Menikah?
o0o
Menikah? Suatu hal yang semua orang inginkan termasuk juga lelaki yang terlahir tiga puluh tahun yang silam dan diberi nama Wahyu Saputro oleh kedua orang tuanya. Sebagai lelaki yang berpendidikan, Wahyu terbilang memiliki pencapaian yang tidak tanggung-tanggung. Selain berhasil menduduki jabatan sebagai tangan kanan seorang bos besar, Wahyu juga ikut andil dalam mengembangkan usaha ayahnya yang memiliki beberapa toko bangunan dan tiga cabang laundry yang baru setahunan ini dirintisnya. Sudah memiliki pekerjaan yang mapan, kehidupan yang bergelimangan materi, tapi hati angker bak rumah kosong yang sudah lama tak berpenghuni. Lelaki yang identik dengan brewok tipis di wajahnya tersebut serasa bosan dengan rutinitasnya sehari-hari yang hanya itu-itu saja tanpa ada variasi.
Tiga kali berpacaran tapi semuanya kandas membuat Wahyu serasa enggan untuk mencari pacar lagi. Terakhir dia menjalin hubungan dengan sekretaris bosnya yang bernama Tiya Areyla, tapi jalinan itu pun terkoyak sebelum tiba di mana keduanya mengucap janji suci di hadapan Tuhan. Serasa masa bodoh karena terus-terusan gagal sebelum hubungan mencapai kata sah, membuat Wahyu tak ingin terlalu pusing memikirkan tentang asmara dan memilih untuk fokus dalam mencari cuan. Setidaknya dengan memapankan perekonimiannya, tak menjadikan hidup Wahyu yang tanpa asmara semakin nelangsa. Ada penghiburan dari hatinya yang hampa dengan harta dan kemapanan yang ia miliki.
"Bapak ada urusan apa menghubungi bagian kepegawaian?" tanya Wahyu kepada Bapak Alex.
"Aku mau cari asissten baru, Yu," jawab Pak Alex dengan entengnya seraya memilin-milin kumis tebalnya.
"Apa?" Kedua manik cokelat Wahyu membola. Keningnya mengernyit dengan alis tebalnya yang nyaris bertautan. "Bapak mau mecat saya?" tanya Wahyu, shock. Jantungnya bertabuh dengan kencang. Dag-dug-dag-dug sudah macam tembok yang digempur pakai godam yang besar,
"Saya salah apa memangnya, Pak? Semua tugas Bapak sudah saya kerjakan termasuk mengirim jatah bulanan ketiga istri, Bapak," cerocos Wahyu yang sudah panik duluan sebelum mendengarkan penjelasan dari bos besarnya.
"Hahahaha ... muka kau memerah macam kepiting rebus saja," ledek Pak Alex.
"Mulai hari ini rutinitasmu aku kurangi karena kau butuh memiliki pendamping, Yu. Aku khawatir karena kau masih sendiri saja di usiamu yang sudah lanjut," ucap Pak Alex masih dengan gayanya yang santai tanpa nylekit.
Sialan! Kalau aku usia lanjut terus dia apa? Pekik Wahyu dalam batin.
"Aku khawatir kau akan selamanya menjadi perjaka jomblo seumur hidup sedangkan aku saja sudah memiliki tiga istri sekaligus, hahahaha .... " kelakar Pak ALex, bos Wahyu kepadanya sore kemarin.
Entahlah! Wahyu bingung mengekspresikan perasaannya ketika mendengar keringanan pekerjaan yang bosnya berikan. Pasalnya terdapat sebuah bullyan yang terkandung di dalamnya dan membuat beban mental Wahyu menjadi berat meski hanya sebuah candaan. Namun, Wahyu bersyukur karena memiliki bos yang super perhatian seperti Pak Alex meski kadang gemar sekali mencela dirinya.
"Ya ampun! Aku lupa belum absesn hari ini," decit Wahyu ketika ia tersadar akan kebodohannya yang masuk ke kantor tanpa absensi terlebih dulu. Bisa-bisa dia dianggap bolos hari ini kalau tidak ada klarifikasi. Untung saja dia tangan kanan pemimpin perusahaan ini yang tentunya memiliki keistimewaan tersendiri dari karyawan biasa yang lainnya.
"Itu tandanya Mas Wahyu harus segera menikah, hahahaha .... " ledek Tiya si mantan pacar dengan suara yang kencang.
Menikah, menikah dan menikah! Wahyu rasanya muak mendengar kata-kata tersebut.
"Wahyu makan dulu!" perintah Ibu Ningsih, Ibu kandung Wahyu ketika dirinya menjejakkan langkah masuk ke dalam ruang makan selepas ia mandi dan berganti baju setelah pulang bekerja.
Wahyu duduk di samping adiknya, Setyo dengan wajah yang masam. Muka manisnya ditekuk-tekuk sejak tadi. Pikiran tentang menikah masih menyita sembilan puluh sembilan isi otaknya membuat nafsu makannya menjadi berkurang.
"Kenapa kamu?" tanya Bapak Agus, bapak kandung Wahyu seraya menatap wajah Wahyu.
"Huft!" Wahyu menghela napas berat. "Nggak apa kok, Pak," jawabnya malas-malasan.
"Sedih karena jomblo kali, Pak. Hahahaha .... " sambar Setyo. Dia pun sama saja dengan yang lainnya yang gemar sekali mengolok-olok Wahyu perihal jodoh yang entah kapan akan datang kepadanya. Iya, mentang-mentang adiknya itu sudah punya pacar ketimbang dirinya yang selalu gagal bercinta.
"Sialan! Diam nggak lu!" sentak Wahyu. Napsu makannya semakin menghilang saja. Tidak di kantor, tidak di rumah, semua mencela perihal status yang masih single belum jadi ganda campuran.
Wahyu mengurungkan niatnya untuk membalik piring putih yang ada di hadapannya. Ia mendorong kursi yang ia duduki ke belakang hingga terdengar decitan akibat suara gesekan kayu dan alas rumah. Wahyu berdiri.
"Aku nggak makan ya, Bu," ucap Wahyu lalu nyelonong masuk kembali ke dalam kamarnya.
"Lhoh kok?!" Ibu Ningsih keheranan kenapa anak ini mendadak menjadi uring-uringan tak biasanya.
"Abang kenapa si, Bu? Tumben-tumbenan marah diajak bercanda," sambung Setyo yang juga sama herannya dengan Ibu Ningsih.
"Mungkin abang kamu lagi capek, Set," jawab Ibu Ningsih berusaha untuk berpositif thinking.
Mood Wahyu semakin hancur saja ketika ia melihat sebuah undangan yang tergeletak di atas naki meja. Sepertinya undangan ini sudah sejak tadi berada di sini, tapi Wahyu yang baru menyadarinya.
"Ibu pasti yang geletakin di sini," gumam Wahyu seraya mengambil benda berbentuk persegi panjang berukuran kurang lebih dua puluh kali lima belas centimeter tersebut. Undangan berwarna merah maroon dengan hardcover dan berpita di luarnya.
"Siapa sie yang nikah?" Wahyu penasaran dan segera menarik pita itu dengan terburu-buru.
"Desi Rahmawati dan Ahmad Fauzi." Wahyu membaca nama yang terjiplak paling besar di antara tulisan yang lainnya.
Bagaimana mood Wahyu tidak semakin hancur? Pasalnya dua nama tersebut adalah orang-orang yang telah menggoreskan luka paling dalam di hatinya. Desi adalah mantan kekasih Wahyu dan Ahmad Fauzi adalah selingkuhannya.
Darah Wahyu rasanya mendidih, bukan karena ia cemburu karena masih memendam rasa kepada Desi. Namun, satu hal yang membuatnya bersedih kenapa orang-orang yang dzalim seperti mereka justru diberi kebahagiaan perihal cinta sedangkan dia tidak?
"Sengaja mereka ngirim undangan ini buat aku karena pingin ngehina aku," geram Wahyu yang dengan segera memasukkan undangan tersebut ke dalam tong sampah.
"Aku nggak akan datang," tekadnya.
"Yu, kamu kenapa sie?" Ibu Ningsih membawakan sepiring nasi dan lauk pauk untuk anak pertamanya tersebut. Beliau khawatir kalau Wahyu akan sakit apabila tak makan malam.
"Ibu masuk kok nggak ketuk pintu dulu?" tegur Wahyu. Suasana hatinya benar-benar kacau balau hari ini.
"Maaf! Habisan nutupnya juga nggak rapat. Ini kamu makan dulu, ya!" perintah Ibu Ningsih seraya menyodorkan piring yang beliau bawa.
"Bu, siapa yang ngirim undangan tadi ke sini?" tanya Wahyu tak menggubris perintah ibunya untuk makan terlebih dulu.
"Wanita bernama Desi katanya," jawab Ibu Ningsih.
"Di mana dia bisa tahu alamat rumahku?" geram Wahyu.
"Memang kenapa, Nak?" tanya Ibu Ningsih penasaran.
"Dia itu mantan aku, Bu," jawab Wahyu jujur. Lelaki itu mengambil piring yang sejak tadi terulur kepadanya.
"Mantan pacar? Kenapa putus?" Ibu Ningsih sejatinya tidak pernah terlalu ingin tahu perihal urusan pribadi anaknya, tapi melihat Wahyu sesedih ini beliau menjadi penasaran.
"Makasih ya, Bu. Udah bawain makanan," ucap Wahyu lalu duduk di atas ranjang.
"Mereka itu pasangan selingkuh, Bu. Desi masih jadi cewek aku waktu pacaran sama si Ahmad," cerita Wahyu.
"Astagfirullah!" Ibu Ningsih mengelus dadanya. Baru tahu beliau kalau Wahyu memendam masalah pribadi yang menyakitkan seperti ini.
"Terus kamunya sedih? Masih sakit hati gitu?" Ibu Ningsih mendekat kepada Wahyu dan mengelus punggung anaknya dengan lembut.
"Jangan marah! Jangan sakit hati! Itu pertanda Allah sudah menunjukkan bahwa dia bukan wanita yang baik buat kamu, Yu. Bayangkan jika perselingkuhan itu terjadi setelah kalian menikah! Apa kamu nggak semakin hancur? Jadi bersyukur! Insha Allah akan ada pengganti yang lebih baik." Ibu Ningsih menasehati anaknya dan berusaha untuk memotivasi agar Wahyu tak patah arang.
"Aku pingin nikah juga, Bu ... tapi-"
"Jodoh itu memang dari Allah, tapi jodoh itu wajib diusahakan dan diupayakan, Yu. Terus berikhtiar! Menikah itu bukan ajang perlombaan, tapi menikah karena sudah siap untuk menjadi imam yang baik bukan karena diburu waktu. Ibu terus doain kamu, Yu. Cari wanita baik yang nerima kamu apa adanya dan sederhana juga baik hatinya."