Berjuang

1105 Kata
Perkataan Corry masih menjadi pikiran Naila mengenai latar belakang dirinya dan juga Rafa, rasanya Naila ingin bertanya pada kedua orang tuanya tapi tidak ingin membuat mereka berdua semakin memikirkan keadaan dirinya yang sudah membaik ini. Bahkan sang mama seakan mendapatkan bonus tambahan usia dan Naila tidak mungkin merusak semuanya hanya karena keegoisan dirinya. “Naila dipanggil dari tadi malah melamun,” tegur Yudo membuat Naila menatap ke arahnya “kata Zahra kemarin atlet itu ke cafe?.” Naila mengangguk “istri mas tu sama kaya mama lihat yang ok langsung melupakan semuanya,” adu Naila malah membuat Yudo tertawa. “Biarin yang penting cintanya hanya untukku,” ucap Yudo sambil tersenyum bangga membuat Naila mencibir karena semakin ke sini sang kakak tidak jauh beda dengan sang ayah. “Mama juga gitu?,” Naila menatap Fajar yang wajahnya sudah bersiap untuk drama dengan segera Naila menggelengkan kepala “ya padahal papa ingin mama gitu juga,” Naila hanya membuka mulut mendengar perkataan Fajar. Tidak lama Indira dan Zahra memanggil karena masakan sudah siap dan waktunya untuk makan malam, Naila menatap bagaimana kedua wanita ini melayani orang tercintanya dan apa Naila juga akan melakukan itu jika waktunya sudah datang. Selama ini sikap Naila pada Benny tidak jauh berbeda dengan mereka berdua hanya saja belum ada ikatan resmi di mata agama dan negara. Kedua orang tua Naila tidak memaksa untuk segera menikah karena bagi kedua orang tuanya Naila masih kecil dan belum layak untuk menikah, ketika memutuskan untuk berpisah dengan Benny kedua orang tua Naila bersikap biasa saja. Hal ini bukan karena tidak menyukai Benny hanya saja mereka belum siap kehilangan Naila dalam waktu dekat, selain Naila masih kecil alasan lain adalah Fajar belum rela kehilangan Naila meskipun menikah sekali pun. “Kak, masih ingat Wahyu?,” tanya Indira ketika mereka berada di ruang keluarga sambil menonton televisi membuat Fajar menatap Indira “tadi ketemu sama dia masih tetap sama dan lebih dewasa sudah lama ya kita gak ketemu teman kuliah.” “Mau reuni ceritanya?,” tanya Fajar yang hanya dijawab gelengan kepala “lagian itu sudah lama banget dan para dosen juga sudah pada gak ada sekarang..” “Diganti sama teman – temanku,” putus Indira menghembuskan nafas panjang “Nay, gimana sama Rafa?,” Indira mengalihkan pembicaraan menatap Naila “Zahra ampe terpesona sama Rafa kemarin di cafe dan gitu kalian gak ada yang hubungi mama nyuruh ke cafe.” Fajar menatap Indira tajam “untuk apa?,” Indira tersenyum “sekali – sekali lihat orang cakep lagian bosen masa lihat kakak sama Yudo mulu,” menatap Fajar dengan menggodanya. “Mending Naila ke kamar dari pada melihat drama lain,” putus Naila sambil berdiri hendak meninggalkan ruang keluarga menuju kamar. Naila selalu merasa tersisihkan bila keempat orang kesayangannya menunjukkan bagaimana mereka saling menyayangi dan Naila tahu diri untuk tidak mengganggu apa yang mereka lakukan jika sudah begitu. Berada di kamar merupakan pilihan yang terbaik karena bisa melakukan apa yang disukai tanpa diganggu orang lain, Naila memilih mengerjakan tugas yang diminta rumah sakit tadi. Menjadi seorang ahli gizi tidaklah mudah karena harus menyesuaikan dengan kebutuhan dari pasien atau orang yang bersangkutan, Naila awalnya mengira jurusan ini mudah tapi nyatanya ketika sudah terjun tidak semudah apa yang dibayangkan. Banyak hal yang menjadi pertimbangan belum lagi jika makanan itu tidak cocok bagi orang tersebut, misal mengalami alergi yang orang tersebut tidak tahu dirinya mengidap alergi pada hal tertentu. Naila terkejut dengan kehadiran Benny pagi ini di rumahnya pasalnya mereka berdua tidak berjanji apa pun saat ini untuk bertemu, Naila seakan paham pasti ada yang ingin langsung dibicarakan karena tidak bisa mengatakannya lewat pesan atau telepon. Setelah sarapan Naila memutuskan untuk berangkat bersama Benny agar lebih hemat dan bisa berbicara selama di perjalanan. “Pasti sesuatu yang penting,” tembak Naila langsung membuat Benny tersenyum. “Kamu sangat mengenal diriku bahkan tanpa perlu aku bicara,” ucapan Benny membuat Naila hanya menggeleng pasrah. Benny tidak membuka pembicaraan selama perjalanan dan sukses membuat Naila sedikit emosi, meskipun emosi Naila tidak mengatakan pada Benny karena dalam benaknya adalah Benny sedang memikirkan banyak hal. Naila sangat mengetahui bagaimana Benny sebenarnya karena memang sudah bersama sejak sangat lama. “Pernikahan Vivian sudah sampai mana?,” Naila menatap Benny bingung pasalnya mereka berdua sedikit terlibat di dalamnya “apa kamu akan datang?.” “Jelas sahabat aku menikah lagian kenapa hal begini malah ditanyakan?,” Naila menatap Benny bingung. Benny menggelengkan kepala “sepertinya aku gak akan datang karena...” Benny tampak berpikir untuk berbicara lebih jauh “orang tua aku mengenalkan pada wanita yang merupakan anak temannya,” Naila mengangguk mencoba bersikap biasa “Nay, aku ingin mempertahankan hubungan kita dan akan mencoba berbicara dengan orang tuaku bagaimana kamu bisa membawa hal positif padaku.” “Benny lakukan apa yang diingin orang tuamu jangan bersikap seperti ini,” ucap Naila memegang tangan Benny “sampai kapan pun kamu masih berada di tempat yang sangat istimewa di sudut hati paling dalam.” “Semua gak adil buat kita karena kita saling mencintai dan kamu malah menyerah ketika aku ingin berjuang,” ucap Benny frustasi “maukah berjuang bersama?,” membalas genggaman tangan Naila. Naila menghembuskan nafas panjang “aku hanya tidak mau kamu menjadi anak durhaka yang membantah perkataan orang tua.” Benny menarik Naila dan mencium bibirnya sangat lembut membuat Naila terkejut tapi detik berikutnya membalas ciuman Benny, seolah apa yang mereka lakukan untuk melampiaskan apa yang mereka rasakan beberapa hari ini. Dalam ciuman tersebut dapat dirasakan bagaimana mereka saling tersiksa atas apa yang terjadi dan rasa frustasi mereka berdua dengan keadaan selama ini. “Aku masih mencintaimu,” ucap Benny setelah melepaskan ciuman mereka dan menatap Naila lembut “izinkan aku berjuang untuk kita,” lanjut Benny membelai pipi Naila. “Aku hanya tidak mau membuat kedua orang tua kamu sakit,” ucap Naila masih mencoba memberi pengertian. “Kita yang sakit bukan mereka jika terus begini,” ucap Benny frustasi “tidak dapatkah kamu merasakan dari ciuman tadi? bahkan aku bisa merasakan apa yang kamu rasakan.” Naila menunduk mendengar perkataan Benny dan tidak berani membantah karena dari hati paling dalam apa yang dikatakan Benny benar adanya karena Naila masih menyimpan perasaan ini hanya saja Naila tidak ingin Benny membantah orang tuanya. Naila hanya diam ketika Benny masih menatap meminta jawaban dengan menunggu kata – kata yang keluar dari bibirnya. “Apa yang akan dibicarakan lagi dan semua sudah jelas bahkan kedua orang tua kamu sudah mempunyai calon untukmu, mau berjuang sampai batas mana?,” Naila menatap Benny dengan sedih. “Aku akan menolak dan berjuang untuk kita,” putus Benny dengan cepat “dengan atau tanpa persetujuanmu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN