, sedangkan tangan yang lain masih menggenggam tangan wanita itu.
***
Binar merapikan kemeja putihnya yang sedikit berantakan, kemudian menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Dia segera beranjak dari kursi dan berjalan ke ruangan Baskara setelah mendapatkan panggilan dari lelaki itu. Untung saja, Binar sudah menyelesaikan pekerjaannya sepuluh menit sebelum mendapatkan panggilan dari sang manajer.
Binar mengetuk pelan pintu kaca di depannya, kemudian membukanya perlahan setelah mendapatkan izin dari sang empunya ruangan. Dia menghela napas, kemudian mengembuskannya sejenak sebelum berjalan mendekati lelaki yang terlihat sibuk berkutat di depan komputer.
“Bagaimana?” tanya lelaki itu dengan nada datar dan tanpa menatap Binar.
“Saya sudah menghubungi semua kandidat yang lolos tahap screening. Wawancara akan dijadwalkan pada akhir bulan nanti. Lalu, mengenai training karyawan, saya sudah memilih beberapa perusahaan jasa yang bergerak di bidang pelatihan karyawan,” jelas Binar panjang lebar, kemudian menjelaskan keunggulan dari masing-masing perusahaan jasa tersebut.
“Coba kamu hubungi Rais Training dan tanyakan sistem kerjanya bagaimana. Laporkan ke saya sebelum makan siang nanti. Ingat, sebelum makan siang. Jangan sampai telat.”
Binar mengembuskan napas berat, kemudian mengangguk samar. “Baik, Pak.”
***
Binar menuangkan saus, kecap, dan sambal ke dalam mangkuk berisi mi ayam yang ada di depannya. Asap yang mengepul menguarkan aroma yang membuat air liurnya ingin menetes. Tidak ada yang bisa menolak kenikmatan mi kuning yang disajikan dengan kuah, sayuran, serta potongan ayam kecap itu, termasuk Binar. Gadis itu memang sangat menggilai makanan tersebut.
Setelah semua tercampur rata, Binar langsung memakan mi kuning yang sangat kenyal dan sesekali menyeruput kuahnya yang begitu kental dan pedas.
“Makasih, ya, Bang.” Binar meraih botol air mineral yang diberikan oleh Raymon, kemudian meminum isinya hingga tersisa setengahnya. “Aku laper banget. Tadi pagi belum sempat sarapan gara-gara harus nemuin Pak Kara sebelum jam delapan pagi.”
“Oh, ya, gimana tadi sama Pak Kara?” tanya Puput di sela-sela mengunyah makanan yang terlihat penuh di dalam mulutnya. Dia kemudian menelan seluruh makanan di dalam mulut setelah mengoyak-ngoyaknya menggunakan gigi beberapa kali. “Kalau lo butuh bantuan, bilang aja ke gue. Gue udah khatam banget sama sifatnya Pak Kara. Gini-gini, gue juga udah dua kali jadi sasarannya gara-gara mencamil diam-diam waktu rapat dan nonton drakor saat kerja.”
Binar ingat sekali kejadian itu. Setahun yang lalu, tepatnya ketika awal-awal Baskara menjabat sebagai manajer departemen Sumber Daya Manusia, Puput yang tidak bisa jauh-jauh dari camilan akhirnya diam-diam memakan camilan saat rapat berlangsung. Alasannya, agar dia tidak mati kebosanan. Namun, sialnya Baskara mengetahui hal tersebut dan menyuruh Puput melakukan ini-itu selama seminggu penuh. Jika ada kesalahan sedikit saja, maka dapat dipastikan dia tidak akan selamat dari ‘terkaman’ si manajer galak itu. Sejak saat itu, Puput tidak berani makan ataupun minum selama rapat. Kesalahan kedua yang dia lakukan adalah nonton drama Korea di sela-sela kerja. Hal tersebut membuat Puput lagi-lagi menjadi ‘mangsa’ Baskara.
“Untung aja berjalan dengan baik, Mbak. Aku enggak kena semprot lagi. Kayaknya, mood Pak Kara lagi baik, deh,” sahut Binar, kemudian memasukkan potongan daging ayam ke dalam mulutnya.
“Eh, ngomong-ngomong soal Pak Kara, gue heran kenapa di umurnya yang udah kepala tiga, dia belum nikah-nikah juga. Jangankan nikah, pacar aja belum punya.” Ayu yang sedari tadi menikmati bakso pesanannya akhirnya ikut nimbrung.
“Gue juga udah kepala tiga dan belum punya pacar, apalagi nikah. Gue ingetin kalau lo lupa,” Raymon menyahut setelah menyeruput es jeruk. Dia kemudian mencabut beberapa helai tisu dari tempatnya dan mengusap mulutnya menggunakan tisu tersebut.
Ayu berdecak kesal, kemudian memutar bola matanya, kesal dengan jawaban seniornya itu. “Ih, tapi lo, ‘kan, masih nafsu sama Binar, Bang.”
“Mulut lo tuh, ya!” sambil melempar tisu bekas yang digunakannya untuk mengusap mulut tadi. “Nafsu ... nafsu, lo kira gue ayam apa yang lihat betina langsung nyosor?”
Mendengar namanya disinggung, Binar pun menoleh ke arah Puput, kemudian beralih menatap Raymon yang duduk tepat di hadapannya.
Perempuan bergincu merah menyala itu pun mencebik, sebal. “Gue tuh heran sama Pak Kara. Kenapa dia enggak tertarik sama gue? Cantik udah, seksi udah, pinter jangan ditanya lagi. Terus, kurangnya gue apa coba?”
“Kurang adab,” celetuk Raymon, membuat Ayu lagi-lagi mencebikkan bibirnya yang dipolesi dengan gincu semerah darah.
Puput tertawa terbahak-bahak hingga karyawan lain yang berada di kantin perusahaan memusatkan atensi kepadanya. Berbeda dengan Puput, Nadia yang duduk di samping kiri Binar hanya tersenyum kecil, sedangkan Binar hanya bergeming, sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Mulut lo tuh, ya, Bang, pedes banget kayak Bon Cabe level tiga puluh. Sebelas dua belas sama Pak Kara. Ya, enggak heran, sih. Kalian, ‘kan, udah temenan selama empat tahun.”
“Bang Ray temenan sama Pak Kara? Sejak kapan?” Binar menatap Raymon lekat-lekat, menantikan penjelasan lelaki itu. Pasalnya, dua lelaki itu tak pernah terlihat akrab, bahkan ketika Baskara pertama kali masuk kerja, mereka seperti orang asing yang tak mengenal satu sama lain.
“Pak Kara itu seuniversitas dan sejurusan sama Bang Ray. Mungkin, mereka juga sekelas,” sahut Ayu tanpa diminta, kemudian menyeruput es tehnya dengan anggun.
“Woa, daebak!” Puput melebarkan mata sembari berusaha memasukkan makanan di dalam mulutnya ke kerongkongan. “Kenapa Bang Ray enggak cerita ke kita-kita coba?” tanyanya setelah berhasil menelan makanan.
“Emang penting banget, ya?” Raymon menjawab acuh tak acuh.
“Tapi, kayaknya Bang Ray enggak terlalu akrab, ya, sama Pak Kara? Apa kalian punya masalah di masa lalu?” Binar mengajukan pertanyaan seraya menatap intens lelaki berkacamata minus itu, seolah-olah tengah menuntut jawaban.
Ayu, Puput, dan Nadia pun menatap Raymon lekat-lekat, menunggu jawaban lelaki itu. Pasalnya, pertanyaan yang dilontarkan Binar mewakili rasa penasaran mereka.
Sekakmat! Pertanyaan telak yang dilontarkan Binar membuat Raymon tersedak air liur sendiri hingga terbatuk-batuk. Lelaki itu pun menyeruput es jeruknya yang tinggal setengah hingga tandas tak tersisa. “Udahlah, enggak usah dibahas. Enggak penting juga.” Dia berusaha mengalihkan pembicaraan. “Mending kalian lanjutin aja bahas kenapa si Kara enggak mau sama cewek cantik.” Kini, secara terang-terangan Raymon memanggil Baskara secara informal, tanpa embel-embel ‘pak’ lagi.
“Mungkin ....” Puput menatap rekan kerjanya satu per satu, kemudian melirik ke sekeliling, memastikan tidak ada yang menguping pembicaraan mereka.
“Mungkin apa?” Ayu terlihat tidak sabaran. Begitu pun dengan Binar, Raymon, dan Nadia.
“Mungkin dia suka main pedang-pedangan,” bisik perempuan bertubuh tambun dengan rambut yang selalu dikucir kuda itu.
“Gay maksudnya?” tanya Binar yang langsung diangguki Puput.
“Gila kali lo! Mana mungkin cowok se-macho itu suka sama—”
Puput langsung membekap mulut Ayu menggunakan tangannya yang besar dan berisi itu, seolah-olah menyuruh Ayu untuk mengontrol suaranya agar tak menjadi pusat perhatian karyawan lain.
“Kalau menurutku, sih, enggak menutup kemungkinan kalau Pak Kara itu terkena philophobia.” Untuk pertama kalinya, Nadia angkat bicara, membuat keempat rekan kerjanya mengalihkan perhatian kepadanya.
Ayu melepaskan tangan besar yang hampir menutupi setengah wajah cantiknya itu dengan kasar. “Dia takut jatuh cinta gitu? Kayaknya terlalu berlebihan, deh,” katanya, membantah perkataan Nadia.
“Hm ... aku cuma nebak-nebak aja, kok, Mbak.”
***
Selepas menyantap makan siang, Binar dan keempat rekan kerjanya pun kembali ke ruangan tepat lima menit sebelum jam makan siang berakhir. Ketika menyusuri lorong menuju ruangan Departemen Sumber Daya Manusia, Ayu dan Puput bercerita tentang banyak hal, sedangkan Binar, Raymon, dan Nadia hanya menjadi pendengar setia.
Saat akan sampai di ruangan, Binar memelankan langkah, menunggu Raymon yang sedari tadi berjalan di belakang mereka berempat. “Bang?”
Raymon melirik Binar sekilas, kemudian menjawabnya dengan gumaman
“Kalau kalian satu jurusan dan seangkatan, berarti Pak Kara juga kenal Mbak Lita dong?” tanya Binar penasaran. Dia memang mengetahui bahwa kakaknya dan Raymon seangkatan juga selalu sekelas waktu kuliah dulu. Awal dia mengetahui hal itu saat Raymon mengantarnya pulang ketika dia belum memiliki mobil. Saat itu pula ada Pelita yang berkunjung ke rumah. Entah takdir atau bagaimana, akhirnya mereka bertemu dan mengadakan reuni dadakan. Dari situlah Binar tahu bahwa sang kakak dan rekan kerjanya itu teman semasa kuliah.
Lelaki berkulit sawo matang itu mengembuskan napas berat, kemudian memperbaiki letak kacamata minusnya. “Ya ... begitulah.”
Binar mencebikkan bibir, kesal. “Ih, Bang, aku serius tahu!”
“Binar!”
“I-iya, Pak?”
“Apa kamu melupakan sesuatu atau pura-pura lupa, hah?! Saya sudah bilang, ‘kan, untuk menemui saya sebelum makan siang? Enak sekali kamu makan-makan di luar sana, sedangkan saya menunggu di ruangan dari tadi dan melewatkan jam makan siang!”
Binar menepuk dahi, merutuki kebodohannya yang bisa melupakan hal sepenting itu. Kepalanya tertunduk dalam-dalam, takut melihat mata Baskara yang menatapnya dengan tajam. “Maafkan saya, Pak. Saya benar-benar lupa. Sebentar lagi—”
Raymon menarik pergelangan tangan Binar secara tiba-tiba dan menyembunyikan tubuh gadis itu di belakang tubuhnya. Bahu kekar dan tubuh yang menjulang tinggi itu mampu menyembunyikan seluruh tubuh Binar yang terlihat mungil jika disandingkan dengannya. Binar pun harus menjulurkan kepala untuk bisa melihat ke depan.
“Bisa enggak, sih, enggak usah marah-marah kayak gitu?” tanya lelaki bertubuh atletis itu sedikit tajam.
“Saya sedang menegur bawahan saya. Jadi, jangan ikut campur,” jawab Baskara dingin. Matanya tetap melayangkan tatapan nyalang ke arah Binar yang berada di balik tubuh Raymon.
“Lo tuh lagi ngelampiasin amarah, bukan negur dia!” Kini, Raymon semakin berani dan mulai menggunakan bahasa informal, membuat keempat rekan kerjanya membelalakkan mata.
Baskara mengalihkan pandangannya kepada Raymon. Sudut bibirnya terangkat, membentuk seringai mematikan. Lelaki berkulit putih itu terlihat menakutkan jika sudah mengeluarkan seringai.
Binar mencekal lengan Raymon, memberi kode agar lelaki itu diam. Apalagi, sikap Raymon sudah keterlaluan. Bisa-bisanya dia menggunakan bahasa informal ketika berbicara dengan atasannya. Meskipun sedang kesal, tetapi sikapnya kali ini tidak bisa dibenarkan.
“Kalau lo negur dia, seharusnya lo manggil dia secara pribadi, bukannya malah mempermalukan dia kayak gini!”
“Bang!”
Teriakan Binar membuat lima pasang mata mengalihkan perhatian ke arahnya. Gadis itu tak lagi bersembunyi di balik tubuh kukuh Raymon. “Tolong, biarin aku menyelesaikannya sendiri. Abang enggak usah ikut campur.”
“Ikut ke ruangan saya! Sekarang juga,” titah Baskara dengan penuh penekanan.
“Saya, Pak?” tanya Binar, sedikit ragu. Pasalnya, tidak ada subjek di dalam kalimat yang dilontarkan Baskara. Jadi, kalimat itu sedikit ambigu.
“Bukan,” Baskara menatap nyalang ke arah Raymon, “tapi kamu.”
“Kira-kira Bang Ray akan jadi manga selanjutnya atau enggak, ya?” tanya Ayu kepada Puput. Dia sedikit melongok agar bisa melihat perempuan bertubuh tambun itu karena pandangan mereka tersekat oleh kubikel. “Gimana kalau kita taruhan? Yang kalah akan traktir yang menang selama seminggu. Gimana?”
“Deal!”
“Astagfirullah, Mbak. Taruhan itu, ‘kan, dosa,” ujar Nadia yang kubikelnya berada di samping Ayu.
“Ya, elah, Nad, ini cuma buat seru-seruan aja, kok,” tutur Puput, kemudian memasukkan segenggam bidaran keju ke dalam mulutnya.
Binar terus menatap ke arah ruangan Baskara. Ruangan itu memang berdinding kaca transparan sehingga orang yang berada di luar bisa mengetahui segala sesuatu yang terjadi di dalam sana jika tirai tidak diturunkan. Gadis itu harap-harap cemas, takut jikalau Raymon mendapat masalah karena membelanya tadi. Dia bahkan tak lagi memedulikan sekitar, mengabaikan percakapan rekan kerjanya yang sibuk membicarakan tentang taruhan.
Tatapannya bertemu dengan tatapan Baskara yang begitu tajam. Lelaki jangkung itu bangkit dari kursi, kemudian berjalan ke jendela dan menurunkan tirai agar tidak ada yang bisa melihat interaksi apa pun di dalam sana. Hal itu membuat Binar semakin takut, takut kalau-kalau Baskara memukul Raymon hingga babak belur atau bahkan membunuhnya.
Binar menggeleng kuat-kuat, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran konyol yang bergelayut di dalam benak kepalanya.
Sekitar sepuluh menit, Raymon pun keluar dari ruangan Baskara. Laki-laki jangkung itu memasang ekspresi datar sehingga sangat sulit ditebak. Oleh karenanya, Binar, Nadia, Ayu, dan Puput tak berani menanyakan apa pun dan pura-pura sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Binar mengembuskan napas lega. Setidaknya, lelaki itu tidak keluar dalam keadaan babak belur. Namun, kelegaan itu tak berlangsung lama ketika telepon di dalam kubikelnya berdering. Dengan ragu, dia mengangkat gagang telepon.
“Hal—”
“Ke ruangan saya sekarang juga.”
***
Pelita menggandeng tangan Aruna dan berjalan tergopoh-gopoh ke luar dari rumah berlantai dua yang eksteriornya terlihat mewah dengan perpaduan warna kuning dan hitam. Di depan rumah minimalis tersebut tumbuh kukuh sebuah pohon pinus di antara rerumputan hijau yang hanya berukuran sepetak.
Perempuan yang terlihat semakin cantik dengan mengenakan kerudung salem itu segera masuk sedan putih yang terparkir di depan garasi setelah menempatkan Aruna di kursi penumpang samping kursi kemudi.
Dia segera menyalakan sedan putih yang dibelikan oleh sang suami sebagai hadiah ulang tahun pernikahan ketiga mereka itu, kemudian melajukannya, membelah jalanan Ibu Kota yang padat merayap, meski mentari sedang terik-teriknya.
“Kita mau ke mana, Ma?” tanya Aruna yang sedari tadi sibuk menyisir rambut boneka Barbie.
Pelita melirik putrinya sekilas, kemudian fokus menatap ke arah jalanan. “Kita akan ke tempat kerja papa, Sayang.”
“Kita akan ketemu Papa, Ma?” Mata kecil itu berbinar-binar menatap wajah sang mama dari samping.
Pelita hanya tersenyum kecil menanggapi pertanyaan sang buah hati.
Tiga puluh menit kemudian, sedan putih milik Pelita berhenti di area parkir yang ada di depan bangunan rumah sakit tempat sang suami bekerja. Namun, wanita itu tak kunjung keluar dari mobil hingga sepuluh menit berlalu.
“Ma, kenapa kita enggak tulun? Katanya mau ketemu papa?” Aruna mengedip-ngedipkan mata, membuatnya terlihat semakin menggemaskan dengan pipi yang sedikit gembul.
Pelita membuka sabuk pengaman, kemudian mengubah posisi menjadi menyamping agar lebih leluasa menatap wajah ayu malaikat kecilnya. Dia mengusap rambut panjang Aruna yang dihiasi bando biru muda dengan hiasan bunga di sebelah kanan. Bando tersebut sangat pas dipadupadankan dengan kaus bermotif garis-garis putih-biru yang dikenakannya.
“Sabar, ya, Sayang. Sebentar lagi papa akan keluar, kok,” ujar Pelita dengan senyum yang mengembang di bibir merahnya.
Tak lama kemudian, sosok yang dinanti-nanti keluar dari bangunan rumah sakit, kemudian disusul oleh seorang wanita bertubuh lampai yang berlari-lari kecil mengejar Wisnu. Wanita itu terlihat bergelayut manja di lengan kukuh Wisnu, sedangkan Wisnu hanya tersenyum kecil, lalu mengacak lembut rambutnya.
Hati Pelita mencelus seketika. Hatinya serasa diremat melihat kemesraan sang suami dengan wanita lain. Untung saja, Aruna tengah sibuk bermain dengan boneka Barbie sehingga hanya dia yang melihat pemandangan menyakitkan itu.
Wisnu dan wanita itu berjalan ke mobil jenis SUV dengan merek BMW merah yang terparkir di seberang mobil Pelita. Wisnu membukakan pintu untuk wanita berambut sebahu itu.
Wanita bertubuh semampai itu pun mengecup lembut pipi Wisnu setelah menoleh ke kanan-kiri, memastikan tidak ada yang melihat. Dia tidak tahu saja kalau sejak tadi ada sepasang mata yang terus memperhatikan gerak-gerik mereka.
Pelita menggigit bibir bagian bawah melihat pemandangan menjijikkan di depan matanya. Dia semakin mengeratkan pegangan pada setir untuk meredam amarah yang bergelegak di dalam d**a. Wanita berkerudung salem itu memejamkan mata sejenak, mencegah cairan bening yang seolah-olah ingin menyeruak keluar. Dia terus meyakinkan diri agar tidak menangis di depan Aruna. Dia akan tetap terlihat tegar di depan sang buah hati, meski hatinya hancur berkeping-keping.
BMW merah yang ditumpangi Wisnu dan wanitanya keluar dari area parkir. Entah ke manakah lelaki itu akan pergi, Pelita tak peduli lagi. Perempuan itu segera melajukan mobilnya, mengabaikan tatapan heran yang dilayangkan Aruna. Dia melajukan mobil ke arah berlawanan. Pelita tidak mengikuti sang suami. Saat ini, yang terpikirkan di benak kepalanya hanyalah satu tempat.
Dua puluh menit kemudian, mobilnya berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua dengan paduan warna ungu dan cokelat s**u. Di depan rumah tersebut terdapat sebuah toko kecil dengan plang bertuliskan ‘Maira’s Bakery’ yang digantung di sisi kanan toko.
Pelita segera turun setelah memarkirkan mobilnya, kemudian membuka pintu penumpang di samping kemudi dan membantu Aruna turun. Dia melihat seorang wanita paruh baya yang sangat dirindukannya keluar dari toko kecil di depan rumah minimalis tersebut. Seketika, mata Pelita berkaca-kaca dan bibirnya pun bergetar menahan isakan. Cairan bening yang sedari tadi dibendungnya kini menyeruak keluar tanpa diminta.
“Umi.”
“Lita?”