Bagian 4

2122 Kata
“Tante Binalll!” Suara cadel khas anak-anak menyambut kedatangan Binar saat baru saja menginjakkan kaki di ambang pintu. Seorang anak perempuan berusia empat tahun berlari ke arah Binar, membuat rambutnya yang dikucir dua berayun-ayun ke sana kemari. Dia menghambur, memeluk kaki jenjang tantenya yang dibalut dengan celana kain hitam. Binar tersenyum semringah karena tingkah kemenakannya yang sangat menggemaskan itu. Dia pun bersimpuh di depan Aruna untuk menyejajarkan tingginya dengan gadis kecil tersebut. Dengan penuh sayang, Binar mengusap puncak kepala Aruna. “Aruna, Tante sudah bilang sama kamu, ‘kan, kalau panggil Tante jangan seperti itu. Karena Aruna enggak bisa ngomong ‘r’, jadi panggil Tante Bina aja, ya. Kalau manggilnya kayak gitu, enggak enak didengerinnya.” Aruna menyunggingkan senyum lebar, membuat gigi ompongnya terlihat jelas karena salah satu gigi seri bagian atas sudah tanggal. “Oke, Tante Bina,” ujarnya penuh semangat sembari mengacungkan dua jempol mungilnya. Gadis bernetra hitam itu mengacak rambut Aruna dengan lembut. “Good girl.” Binar lantas berdiri, menggandeng tangan kiri Aruna, dan berjalan ke Umi Maira dan Pelita yang sedari tadi tersenyum tipis melihat interaksi antara tante dan kemenakannya. “Mas Wisnu mana, Mbak? Enggak ikut?” “Iya, Nar. Mbak ke sini sama Aruna doang.” “Mbak, nih, udah nikah, tapi kayak masih jomlo aja. Ke mana-mana selalu sendiri.” Binar terkekeh pelan, tak menyadari raut wajah sang kakak yang mulai berubah. Dia kemudian duduk sofa single, tak jauh dari sofa panjang yang ditempati Pelita dan Umi Maira. Tak lupa, dipangkunya sang kemenakan yang sangat dia rindukan itu. “Enggak heran, sih, Mas Wisnu pasti sibuk banget. Secara dia itu, ‘kan, dokter. Mbak beruntung banget tahu bisa punya suami dokter.” Pelita menunduk sejenak, menyembunyikan senyum kecutnya. “Makanya, kamu kalau cari suami jangan yang berprofesi jadi dokter. Nanti, kamu ke mana-mana selalu sendiri. Enggak ada bedanya dong antara nikah sama enggak,” ujarnya, berusaha membalas banyolan sang adik. Dia tidak ingin jika Binar mengetahui masalah yang menimpa dirinya. Bisa-bisa, gadis itu yang akan mencak-mencak nanti. Pelita ingat, waktu kecil, Binar selalu melindunginya jika dia diganggu oleh anak lelaki, bukan diganggu, sih, lebih tepatnya digoda karena dulu Pelita adalah kembang kompleks yang sangat digila-gilai oleh anak laki-laki. Meskipun Binar lima tahun lebih muda dari Pelita, tetapi  keberaniannya memang patut diacungi jempol. Binar melindungi Pelita karena sangat menyayangi kakaknya itu. Mereka memang saling melindungi satu sama lain, apalagi ayah yang seharusnya mengayomi dan melindungi keduanya sudah tiada. Pelita tidak bisa membayangkan bagaimana jika Binar mengetahui fakta tentang Wisnu, bisa-bisa gadis itu akan melabrak kakak iparnya sendiri. “Hm, bilang aja Mbak enggak mau disaingi,” kelakarnya yang membuat sang kakak tersenyum simpul. “Hush, enggak boleh ngomong kayak gitu, Nar.” Umi Maira berusaha memperingatkan Binar yang tidak bisa mengontrol omongannya. “Sana mandi, terus salat, gih! Kamu pasti belum salat Isya, ‘kan?” Binar menyengir kuda, memperlihatkan gigi putihnya yang berderet rapi. “Iya, Umiku Sayang.” “Tumben kamu baru pulang, pasti kelayapan dulu, ya?” “Astagfirullah, Mi, gitu banget sama anak sendiri. Binar tadi habis lembur. Semua ini gara-gara manajer Binar yang baru.” Bibir yang masih menyisakan lipstik merah itu mengerucut, sebal. Perempuan berkerudung salem itu terkekeh pelan melihat ekspresi adiknya yang terlihat lucu. Setidaknya, di sini dia bisa melepaskan semua nestapa yang sedari tadi bergelayut dalam hatinya. “Manajer kamu masih muda, Nar?” tanyanya penasaran. Binar memutar bola matanya sekali. “Iya. Masih umur tiga puluhanlah, tapi nyebelinnya itu, lho, masyaallah banget.” Tanpa sadar, Binar mencurahkan isi hatinya. “Kenapa emangnya, Mbak?” “Sana deketin, gih! Siapa tahu jodoh kamu. Biasanya, benci bisa jadi cinta.” “Ih, ogah banget, Mbak! Meskipun, ya, aku enggak terlalu benci sama dia, tapi amit-amit jabang baby. Jangan sampai dia jodohku. Bisa-bisa aku ngenes seumur hidup,” ujar Binar seraya mengetukkan kepalan tangan kanannya ke sofa, kemudian beralih ke dahi. “Jabang baby itu apa, Tante?” Pertanyaan polos yang dilontarkan oleh Aruna membuat tawa Umi Maira, Pelita, dan Binar membahana di seluruh penjuru ruang tamu berukuran 3x3 meter itu. Malam itu, Pelita melupakan kesedihannya, meski hanya sebentar. Keceriaan yang ditularkan Binar membuat luka di dalam lubuk hatinya terobati sedikit demi sedikit. Hal itulah yang membuat dirinya kembali pulang. Dia ingin mendapatkan kebahagiaan yang tidak pernah didapatkannya selama beberapa tahun terakhir. *** “Mbak?” Binar membuka pintu satu daun di depannya, kemudian melongokkan kepala ke dalam, melihat sang kakak yang tengah menyelimuti Aruna yang sudah tertidur. Kakaknya itu sudah menanggalkan kerudung salem yang dia pakai tadi dan hanya menyisakan gamis navy yang melekat di tubuh lampainya. “Mbak, aku boleh masuk enggak?” Pelita tersenyum simpul, lalu melambaikan tangannya. “Boleh, dong. Sini,” ucapnya sembari menepuk sisi ranjang. Binar pun tersenyum semringah, lantas masuk ke kamar Pelita setelah menutup pintu. Dia duduk di sisi ranjang king size itu, tepatnya di samping sang kakak. “Mbak dari tadi belum lihat Kiran sama sekali. Dia ada di mana?” “Di kamarnya kali, Mbak. Dia, ‘kan, hobinya ngurung diri di kamar terus,” sahut Binar dingin. Pelita hanya menganggut-anggut, tak berniat melanjutkan topik pembicaraan mengenai Kiran lebih lanjut. Dia tahu, bahkan sangat tahu bagaimana hubungan kedua adiknya yang terbilang sangat dingin dan tak pernah akur. “Oh, ya, kamu, kok, belum tidur, sih? Katanya capek habis ‘dikerjain’ manajer baru?” Perkataan sang kakak tiba-tiba membuatnya mengingat Baskara. Dia segera menggeleng kuat-kuat, berusaha mengenyahkan lelaki itu dari benak kepalanya. Bibir merahnya mengerucut, sebal. “Aku tu enggak cuma capek fisik aja, Mbak, capek hati juga,” ungkapnya yang membuat Pelita tergelak. Namun, beberapa detik kemudian langsung membekap mulutnya sendiri, menyadari bahwa tidur Aruna sedikit terusik.  “Mbak jadi penasaran kayak apa manajer kamu itu.” Gadis berambut panjang yang terurai hingga punggung itu berjengit. Pupil hitamnya melebar ketika mengingat sesuatu yang sempat dia lupakan. “Ah, katanya dia teman seangkatannya Bang Ray. Berarti, kemungkinan Mbak juga kenal dia.” “Oh, ya?” Pelita semakin tertarik dengan topik pembicaraan ini. “Siapa namanya?” tanyanya tak sabaran. “Baskara Arya Dana. Mbak kenal sama dia?” “Oh, dia itu—” Pintu satu daun berwarna cokelat itu tiba-tiba terbuka, membuat kalimat Pelita terputus seketika. Umi Maira berdiri di balik pintu dengan raut wajah yang sulit dibaca. “Wisnu. Dia ada di sini.” *** Kiran mengikat selimut yang sudah disambung menjadi satu di pembatas balkon dengan kuat. Selimut berjumlah tiga buah yang sudah disatukan itu menjuntai hingga ke bawah. Dengan kaus lengan pendek hitam yang dipadupadankan dengan celana belel berwarna serupa, gadis itu naik ke pembatas balkon dan turun dengan menggunakan sambungan selimut tadi. Tak membutuhkan waktu lama, Kiran akhirnya sampai di bawah dan berjalan mengendap-endap menuju ke luar rumah. Sebelum itu, dia sempat mematut penampilannya di depan kaca mobil BMW merah milik Wisnu yang terparkir di halaman rumah. Setelah memperbaiki celak di sekitar mata bagian bawah, dia segera menuju mobil covertible hitam yang terparkir di seberang jalan sembari celingak-celinguk, takut jika ada orang yang memergokinya. Untung saja keadaan di sekitar kompleks begitu lengang sehingga tidak ada tetangga yang mengetahui. Kiran segera naik ke atas bodi mobil yang atapnya sudah dibuka itu, kemudian mengempaskan pantatnya di jok kursi penumpang bagian belakang. “Ah, akhirnya,” ujarnya setelah mengembuskan napas penuh kelegaan.  “Tumben lo bisa keluar dengan selamat?” tanya seorang gadis berambut sebahu dengan warna cokelat yang duduk di balik kemudi. Gadis itu terlihat cantik dengan mengenakan kaus putih yang dilapisi jaket kulit hitam dan rok selutut berwarna hitam pula. “Iya, biasanya lo kayak kucing sama tikus kalau udah berurusan sama umi lo,” sahut seorang gadis yang duduk di kursi penumpang samping kemudi. Penampilan gadis itu juga tak jauh berbeda dengan temannya, mengenakan kaus hitam lengan pendek yang ujungnya dimasukkan ke dalam celana jin dengan panjang sepuluh senti di atas lutut. Rambut hitam panjangnya dibiarkan tergerai ke depan, menutupi d**a. “Di rumah ada cucunya, jadi umi enggak akan sadar kalau gue kabur.” Friska—gadis di balik kemudi—memasang sabuk pengamannya, lalu mulai menyalakan mesin mobil. “Bagus, deh, kalau kayak gitu. Cus kita berangkat! Keburu acaranya mulai.” “Kuy!” *** Wisnu bangkit dari sofa ketika Umi Maira disusul oleh Binar dan Pelita keluar dari kamar yang berada tak jauh dari ruang tamu. Pelita kini sudah memakai kerudung salem yang sempat ditanggalkannya sebentar tadi. Dia pun membawa tas tangan yang dibawanya tadi. Perempuan itu tersenyum tipis untuk membalas senyuman sang suami. Namun, dia melakukan hal itu agar uminya tak curiga. Pelita memang belum menceritakan masalah tentang Wisnu selingkuh kepada Umi Maira. Dia takut jika masalah tersebut akan membebankan sang umi yang memiliki penyakit asma. Asma Umi Maira sering kambuh jika terlalu banyak pikiran dan stres. “Yuk, pulang,” ujarnya. Wisnu celingak-celinguk, kemudian melongok ke belakang tubuh Pelita, seolah-olah tengah mencari seseorang. “Aruna?” “Aku nitipin Aruna di rumah Umi.” “Kenapa?” “Bukannya besok malam Mas mau ngajak aku ke pesta pernikahan teman Mas?” “Ah, itu. Tapi, enggak harus sekarang nitipinnya, ‘kan? Besok pagi juga bisa. Aku enggak enak kalau harus ngerepotin Umi.” “Enggak pa-pa, Nak Wisnu. Umi malah seneng kalau Aruna ada di sini, jadi Umi enggak kesepian kalau Binar lagi kerja dan Kiran lagi sekolah.” “Maaf, ya, Umi, kami jadi ngerepotin. Besok, setelah kondangan, kami akan menjemput Aruna lagi. Kalau begitu, kami permisi dulu, ya.” Pelita menghampiri Umi, meraih kedua tangan wanita paruh baya yang mulai keriput itu. “Kami pulang dulu, ya, Mi. Jaga kesehatan dan jangan lupa minum obat. Jangan sampai asma Umi kambuh lagi.” Dia kemudian mengalihkan pandangan ke arah Binar yang berdiri tak jauh dari mereka. “Mbak titip umi dan Aruna, ya, Nar. Jaga mereka baik-baik.” “Iya, Mbak tenang aja. Tanpa Mbak suruh pun, aku akan menjaga mereka.”  “Kalian hati-hati di jalan, ya.” Umi Maira mengusap lembut kepala putri sulungnya yang terbungkus dengan hijab. Wisnu berjalan mendekati Umi Maira dan mencium punggung tangan mertuanya dengan takzim. Setelah berpamitan dengan sang mertua dan adik ipar, dia pun mengajak Pelita pulang. Laki-laki itu mengulurkan tangan, hendak menggenggam tangan sang istri. Namun, wanita itu justru menautkan kedua tangannya di depan tubuh, seolah-olah ingin menghindar. Umi Maira dan Binar pun mengantar kepergian Wisnu dan Pelita sampai teras. Pelita sempat melambaikan tangan ke arah Umi Maira dan Binar sebelum masuk mobil, menyusul Wisnu yang sudah siap di balik kemudi. “Umi ngerasa aneh enggak, sih, sama Mbak Lita dan Mas Wisnu?” tanya Binar membuka topik pembicaraan ketika mobil BMW merah milik Wisnu sudah hilang dari pandangan mereka. “Kenapa memangnya?” Umi Maira bertanya sambil berlalu menuju ruang tamu. Binar berbalik, menyusul sang umi dan berusaha menyamakan langkah wanita paruh baya itu. “Kayak ada masalah sama mereka. Kira-kira apa, ya?” Umi Maira menghentikan langkah, membuat Binar berhenti secara otomatis. “Jangan mikir yang enggak-enggak, ah! Memangnya, kamu tahu dari mana?” “Yeee, Umi. Meskipun Binar belum nikah, tapi dari gerak-gerik mereka aja tuh udah kelihatan. Mbak Lita kayak dingin gitu sama Mas Wisnu. Biasanya, Mbak Lita selalu natap Mas Wisnu dengan penuh cinta.” “Sudah, sudah. Lebih kamu tidur sana. Besok berangkat pagi lagi, ‘kan? Umi mau ke kamarnya Kiran dulu. Dari tadi Umi belum lihat dia sama sekali,” pungkas Umi Maira, lalu berjalan menaiki tangga dan menuju kamar Kiran yang letaknya berseberangan dengan kamar Binar. Dengan hati-hati, Umi Maira membuka pintu kamar setelah mengetuknya pelan, takut jika mengganggu atau membangunkan sang putri kalau-kalau dia sudah tidur. Beberapa detik setelah pintu terbuka sempurna, wanita setengah baya itu bergeming di ambang pintu, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar. Namun, nihil, Umi Maira tidak bisa menemukan keberadaan Kiran. Manik hitamnya hanya menangkap jendela yang mengarah langsung ke balkon terbuka. “Binar!” Mendengar teriakan sang umi, Binar yang masih menapaki anak tangga keempat langsung mempercepat langkah dan menuju sumber suara. “Ada apa, Mi?” tanyanya di sela-sela mengatur napas yang memburu. Dada Umi Maira terlihat naik turun. Dia memegang dadanya yang terasa sesak. Napas wanita itu pun mulai tersengal, seolah-olah habis lari maraton. “Kiran. Kiran, adikmu, dia kabur, Nar.” “Astagfirullah. Anak itu bener-bener.” Binar memegang kedua bahu uminya, berusaha untuk menenangkan wanita setengah baya itu. “Umi tenang aja, ya. Jangan terlalu dipikirkan. Nanti asma Umi kambuh lagi. Binar akan cari Kiran dan bawa anak itu pulang. Umi di rumah aja, ya, jaga Aruna.” “I-iya.” Binar akan beranjak ke kamar untuk mengambil kunci mobil. Namun, dering ponsel milik Umi Maira menghentikan langkahnya, mengira bahwa yang menelepon adalah Kiran. Perempuan berwajah sendu itu menatap lekat sang umi yang saat ini tengah menerima telepon entah dari siapa. “Apa?! Kantor polisi?!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN