Pertarungan di bawah atap yang sama
“Yuna! Kau serius mengunci pintu lagi? Apa kau pikir aku akan diam dan membiarkanmu seenaknya?” Reyhan membentak dari ruang tamu, suaranya tajam, penuh kemarahan yang sudah menumpuk.
Yuna menatap pegangan pintu yang terkunci, jari-jarinya mengepal, d**a berdebar kencang. Hatinya campur aduk antara marah, takut, dan frustrasi. Ia tahu Reyhan bisa sangat manipulatif—selalu tahu tombol mana yang harus ditekan agar Yuna merasa bersalah, agar ia merasa lemah. Tapi malam ini, Yuna menolak menyerah.
“Aku cuma… butuh sendirian!” suaranya gemetar tapi penuh defensif. Ia menahan air mata yang ingin tumpah. Menangis di depan Reyhan hanyalah bukti kelemahan, dan Yuna terlalu lelah untuk membiarkan pria itu melihat sisi rapuhnya.
Reyhan mendengus, wajahnya memerah. “Sendirian? Kau hanya ingin menghindar dari tanggung jawabmu! Kau selalu begitu, Yuna. Egois!”
Yuna menahan napas, menundukkan kepala. Semua kata-kata Reyhan menusuk, tapi kemarahannya sendiri menyala—marah bercampur frustrasi karena merasa diperlakukan tidak adil, dikekang, dan dikontrol. Ia menatap mata Reyhan, dan nada bicaranya berubah menjadi lebih tajam.
“Reyhan, aku capek! Aku capek berpura-pura buta terhadap semua yang kau lakukan di luar. Kau menyewa wanita, kau bermain-main di belakangku, dan kau pikir itu bisa ditutup dengan kata-kata manis dan nafkah yang kau beri?” Yuna menjerit, tubuhnya gemetar.
Reyhan menatapnya dengan mata membara, suaranya naik setengah nada. “Apa maksudmu, Yuna? Kau menuduhku tanpa bukti! Kau tidak tahu apa yang aku lakukan untukmu! Rumah ini, nafkahmu, semuanya aku yang tanggung!”
“Pengorbananmu? Jangan coba paksakan aku merasa berterima kasih atas pengkhianatanmu!” Yuna membalas, amarahnya meledak.
Reyhan melangkah maju, tangan terkepal, wajah memerah. “Kau tidak menghargai aku! Aku bekerja keras agar kau bisa hidup nyaman, dan kau hanya bisa mengungkit-ungkit keburukanku!”
Yuna merasa kepalanya berdenyut. Setiap kata Reyhan memicu ledakan di dadanya. Ia lelah. Lelah dengan pertengkaran berulang, dengan ego yang saling menabrak, dengan manipulasi yang membuatnya merasa kecil. Ia tidak ingin menangis, tapi ia juga tidak sanggup lagi mendengar semua pembenaran itu.
Tanpa pikir panjang, Yuna berbalik, menatap kamar mereka, dan berkata tegas: “Aku masuk kamar dulu!”
Langkahnya cepat, tubuhnya masih bergetar karena kemarahan. Ia menutup pintu kamar dan memutar kunci. Dari balik pintu, terdengar teriakan Reyhan yang semakin panas:
“Yuna! Buka pintu itu sekarang! Kau tidak bisa begitu saja mengunci diri! Kau tidak berhak!”
Yuna duduk di tepi ranjang, memeluk lutut, menahan napas yang tercekat. Emosi bercampur: amarah, frustrasi, kesal, dan sedikit rasa bersalah karena ia masih ingin diakui Reyhan. Ego dan harga diri saling bertarung di dadanya.
Reyhan masih berteriak, setiap kata menusuk: “Kau tidak tahu apa yang aku lakukan untukmu! Kau tidak hargai rumah ini, nafkah ini, semua pengorbananku! Kau cuma bisa menyalahkan aku!”
Yuna menutup telinga sebentar, tapi kata-kata itu masih menembus. Ia menegaskan tekadnya, walau masih emosional dan desperate: aku harus keluar dari sini. Aku harus hidup untuk diriku sendiri. Aku harus mandiri. Aku tidak bisa terus-menerus hidup di bawah Reyhan dan egonya yang menyesakkan.
Tekad itu muncul bukan dari kebijaksanaan atau ketenangan, tapi dari keputusasaan dan ego yang terdesak. Malam itu, di balik pintu kamar yang terkunci, Yuna merasakan kebebasan kecil—kebebasan dari tekanan Reyhan, walau hanya sesaat.
Ia berdiri, berjalan ke jendela, menatap langit malam yang gelap. Hatinya campur aduk: takut, marah, kecewa, dan frustrasi. Tapi di tengah semua itu, muncul percikan tekad: ia harus mulai langkah pertama—mencari pekerjaan, membangun diri, membebaskan dirinya dari ego dan cengkeraman Reyhan.
Yuna duduk kembali di ranjang, membuka laptop dan menulis daftar pekerjaan yang bisa ia lamar. Setiap kata yang diketik membuat hatinya sedikit lebih ringan, meski rasa takut masih bergelayut. Ia tahu ini baru langkah awal. Jalan ke depan akan sulit, Reyhan masih manipulatif, tapi setidaknya kini Yuna mulai menapaki jalannya sendiri.
Tiba-tiba, suara notifikasi dari laptopnya berbunyi—nyaring, jelas. Yuna menatap layar dengan mata membesar. Hatinya melonjak, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia membuka email itu, dan senyum tipis terbentuk di bibirnya.
“Selamat, Yuna. Kami mengundang Anda untuk panggilan kerja besok…”
Napasnya tertahan sejenak. Setelah malam penuh pertarungan, ego yang memuncak, dan rasa tercekik oleh Reyhan, Yuna merasakan sesuatu yang baru: ada secercah harapan. Malam itu, di balik pintu kamar yang terkunci, ia tersenyum.
Ini bukan akhir dari semua masalahnya. Tapi ini adalah awal—awal dari sebuah perjalanan yang bisa membawanya ke kehidupan yang benar-benar miliknya sendiri.