Past

1110 Kata
Naila masih memikirkan perkataan Benny yang akan tetap berjuang di hadapan orang tua juga keluarga besarnya, meskipun Naila sudah menolak Benny tidak akan menyerah dengan apa yang menjadi keputusan Naila karena bagi Benny adalah memperjuangkan masa depannya dengan orang yang dicintai. “Melamun aja,” ucap Vivian mengagetkan Naila “pasti masalah atlet kebanggaan negeri ini,” yang mendapat gelengan kepala dari Naila membuat Vivian mengernyitkan dahi “Benny.” Naila mengangguk “gak tahu harus bicara apa sama dia sampai harus mempertahankan depan orang tuanya dan aku gak mau dia bertengkar dengan orang tuanya.” “Wima pasti akan melakukan hal yang sama karena pernikahan yang menjalani kita bukan orang tua,” ucap Vivian “aku tidak menyalahkan Benny yang memperjuangkan kalian dan tidak menyalahkan kamu yang memilih untuk mundur.” “Hubungan tanpa restu orang tua itu gak enak loh,” ucap Naila yang diangguki Vivian “aku hanya gak mau Benny bertengkar karena mempertahankan aku.” “Nay, apa kamu mencintai Benny?,” Vivian menggenggam tanganku namun aku hanya diam “berjuanglah bersama itu saranku.” Naila jelas masih memiliki rasa dengan Benny jika tidak mereka tidak akan berciuman seperti seorang pasangan, tanpa sepengetahuan orang banyak mengenai hubungan mereka dan sifat menyerah Naila di mana mereka berdua masih bersikap layaknya pasangan seperti bergandengan, saling perhatian bahkan berciuman sekali pun seperti yang tadi mereka lakukan. “Lalu si atlet bagaimana?,” tanya Vivian dengan tatapan menggoda Naila. “Semua udah aku serahkan ke pelatihnya dan beberapa hari dikabari mengenai keputusannya,” jawab Naila “gak ada tugas kah untukku?.” Vivian mencibir “banyak yang harus kamu kerjakan jangan lupakan itu dan aku minta menu untuk anak penderita keterlambatan motorik.” “Kalau tidak ada riwayat sakit yang berbahaya tidak masalah makan apa karena di usia dini anak membutuhkan asupan gizi yang banyak,” Vivian mengangguk “kirim aku bukti riwayat kesehatan sang anak.” “Kamu memang yang terbaik,” ucap Vivian sambil memberikan jempolnya membuat Naila tersenyum. Naila memutuskan untuk berada di cafe sisa hari ini, menghabiskan waktu di cafe sangat menyenangkan karena Naila bisa berekspresi dalam membuat makanan yang telah dia lihat cara pembuatannya dan disesuaikan dengan takaran untuk kesehatan seseorang. Naila menatap saudaranya Gendis yang tampak serius dengan Yudo, Naila tahu apa yang mereka lakukan yaitu menghitung keuangan cafe. Yudo yang membuat tempat usaha sendiri bersama sahabatnya menjadi orang yang bertanggung jawab mengenai keuangan di cafe ini, dulu Yudo melakukannya untuk mengasah ilmu tapi sekarang cafe memberikan pembayaran atas apa yang sudah Yudo lakukan dengan nilai yang sesuai dengan kinerjanya. Naila memutuskan mengganti pakaian agar bisa lebih nyaman ketika berada di dapur ketika membuat menu, chef yang melihat kedatangan Naila langsung menyiapkan tempat agar Naila bisa menghabiskan waktunya. “Apa yang dibutuhkan?,” tanya seorang pelayan. Naila memberikan daftar apa saja yang dibutuhkan dan dengan segera pelayan menyiapkan serta meletakkan di dekat tempat Naila akan memasaknya, setelah memastikan semuanya siap Naila mulai untuk membuat perlahan sesuai dengan resep yang ada. Ketika makanan yang dibuat jadi Naila akan meminta pendapat chef dan staf dapur sebagai orang pertama yang merasakan setelahnya meminta pelayan membawa keluar untuk diberikan pada Yudo dan Gendis. “Menu baru lagi?,” tanya Gendis ketika Naila ikut bergabung. Naila mengangguk “ini untuk anak – anak yang memiliki kebutuhan khusus tapi rasanya hambar karena memang di khususkan untuk mereka.” “Sekali – sekali buatlah makanan yang tidak sehat karena lama kelamaan bosan juga makan yang begini,” keluh Yudo “kamu tahu sendiri mbak bagaimana sehatnya menu makanan di rumah sampai aku bosan.” Gendis menggelengkan kepala mendengar keluhan Yudo “setidaknya bagus ada yang memperhatikan kesehatan di dalam rumah.” Yudo mencibir perkataan Gendis “syukur.” Mereka berdua tertawa mendengar perkataan Yudo, Naila mengakui semenjak dirinya kuliah semua makanan yang di konsumsi adalah makanan sehat bahkan Naila untuk makan yang tidak sehat sudah sangat jarang. Kedua orang tua Naila mendukung apa yang dilakukan Naila dan berbeda dengan sang kakak yang masih menyukai sehingga sering membeli makanan tidak sehat meski dimarahi oleh sang ibu yaitu Indira. “Bagaimana perkembangan atlet?,” tanya Gendis menatap Naila. “Besok bertemu dengan tim kesehatannya sambil membawa beberapa masakan yang sesuai dengan kebutuhan mereka,” jawab Naila “kalian sudah pernah bertemu Rafa sebelumnya?,” Naila menatap kedua kakaknya bergantian. “Atlet bulu tangkis yang mengharumkan nama bangsa siapa yang tidak kenal, memang kenapa?,” Gendis menatap Naila dengan tanda tanya “perlakuannya sok dan kurang menyenangkan?.” Naila menggelengkan kepala “hanya saja kita seperti sudah mengenal cukup lama dan itu tidak hanya Rafa dan juga sahabat perempuannya.” Naila tidak menyadari jika Yudo dan Gendis saling memandang setelah mendengar perkataan Naila tentang Rafa, mereka berdua ingin menceritakan pada Naila tapi rasanya itu sangat tidak mungkin karena mereka akan membiarkan yang bersangkutan menceritakan pada Naila sendiri bukan dari mereka. “Nay, kalau seumpama Rafa menyukai kamu bagaimana?,” pertanyaan Gendis membuat Yudo menatapnya tajam tapi Gendis seolah tidak peduli dengan tatapan Yudo. Naila tertawa mendengar perkataan Gendis “kalau mimpi gak usah tinggi deh lagian mana mungkin seorang atlet terkenal menyukai aku seorang gadis yang memiliki sakit seperti ini,” Naila masih menggelengkan kepala mendengar pertanyaan tersebut “apa mbak suka sama dia?.” Gendis melotot mendengarnya “kalau mbak suka sama dia bisa – bisa digorok sama Yusuf nanti,” sambil bergidik ngeri. “Nay, masakan ini sudah enak tapi sepertinya perlu kamu tambah penyedap sedikit agar lebih berasa,” ucap Yudo melerai pertengkaran tidak penting saudaranya dan juga agar Naila menghilangkan pemikiran mengenai Rafa “penyedap bukan MSG loh ya walaupun sesekali boleh ada di menu kita.” Mereka bertiga akhirnya melanjutkan pembicaraan dan Naila ikut terlibat di dalam pembicaraan mengenai keuangan dari cafe ini karena bagaimana pun Naila sedikitnya harus tahu mengenai kondisi keuangan mereka. Dari kesimpulan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar bisa meningkatkan pemasukan di cafe ini yang nantinya akan Gendis lakukan bersama tim termasuk Naila, berdasarkan keputusan sementara adalah mereka akan membuat promo dengan menggunakan aplikasi online dan juga kekuatan dari media sosial yang mereka gunakan. “Semoga memberikan hasil yang memuaskan,” ucap Yudo yang diangguki kedua perempuan di depannya “mbak nunggu Mas Yusuf?,” Gendis mengangguk “kita pulang bareng, Nay.” Naila beranjak dari hadapan mereka mengambil barang bawaannya yang tadi diletakkan di ruangan dan langsung keluar setelah berganti pakaian dan mendatangi Yudo serta Gendis yang masih terlihat asyik berbicara. Menyadari kehadiranku Yudo langsung berpamitan pada Gendis dan aku mencium pipi Gendis sekilas sebelum mengikuti langkah Yudo. “Bagaimana hubunganmu bersama Benny?,” pertanyaan Yudo tiba – tiba membuat Naila menatap bingung “jika dia menyakitimu jangan sungkan bicara dengan kakak.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN