Bagian 5

2267 Kata
Suara knalpot motor yang begitu memekakkan telinga saling bersahut-sahutan dengan sorak-sorai penonton yang mendukung jagoan masing-masing. Suara-suara bising itu meredam kesunyian di salah satu jalanan Ibukota. Pada tengah malam, jalan itu memang sering digunakan sebagai arena balap liar karena jarang ada kendaraan yang melintas. “Dia jadi joki[1] juga?” tanya Kiran sambil sedikit berteriak agar didengar oleh Davira—temannya yang berambut panjang. Davira mengangguk, tetapi matanya terus memperhatikan dua orang cowok yang sudah duduk di atas motor masing-masing dengan gagahnya. “Kenapa? Lo mau pegang[2] dia?” Kiran mengarahkan pandangannya ke arah lelaki jangkung yang duduk di atas motor Ninja hitam. Baginya, lelaki itu terlihat sok keren dan sok kegantengan. Lihatlah, saat ini lelaki itu tengah mengedipkan sebelah matanya ke arah gadis yang terus menatapnya dengan kekaguman. Gadis itu pun bersorak kegirangan karena mendapat kedipan manja dari seorang Dewangga Putra, joki yang terkenal akan ketampanan dan kepiawaiannya dalam mengendarai motor. Bagi gadis lain, melihat Dewangga naik motor seperti melihat pangeran sedang menunggangi kuda putih. Kiran memutar bola matanya, kesal. “Ogah banget! Dia itu yang udah buat gue diskors. Gue doain, dia hari ini kalah. Kalau perlu, gue doain dia jatuh dari motor.”  “Hus! Perkataan itu doa, lho, Ran. Kalau dia kenapa-napa beneran gimana?” sahut Friska, tak terima dengan doa sahabatnya itu. Bagaimana pun, dia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada idolanya itu. “Lagi pula, dia juga diskors, kok. Bukan lo aja.” “Iya, tapi gue, ‘kan, diskors gara-gara dia juga! Gue juga enggak mau diskors kali,” Kiran menjawab dengan sewot. “Kalian tahu, waktu Mbak Binar jemput gue di sekolah setelah gue diskors, dia nyerocos terus sampek rumah. Kuping gue sampek b***k tahu enggak?!” “Udah, udah. Kok, lo pada, sih, yang berantem?” Davira berusaha menengahi kedua sahabatnya yang mulai terlibat cekcok itu. Kirana dan Friska memang sering berdebat mengenai permasalahan sepele. Untungnya, Davira selalu ada untuk menengahi mereka. “Tuh, mereka mau mulai. Jangan debat mulu, ah. Nanti kalian yang bakal diadu.” Kiran memusatkan atensinya kepada dua orang lelaki yang sudah siap di atas motor mereka masing-masing. Dia kemudian mengalihkan pandangan ke arah wanita bertubuh tinggi dan langsing dengan pakaian superketat hingga memperlihatkan lekuk tubuhnya. Wanita itu berjalan ke garis start, berdiri di tengah-tengah motor yang dikendari oleh Dewangga dan lawannya. Wanita ber-tank top kuning dan bercelana pendek itu mengangkat sebuah sapu tangan putih, memberikan aba-aba bahwa kedua joki harus bersiap-siap. Sorak-sorai penonton yang meneriakkan kata ‘gaspol’ semakin riuh diiringi dengan suara knalpot yang juga semakin keras. Ketika wanita bertubuh molek itu akan melontarkan sapu tangan ke atas, suara sirene terdengar semakin jelas. Hal itu membuat anak-anak muda itu berlari tunggang langgang ke segala arah, berusaha menyelamatkan diri masing-masing sebelum aparat kepolisian membekuk mereka. Suasana tiba-tiba berubah mencekam, teriakan ketakutan dan derap langkah terdengar di segala penjuru. Kirana, Friska, dan Davira langsung berlari menuju mobil mereka. Namun, nahas, belum sempat sampai ke mobil, mereka dan beberapa pemuda berhasil dibekuk oleh polisi. *** Setelah memarkirkan mobilnya, Binar segera turun dan berjalan ke pintu penumpang yang berada di samping kemudi. Dia segera membuka pintu mobil dengan kasar dan mencengkeram pergelangan tangan Kiran. “Sini kamu!” Dia menarik pergelangan tangan Kiran dengan kuat dan sedikit kasar. Perempuan itu berjalan cepat menuju pintu rumah seraya menyeret adiknya yang terlihat tak berkutik. Pun, tak memberontak. Pintu utama tiba-tiba terbuka, menampakkan seorang wanita paruh baya bertubuh tambun yang saat ini berdiri di ambang pintu. “Astagfirullah, Kirana!” Dia berjalan tergopoh-gopoh menuju putri bungsunya dan segera menangkup wajah sang putri. “Kamu enggak kenapa-napa, ‘kan, Sayang? Apa ada yang luka?” “Umi, lebih baik kita bicarakan ini di dalam,” ujar Binar menginterupsi. Nada bicara perempuan itu terdengar dingin. Binar segera menyeret Kiran masuk. Umi Maira pun mengikuti mereka setelah menutup pintu rapat-rapat. “Duduk!” titah Binar kepada Kiran dan langsung dituruti oleh remaja itu. “Lo tuh bener-bener nyusahin kami semua, ya, Ran! Mau lo tuh apa, sih, hah?! Mau jadi preman, anak punk, anak jalanan, hah?! Ya, udah, hidup di kolong jembatan sana! Jangan pernah pulang lagi! Bikin malu aja tahu enggak!” “Sabar, Nar. Istigfar.” Umi Maira mengusap lengan Binar dengan lembut, berusaha menenangkan anak gadisnya yang saat ini diselimuti rasa amarah itu. “Jangan teriak-teriak gitu, nanti Aruna bangun.” Binar tak menggubris perkataan sang umi. Saat ini, setan telah meracuni akal sehatnya hingga berani membantah Umi Maira. Rasa kecewa dan amarah telah mengalahkan hati nuraninya. “Asal lo tahu, ya, gue sama Mbak Lita tuh enggak pernah sekali pun menginjakkan kaki di kantor polisi. Jangankan kantor polisi, ruang BK aja kita enggak pernah masuk ke sana! Seharusnya, lo itu sadar diri, dong! Lo itu bukan siapa-siapa di sini. Lo hanya anak dari wanita yang udah ngerebut abi dari kami! Setidaknya, lo jangan banyak tingkah kayak ibu lo itu!” Kiran yang sedari tadi menunduk, kini mulai berani mengangkat kepalanya, menatap tajam ke arah Binar. Tampaknya, emosi yang sedari tadi dipendamnya kini sudah tersulut. Gadis itu berdiri dari sofa tanpa melepas tatapan tajamnya. “Bener! Aku emang bukan siapa-siapa di sini! Aku cuma anak pelakor! Mbak pikir, aku mau tinggal di sini sama kalian? Enggak! Aku lebih baik tinggal di panti asuhan atau di kolong jembatan daripada di sini, Mbak!” “Terus, kenapa lo enggak pergi dari dulu, hah?! Kenapa lo enggak mati sekalian dan ikut wanita itu, hah?!” Plak! Seketika itu juga, tangan kanan Umi melayang tepat di pipi mulus Binar, meninggalkan bekas merah di pipi dan luka yang menganga di hatinya. “Umi ....” Binar menatap Umi dengan mata berkaca-kaca seraya memegang pipi kanannya yang memerah. “Umi kenapa nampar Binar?” tanya dengan suara lirih dan bergetar. “Apa salah Binar, Mi?” “Umi enggak suka kamu ngomong kayak gitu sama adik kamu. Sekalipun kamu marah, jangan sekali-kali mengatakan hal seperti itu.” “Apa salah kalau Binar ngomong kayak gitu? Keberadaan dia di rumah ini memang enggak pernah diharapkan, Mi. Gara-gara dia! Gara-gara dia, Binar enggak pernah ngerasain kasih sayang seorang ayah. Apa Umi pernah mengerti perasaan Binar? Apa Umi tahu kalau Binar diam-diam menangis karena merindukan abi? Apa Umi tahu?” Binar tersenyum sinis, membuat luka di hati Umi Maira semakin tersayat lebar hingga air mata yang sejak tadi dibendungnya kini luruh tanpa diminta. “Enggak! Umi enggak pernah tahu! Umi lebih mementingkan perasaan dia daripada Binar.” Binar melangkah lebar-lebar, menaiki tangga dengan cepat menuju kamarnya seraya menahan isakan yang akan semakin menjadi jika dirinya tetap tinggal di dekat sang umi. *** Umi Maira membuka pintu kamar Binar dan menemukan putrinya masih lelap dalam mimpi, tak terusik oleh suara azan Subuh yang masih sayup-sayup terdengar. Dengan mukena yang sudah melekat di tubuh gempalnya, Umi Maira berjalan ke ranjang Binar. Dia kemudian duduk di sisi ranjang dan mengusap lembut rambut panjang sang putri. “Binar, bangun, Nak. Udah waktunya salat Subuh. Kita salat berjemaah, yuk, sama Kiran dan Aruna!” Binar mengubah posisi tidur menjadi menyamping dan menarik selimut hingga kepala. “Aku salat sendiri aja, Mi,” sahutnya lirih. “Jangan gitu, dong, Nak. Biasanya juga kita salat bareng. Kamu tahu, ‘kan, pahala orang yang salat berjemaah itu 27 derajat lebih besar daripada salat sendirian? Ayo, bangun. Ambil wudu sana.” “Binar lagi enggak mood untuk salat bareng sama kalian.” Umi Maira mengembuskan napas berat. Wajahnya yang dihiasi kerutan di beberapa titik terlihat sendu. “Ya, udah, kalau gitu. Yang penting jangan lupa salat, ya,” ujarnya lembut yang hanya dijawab gumaman oleh sang putri. Wanita setengah baya itu beranjak, meninggalkan sang putri yang masih bergelung dii bawah selimut. Beberapa saat setelah kepergian Umi Maira, Binar menyingkap selimut, kemudian mengubah posisinya menjadi duduk. Mata hitamnya menatap lekat pintu kamar yang sudah tertutup rapat. “Apa aku terlalu keras sama umi?” tanyanya pada diri sendiri. Nada bicara perempuan itu sarat akan penyesalan. Namun, beberapa detik kemudian, dia menggeleng kuat-kuat. “Enggak. Umi harus tahu sebesar apa kemarahanku,” pungkasnya kemudian beranjak ke kamar mandi untuk mengambil wudu. *** Binar berjalan cepat menuruni anak tangga. Sesekali, mata dengan pupil hitam legam itu melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiri. Perempuan itu terlihat cantik seperti biasanya. Tubuh lampainya terlihat pas mengenakan kemeja abu-abu lengan panjang dengan hiasan pita di bagian kerah yang dipadupadankan dengan celana panjang hitam. Rambut hitam nan panjangnya pun dikuncir kuda seperti biasa.  “Binar, sarapan dulu, yuk, Nak.” Perempuan berparas ayu itu menghentikan langkahnya yang sudah berada di anak tangga terakhir. Dia melirik ke arah ruang makan, menatap Umi Maira dan Kiran sejenak, kemudian melengos dan pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun, bahkan salam tak terucap dari bibirnya yang sudah terlihat segar dengan sentuhan lip gloss peach. Umi Maira hanya mengembuskan napas berat melihat kepergian putri keduanya itu. “Nenek, kenapa Tante Bina cembelut gitu? Tante Bina juga enggak nyapa Aluna. Tante Bina lagi malahan sama Nenek, ya?” tanya Aruna yang duduk di samping Wanita setengah baya itu melirik sekilas Kiran yang terlihat acuh tak acuh, kemudian kembali melayangkan pandangan ke arah cucunya. “Kamu tahu dari mana, Sayang?” “Kalau mama lagi malahan sama papa, pasti mama enggak mau ngomong sama papa.” Umi Maira menyunggingkan senyum tipis, lalu mengusap lembut puncak kepala cucu kesayangannya itu. “Memangnya, mama pernah marahan sama papa?” “Pelnah, Nek. Kemalin pagi, mama diemin papa telus.” Senyum yang tersungging di bibir Umi Maira perlahan memudar. Namun, sedikit kemudian, senyum tipis kembali terlukis di bibirnya, meski sedikit dipaksakan. “Kamu lanjutin makannya, ya. Nenek mau lanjutin buat adonan roti.” *** Binar berjalan cepat menuju garasi yang berada di samping kanan rumah. Tangannya merogoh tas, mencari-cari kunci mobil. Sesekali, netra dengan pupil hitam legam itu melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya. “Duh!” keluhnya ketika menyadari bahwa dia sudah terlambat. Perempuan itu akan masuk mobil. Namun, tidak jadi ketika melihat ban mobil bagian depan kempes. “Duh, pakai kempes lagi. Mana udah telat.” Dia pun akhirnya memutuskan untuk tetap mengendarai mobil. Namun, mobil itu akan ditaruhnya di tukang tambal ban yang ada di dekat rumah. Setelah itu, dia akan naik ojek daring untuk berangkat ke kantor. *** Binar mengalihkan pandangannya dari layar komputer ke arah Puput yang sudah beranjak dari kursi. Perempuan bertubuh bongsor itu membereskan barang-barangnya dengan gegas, seperti dikejar-kejar waktu. “Gue pulang duluan, ya. Mau bucinin Mas Hyun Bin, nih, hehehe,” ujarnya diakhiri dengan cengiran, kemudian pergi meninggalkan ruangan. Binar melirik jam tangannya sekilas. Pukul 17.20. Ternyata sudah waktunya pulang. Pantas saja semua rekan kerjanya sudah beranjak dari kubikel masing-masing. “Iya, Mbak. Hati-hati, ya. Jangan nonton sambil halu.” “Gue juga pulang duluan, ya. Pacar gue udah nungguin di depan. Bye.” Ayu pun beranjak meninggalkan Binar, Raymon, dan Nadia, menyusul Puput yang sudah pergi terlebih dahulu. “Aku juga, ya, Nar. Aku mau pergi ke rumah orang tuaku. Mereka ngajakin makan malem bareng. Duluan, ya.” Binar memang sudah tahu bahwa Nadia selama tiga tahun terakhir tidak tinggal di rumah orang tuanya karena jarak antara rumah dan kantor cukup jauh. Jadi, dia lebih memilih mengontrak. “Iya. Hati-hati, ya,” ucapnya sambil mengulum senyum. Nadia meninggalkan ruangan dengan langkah tergesa-gesa setelah merespons kalimat Binar dengan sebuah senyuman. Dengan perginya Nadia, hanya tersisa Binar dan Raymon di dalam ruangan Departemen Sumber Daya Manusia itu. Ralat, Baskara juga masih anteng di ruangannya. “Abang juga mau pulang?” tanya Binar ketika melihat Raymon beranjak dari kubikelnya yang berada diujung sendiri. Lelaki jangkung dengan kacamata berbingkai agak bulat itu mengangguk. “Aku ada urusan. Enggak pa-pa, ‘kan, kalau aku tinggal sendiri?” “Iya, enggak pa-pa, kok. Abang hati-hati, ya.” Setelah Raymon keluar, ruangan terasa sunyi sampai-sampai detak jam dinding pun terdengar cukup jelas. Beberapa ruangan lain sudah padam lampunya karena memang sudah waktunya pulang. Jika besok tidak ada wawancara untuk calon karyawan, mungkin Binar sudah pulang bersama rekan-rekannya yang lain. Sayangnya, dia harus mempersiapkan wawancara besok, seorang diri. Binar memanjangkan leher jenjangnya, mengintip Baskara dari balik dinding kubikel. Lelaki itu terlihat serius menatap layar komputer. Entah apa yang tengah dia lihat. Embusan napas penuh kelegaan keluar dari mulut Binar. Dia merasa lega, setidaknya tidak terlalu kesepian karena Baskara masih berada di ruangannya. Perempuan berusia seperempat abad itu pun mengalihkan pandangan ke arah komputer, kembali berkutat dengan pekerjaan dan bergegas menyelesaikannya. *** Setelah menyelesaikan pekerjaan dan salat Magrib di musala kantor, Binar pun memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Ketika meninggalkan ruangan, dia tidak melihat Baskara di ruangannya. Binar sempat berpikir jika lelaki itu sudah pulang saat dirinya pergi ke musala, tetapi melihat lampu ruangan Baskara yang masih terang benderang, dia menyimpulkan jika manajernya itu belum pulang. Mungkin, masih melaksanakan salat Magrib. Saat ini, Binar sedang berdiri di depan lobi seraya memainkan ponsel pintarnya. Dia membuka aplikasi ojek daring, berniat memesan. Namun, panggilan dari pemilik tambal ban mengurungkan niatnya. “As-salamu’alaikum, Mas.” “....” “Oh, iya, sebentar lagi saya ambil ke sana, ya.” “....” “Iya. Terima kasih, Mas. Was-salamu’alaikum.” Binar mematikan sambungan telepon, kemudian kembali membuka aplikasi ojek daring. Namun, klakson mobil menginterupsi kegiatannya. Dia mengangkat kepala dan mendapati sebuah mobil berhenti di depannya. Dia sedikit menunduk dan menelengkan kepala untuk melihat pengemudi mobil Toyota Rush hitam yang berhenti di depannya itu. Namun, si pengemudi belum juga menurunkan kaca mobil Seketika, pupil hitamnya membesar saat kaca mobil diturunkan. Dia melihat Baskara Arya Dana, sang manajer, duduk di balik kemudi. Laki-laki itu menoleh ke arahnya dengan wajah tanpa ekspresi.  “Masuk!” [1] Pembalap liar [2] Pilihan/berpihak
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN