Chapter 3 - Boleh Kenalan?

2049 Kata
Bagi seorang Caesar Maximilian yang posesif dan ringan tangan, dia memandang setiap pria yang berani mendekati kekasihnya sebagai ancaman. Dilihatnya jaket hijau army yang dipakai Amanda untuk melindungi tubuhnya dari hawa dingin yang menusuk dengan sinis. “Dasar cowok mata keranjang!” maki Caesar. “Bisa-bisanya kamu menggoda kekasihku, hah?!” Dia mendekati Matthew dengan murka. Kepalan tangan kanannya mendarat dengan kasar ke tulang pipi Matthew. Bogemannya nyaris saja membuat Matthew jatuh ke atas lantai. Amanda memegangi pundak Matthew. “Apa-apaan sih kamu?!” bentaknya pada Caesar. “Kamu berani memukul orang asing cuma karena dia mengajak aku ngobrol dan berbaik hati meminjamkan jaketnya padaku?! Kamu sudah tidak waras, ya?!” Tangan kanan Caesar kembali mengepal erat. Hidungnya kembang-kempis. Urat-urat di wajahnya timbul akibat amarahnya yang meninggi. Dua orang muda-mudi serta ibu-ibu yang jualan di kafetaria Green Hill Golf House pun sontak ikut melerai perkelahian itu. “Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut?” tanya sang ibu-ibu. “Pria mesuum ini coba menggoda kekasih saya,” jawab Caesar, playing victim. “Bukan! Kalian jangan salah sangka dulu!” sergah Amanda. “Aku cuma mengajaknya ngobrol dan meminjamkan jaketku karena bajunya basah kena air hujan,” timpal Matthew sambil memegangi tulang pipinya yang terasa perih. “Lalu pria ini tiba-tiba datang memarahiku dan memukul wajahku.” “Pergilah,” usir Amanda sinis. “Aku mau kita putus.” Karena malu dan merasa sudah kalah telak, dengan terpaksa Caesar angkat kaki dari kafetaria Green Hill Golf House. Dengan kesal dia jalan kembali menuju mobilnya. Ditinggalkannya arena golf tersebut. Tetapi bukan berarti hubungannya dengan Amanda kandas begitu saja. Ibu-ibu yang jualan di kafetaria itu lalu memberikan Matthew kain lap bersih dan sebaskom air yang diisi dengan es batu. Dibasahinya kain tersebut dengan air es. Dipakainya untuk mengompres luka bekas pukulan Caesar yang mulai membiru. “Pria yang tadi itu cowokmu?” tanya Matthew penasaran. Amanda mengangguk, “Namanya Caesar Maximilian. Aku benar-benar minta maaf. Dia memang temperamental dan posesif.” “Aku yang harusnya minta maaf. Karena aku, hubungan asmara kalian kandas,” tutur Matthew. Dia tersenyum tipis, “Yeah, walaupun menurutku, harusnya kamu juga tidak pacaran sama pria yang temperamental dan posesif. Kalau sama orang lain saja dia berani berbuat kasar, apalagi …” “Caesar tidak akan mau melepasku,” potong Amanda. “Lihat saja, paling-paling tak lama setelah ini, dia mengajakku balikan. Itu sudah jadi cerita lama.” Matthew enggan membahas soal kehidupan asmara Amanda lagi. Dia tak mau ikut campur. Apalagi belum ada satu jam dia kenal dengan Amanda. “Terima kasih sudah bantu melerai tadi,” ucapnya. “Sama-sama.” Amanda melepas jaket hijau army itu lalu memberikannya kembali pada Matthew, “Ini jaketmu. Aku sudah tidak kedinginan.” Matthew menerima jaketnya dan tidak bicara lagi. Kira-kira lima belas menit kemudian, sopir yang menjemput Matthew akhirnya tiba di tempat parkiran mobil. “Baik, aku ke sana sekarang,” ucapnya pada sopirnya di telepon. Dia mematikan teleponnya dan lanjut bicara pada Amanda, “Eh, kamu masih mau menunggu di sini sampai hujannya reda?” “Sepertinya begitu,” jawab Amanda seraya memperhatikan langit kelabu yang masih turun hujan. “Sepertinya hujannya masih lama reda. Keberatan kalau kuantar pulang? Sopirku sudah sampai di sini, dia lagi menunggu di parkiran mobil. Aku bisa minta sopirku buat mengantarmu dulu.” Amanda menatap Matthew curiga. Dia tak pernah lupa pada pesan ibunya supaya tidak menerima ajakan pulang oleh orang yang tak dikenal. Dan Matthew paham bagaimana risaunya perasaan Amanda. Matthew tersenyum, “Tidak perlu khawatir. Aku tak akan berbuat macam-macam padamu. Aku bukan penculik apalagi penjual organ manusia.” Amanda tak menjawab. Matthew menghela nafas panjang. Dia tak mau memaksa Amanda kalau memang Amanda tak mau. “Baiklah,” ujarnya. “Sampai jumpa nanti. Senang bisa bertemu denganmu, Amanda.” Tetapi baru beberapa langkah Matthew berjalan menuju pintu keluar kafetaria, tiba-tiba saja Amanda memanggilnya kembali, “Tunggu.” Matthew menoleh. Amanda menggendong handbag-nya dan jalan cepat menghampiri Matthew, “Okelah, aku ikut. Tapi tolong turunkan aku di stasiun bus terdekat saja. Habis itu biar aku lanjut pulang naik bus.” “Baik,” sahut Matthew dengan senyumnya yang manis. Matthew menggunakan jaketnya untuk menutupi kepalanya dan kepala Amanda. Karena tubuhnya yang tinggi menjulang, dia bisa jadi ‘payung’ buat Amanda agar Amanda tidak kehujanan. Keduanya jalan tergopoh-gopoh menuju mobil audi hitam yang sudah menunggu di tempat parkir. Matthew membukakan pintu mobilnya untuk Amanda. Dia dan Amanda duduk samping-sampingan di kursi bagian belakang. “Selamat sore, Tuan …,” sapa sopir pribadi Matthew. “… Nona,” imbuhnya sembari menatapi Amanda melalui kaca spion tengah mobil dengan bingung. “Sore,” sahut Amanda acuh tak acuh. “Antar kami ke stasiun bus terdekat dulu,” pinta Matthew pada sopir pribadinya. “Ini Amanda. Dia temanku. Karena hujan, makanya aku ajak dia supaya sekalian nebeng saja.” Apa katanya? Teman? Sopir pribadi Matthew mengangguk, “Baik, Tuan.” Stasiun bus terdekat letaknya masih kurang lebih tiga kilometer dari arena golf. Dan selama itu pula, Matthew dan Amanda tak saling bicara. Amanda asik menatapi jalanan melalui kaca jendela mobil Matthew yang berembun. Sementara Matthew, dia menautkan dan menggerakkan jari-jarinya dengan gelisah. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Ada banyak hal yang mau dia tanyakan pada Amanda. Dia mau mengenal Amanda lebih jauh.Sebagai teman tentunya. Tapi, apakah Amanda mau diajak berteman? “Tolong turunkan aku di depan,” pinta Amanda pada sopir pribadi Matthew. Sopir pribadi Matthew mengangguk, “Baik, Nona.” Dia lalu memberikan Amanda sebuah payung yang dia letakkan di kursi kosong di sampingnya, “Ini, dipakai saja.” “Terus nanti aku kembalikannya bagaimana?” tanya Amanda bingung. “Tidak usah dikembalikan. Sekarang kamu lebih butuh payung itu daripada aku,” timbrung Matthew. “Terima kasih banyak.” Selang beberapa detik kemudian, Matthew malah mengucapkan kalimat pertanyaan yang dia sendiri tak yakin apakah seharusnya dia mengucapkannya atau tidak, “Aku boleh minta nomor teleponmu?” Manik Amanda terbeliak lebar. Dia terkejut dan dia tak menjawab pertanyaan Matthew. Dan semuanya jadi berubah hening nan kikuk sampai sopir pribadi Matthew bicara kembali, “Kita sudah sampai, Nona.” Amanda membuka pintu mobil Matthew. “Sekali lagi terima kasih buat tumpangannya,” katanya, sebelum keluar dari mobil. Matthew mengangguk, “Hati-hati di jalan.” Kebetulan sekali, begitu Amanda sampai di stasiun, ada dua bus yang lagi menunggu penumpang, dan bus yang satunya lagi melewati rumahnya. Matthew baru memerintahkan sopirnya jalan usai dia memastikan Amanda sudah duduk dengan nyaman di dalam bus. Dia mengintip semuanya melalui kaca depan mobilnya. “Siapa wanita muda itu, Tuan?” tanya sopir pribadi Matthew yang masih penasaran. “Cuma teman biasa. Kebetulan saja tadi ketemu di lapangan golf,” jawab Matthew. Entah apakah wanita muda nan cantik yang dia anggap sebagai temannya itu akan bertemu dengannya lagi atau tidak. “Terus pipi Tuan kenapa memar begitu?” “Tadi ada perkelahian sedikit.” Hanya itu yang dikatakan Matthew. Dia enggan membahas soal Caesar, kekasih Amanda yang telah membuat pipinya memar. ***** Setibanya di rumah, Matthew mendapati Vivan telah lebih dulu pulang dari tempat salon dan spa. Dia lagi ngobrol dengan Alvarina, kawan baiknya, di sofa ruang tamu. Alvarina yang melihat kedatangan Matthew pun langsung izin pulang. Kebetulan hanya berselang beberapa detik setelah Matthew kembali, suaminya juga datang menjemput. “Bye!” pamit Alvarina pada Matthew dan Vivian. “Kamu sudah pulang dari tadi?” tanya Matthew usai mengantar Alvarina sampai depan rumahnya. Dia sedang duduk di ruang makan sementara Vivian mengambilkannya segelas jus jeruk. “Belum lama lah, mungkin baru dua puluh menitan,” jawab Vivian. Diletakkannya segelas jus jeruknya ke atas meja makan. Senyumnya luntur saat dia melihat luka memar di tulang pipi suaminya. Ditangkupkannya wajah tampan suaminya dengan hati-hati, “Siapa yang memukulmu, sayang? Kamu habis berkelahi sama siapa?” “Oh, ini, cuma salah paham,” jawab Matthew. Diceritakannya kejadian adu jotosnya dengan Caesar dan pertemuan singkatnya dengan Amanda tadi. Tadinya Matthew begitu was-was. Dia khawatir Vivian juga akan bereaksi yang sama seperti Caesar. Dia takut Vivian cemburu dengan Amanda. Tapi nyata-nyatanya malah berbanding tebalik. “Berapa usia Amanda?” tanya Vivian. Tidak ada raut kecemburuan atau kekesalan. Yang ada cuma raut penuh ketertarikan dan rasa penasaran. “Apakah dia cantik?” “Kalau dilihat-lihat sih masih muda, seumuran denganmu. Mungkin dia setahun dua tahun lebih tua atau lebih muda darimu. Dan ya, dia cantik,” jawab Matthew seraya membayangkan bagaimana indahnya paras Amanda. “Dia kerja di mana? Apakah dia kelihatan sehat?” tanya Vivian lagi. Dia tersenyum getir, “Ah, tapi sayang sekali ya dia sudah punya kekasih.” “Kok kamu malah bilang begitu?” tanya Matthew dengan dahi mengerut. “Memangnya kenapa kalau dia sehat atau eh, punya penyakit misalkan? Dan kenapa pula kalau dia sudah punya kekasih?” “Aku cuma mau pastikan saja kalau dia tidak memar-memar juga sama seperti kamu. ‘Kan tadi kamu bilang, katanya kekasihnya itu temperamental,” dalih Vivian. Matthew mengangkat bahunya, “Aku tak tahu, sayang.” “Oh iya, aku beli sesuatu.” “Perabot rumah tangga baru?” terka Matthew. “Bukan.” Vivian beranjak mengambil sekotak boneka bayi dari goodie bag yang tergeletak di atas sofa. Diperlihatkannya boneka bayi itu pada Matthew, “Barusan aku dan Alvarina juga mampir ke toko boneka.” Matthew memandangi boneka bayi itu dengan iba. Memang tak mudah menyembuhkan luka seorang ibu yang keguguran dan kehilangan buah hatinya. Namun sampai kapan Matthew harus melihat istrinya ‘menderita’ seperti ini? “Beli mainan lagi?” tanya Matthew yang terus mencoba menyembunyikan rasa sedihnya. Vivian mengangguk sambil tersenyum, “Siapa tahu suatu hari nanti kita dikaruniai seorang anak.” Suatu hari nanti? Kapan? Tidakkah Vivian sadar kalau dia sudah tak bisa mengandung? Kecuali … “Bonekanya cantik,” kata Matthew dengan senyum tipisnya. Dia tak mau mengungkapkan isi kepalanya kalau Vivian harusnya menerima takdirnya. “Iya, kan? Aku langsung jatuh cinta waktu pertama kali melihatnya dipajang di toko boneka,” ucap Vivian. Dia mengecup dahi Matthew, “Tunggu sebentar.” Ditaruhnya boneka bayi itu di kamar tidur yang harusnya jadi kamar buah cintanya. Dihampirinya Matthew kembali. Dipijatnya pundak Matthew dari belakang, “Mau kusiapkan air panas buat mandi?” “Boleh.” Matthew meraih tangan kanan Vivian dan mencium punggung tangannya, “Thanks, baby.” ***** “Baru pulang?” tanya Delima, ibu kandung Amanda begitu melihat kedatangan putri sematawayangnya. Amanda tinggal berduaan dengan ibunya di rumah kontrakan sederhana. Cuma ada dua kamar tidur. Kamar mandinya masing-masing ada di dalam kamar tidur. Ditambah satu dapur, satu ruang tamu, halaman belakang, serta halaman depan yang seluas satu mobil. “Iya, kena macet, bu. Soalnya di luar masih hujan,” jawab Amanda seraya melepas sepatunya yang kotor dan basah karena hujan bercampur sedikit tanah berlumpur. Dia terdiam sejenak sebelum lanjut bertanya, “Eh, apa Caesar ada datang ke sini?” Delima tahu hubungan asmara putrinya dengan Caesar Maximilian. Tapi satu hal yang masih tak dia tahu adalah, bagaimana kasarnya sikap Caesar pada Amanda. Amanda tak mau cerita karena dia tak mau membuat ibunya cemas. Dan kedua, berkat Caesar pula, Amanda dan ibunya bisa tinggal di rumah kontrakan ini. Caesar-lah yang mencarikan plus membayari biaya kontrak Amanda. Setidaknya dia masih berjasa sedikit buat hidup Amanda dan ibunya. “Baru ibu mau bicarakan sama kamu,” jawab Delima. “Tadi dia ke sini terus marah-marah. Katanya mau ketemu sama kamu. Loh kamu saja belum pulang.” “Terus? Dia tidak sampai berbuat yang kasar sama ibu, kan?” tanya Amanda geram. “Tidak, sayang,” tutur Delima. “Habis menunggu kira-kira sepuluh menit, dia langsung pamitan pulang. Dia kelihatan kesal sekali. Memangnya kalian bertengkar lagi?” “Iya,” jawab Amanda ogah-ogahan. “Aku mandi dulu.” “Tidak mau makan dulu? Ibu masak ikan dori cabai garam kesukaan kamu.” Amanda tersenyum, “Nanti aku pasti makan kok. Ibu makan duluan saja.” Dia mengecup pipi kiri ibunya, “Terima kasih buat masakannya. Aku sayang ibu.” Pintu kamar tidur Amanda terkunci rapat. Dia menanggalkan seluruh pakaiannya, menaruhnya di keranjang baju kotor, dan berdiri di bawah kucuran air shower. Dia termenung. Bukan Caesar yang lagi mengganggu benaknya. Melainkan Matthew. “Bodohnya kamu, Amanda. Harusnya tadi aku kasih nomor ponselmu saja. Toh sepertinya dia pria baik-baik,” gumamnya. “Apa kira-kira … aku bisa bertemu lagi dengannya?” ♥♥TO BE CONTINUED♥♥
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN